Beberapa tahun yang lalu, saat berbenah rak buku pribadi, tiba-tiba saya menemukan buku yang sudah sangat tua. Seluruh badan buku sudah lepas dari lem perekatnya. Ketika buku tersebut dibuka halaman demi halamannya, berhamburanlah bubuk kertas tanda sudah dilahap rayap.
Sebagai penyuka buku bertema sastra dan biografi, saya seharusnya ingat sejarah buku yang saya koleksi. Tapi saya tidak punya ingatan apa pun tentang buku ini. Apalagi fisik buku yang spesial seperti ini, semestinya saya ingat sejarahnya. Hingga saya bertanya-tanya kapan dan siapa yang menaruhnya di rak saya. Keluarga saya juga bukan pencinta buku. Sepertinya buku ini hadir di rak buku saya secara misterius.
Pada sampul buku yang sangat sederhana itu, tertera judul Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno. Di bawah judul terpampang foto seorang perempuan muda tengah duduk di kursi kayu. Penulisnya adalah Lily Martin.
Buku ini diterbitkan oleh PT. Pijar Fandra Gemilang, 1992. Di halaman pembuka tertera keterangan penting sumber cerita: Disusun berdasarkan wawancara bertahap dengan Ratna Djuami, putri angkat Inggit Garnasih dan Soekarno, yang berlangsung dari bulan Maret 1984 sampai dengan bulan Agustus 1984.
Dihantarkan oleh rasa penasaran, halaman demi halaman saya buka secara hati-hati. Membacanya pun harus diletakkan di atas meja bak kitab suci saja. Setelah halaman pembuka, sosok yaitu Omi atau Ratna Djuami dengan menggunakan kata “aku” “bertugas” membabarkan cerita.
Dikisahkan bahwa Omi adalah saudara dari Ibu Inggit yang sejak berusia empat puluh hari langsung diangkat anak oleh Ibu Inggit, yaitu pada Oktober 1923. Pada November 1923, barulah Inggit dan Soekarno menikah. Pengangkatan anak ini selain karena unsur kasih sayang, dilakukan untuk memancing agar sang ibu angkat dapat segera hamil. Karena sebelumnya, pernikahan pertama tidak juga kunjung membuahkan anak.
Ibu Inggit masih disapa dengan panggilan wanita Sunda yaitu, “Nyai”. Tetapi karena lidah Omi belum fasih melafalkannya, Omi hanya menyebutnya “Ai.” Sebutan Ai ternyata tidak pernah berubah hingga akhir hayat Ibu Inggit. Di sepanjang kisah pun, Ai adalah sebutan Ibu Inggit yang dipakai.
Gaya bahasa yang dipakai penulis sangat sederhana dan runtut. Rasa penasaran saya di muka tadi seperti disambut begitu hangat. Sebagai pembaca, sulit beranjak sebelum menamatkannya serta tak pelak lagi menerbitkan refleksi.
Dalam pembacaan yang singkat ini, saya menggarisbawahi tentang laku “diam” dari Inggit Garnasih yang memiliki medan makna luas. Diam yang saya pahami dari buku tentang Inggit ini adalah proses menata diri dalam mengelola setiap mutiara masalah kehidupan dengan selalu terhubung kepada Sang Pencipta.
Mungkin sosok Inggit Garnasih tidak sepopuler Kartini. Dengan berbagai latar belakang permainan wacananya, tak bisa dipungkiri sosok Kartini lebih mengakar, khususnya bagi anak-anak perempuan di seluruh Indonesia. Sosok Kartini dipakai sebagai percontohan modernitas bagi perempuan di Indonesia secara umum. Sejak usia dini, anak-anak perempuan Indonesia “diajak” untuk mengenal emansipasi dengan ditandai melek sekolah.
Saya sendiri mengenal sosok Inggit melalui buku yang dibaca, belum terlalu lama dibanding sosok-sosok yang dipahlawankan dalam pendidikan sejarah. Buku pertama yang saya baca tentangnya adalah Kuantar Kau Ke Gerbang.
Dalam Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno, Omi menggambarkan Ai sebagai sosok yang penuh disiplin. Baik terhadap dirinya sendiri, terlebih kepada Omi. Waktu untuk makan, sekolah, pulang ke rumah tidak diperkenankan untuk terlambat barang satu menit pun. Disiplin yang dilanggar akan berujung pada untaian nasihat. Tetapi yang lebih utama lagi adalah sifat penyayang Ai. Disiplin ketat itu dibungkus dalam bahasa yang penuh kasih sayang.
Omi banyak sekali menyoroti sisi disiplin dalam hal beribadah yang dilakukan Ai. Shalat, puasa, tidak tidur atau tirakat kerap dijalaninya, apalagi jika menghadapi kesulitan yang amat berat. Inggit pun mematuhi apa yang disebut hari Naas. Inggit percaya bahwa di hari tertentu ada saatnya seseorang tidak keluar rumah karena kurang baik. Hari Naas ini dihitung berdasarkan hari lahir.
Omi mengatakannya demikian, Teladan Ai bukan hanya berupa nasihat. Tapi praktiknya juga ditunjukkan. Misalnya dalam menjalankan perintah agama, Ai tidak hanya melakukan yang wajib saja, tetapi yang sunat pun dikerjakan. Seperti sholat sunnat, puasa sunnat, dan berbagai tirakat sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Aku ingat ketika papi masih dipenjara di BANDUNG dulu. Untuk melaksanakan suatu niat, Ai selalu “membelinya” dengan puasa tiga hari dan tidak tidur semalaman. (hal. 50)
Selain disiplin dalam beribadah, ada perihal lain yang sungguh menarik. Kemungkinan merupakan hasil dari disiplin diri yang kerap dilakukannya ini. Ai adalah tipikal istri yang tidak suka “merepotkan” suami. Di balik kemesraannya bersama Soekarno, Ai adalah seorang istri yang tidak banyak mengatakan pergolakan batinnya, terutama di saat-saat Soekarno kerap jadi orang buangan akibat aktivitas politiknya.
Misalnya, pada suatu hari, Omi diajak besuk Soekarno di penjara Banceuy. Demi menghemat uang, mereka berjalan kaki menuju lokasi. Tentu saja keadaan ekonomi sedang susah apalagi ditambah Soekarno sang suami harus ditahan. Sebagai seorang suami, Soekarno merasa terlalu menyulitkan Ai.
Soekarno sempat bertanya, “Bagaimana keadaan di rumah?” dengan raut muka sedih. Pertanyaan berikutnya serupa juga seperti “Rumah baik-baik saja, Nggit?” Jawaban Inggit tidak pernah beranjak dari “Beres”, atau “Tak ada masalah”.
Lalu Inggit selalu mengalihkan pembicaraan ke hal yang dirasanya “jauh lebih genting” yaitu mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Omi merasa heran dengan jawaban-jawaban Inggit tersebut. Toh jelas-jelas Omi dan Inggit kesulitan keuangan. Inggit selalu mengajak Omi untuk tidak mengeluhkan keadaan apalagi di depan Soekarno.
Olah “diam” yang dilakukan Inggit dapat dibaca dengan beraneka ragam penafsiran, bergantung pola pikir yang digunakan. Bagi saya, “diam”-nya Inggit adalah “tengah mengimani keadaan.” “Diam” adalah jalan untuk memperoleh sebuah “pencerahan” karena sebenarnya di batinnya, ia tengah bercakap dengan Sang Ilahi.
Jalan ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan apalagi jika kita masih membutuhkan penjelasan-penjelasan konkrit untuk memahami mengapa harus “diam”. Diam tidak sama dengan “bungkam.”
Dengan kata lain, “diam” adalah olah diri tingkat tinggi. Jika belum sanggup untuk diam, mungkin kita masih harus menapaki penjelasan-penjelasan atau menggunakan logika konkret. Jika sudah lelah berlogika, maka mengimani keadaan dengan diam adalah jalan terakhir.
Tata lelaku diam ini mengingatkan saya pada puisi seorang mistikus besar, Jalaludin Rumi. Diam-lah jika tamu Sang Khalik, yaitu ujian di dalam hidupmu sedang datang. Sambutlah ia dengan suka cita. Kira-kira begitulah pesan yang dapat saya tangkap puisi Rumi.
Diam di sini adalah termasuk tidak berlebihan mengumbar segala keluhan. Tetapi merenunglah kira-kira sedang diberikan pelajaran apakah dari ujian tersebut. Dengan logika sederhana, melalui cara merenung maka justru jalan takdir dapat terpahami.
Contoh-contoh saat Inggit diceritakan lebih banyak diam misalnya saat mereka sekeluarga dihajar demam Malaria di pembuangan Ende, tampak sungguh berbeda penyikapannya. Soekarno digambarkan Omi sebagai orang yang “rewel” karena dihajar demam. Sementara Inggit tampak lebih banyak diam tidak mengeluhkan apa yang dideritanya. Jika ia ditanya ingin apa, jawabannya, “Ah tidak apa-apa.” Diam-nya Inggit bertebaran di banyak peristiwa penting.
Diam-nya Ai adalah ketahanan mental yang ditata sejak muda. Sebagai gantinya, Ai lebih banyak mengeluarkan perkataan-perkataan yang membakar semangat. Diam, pada akhirnya adalah jalan untuk tetap membara semangat.
Ketika Soekarno yang dirasanya mengeluh dan menyerah pada keadaan, Inggit dengan tegas berkata, “Jangan! Jadilah lalaki lalanang jagat. Ulah ngeok memeh dipacok (Sebelum ayam mencotok, kok sudah bunyi).