Pada 21 April 2020, kita disuguhi tulisan di caknun.com berjudul “Amanat Penderitaan Corona”. Emha Ainun Nadjib masih menulis, belum tamat. Ia telah lama menulis, tetap saja menuli. Puluhan buku sudah terbit, sekian buku baru bakal terbit. Emha Ainun Nadjib itu manusia “terbitlah terang”, pantang “gelap” atau “remang”. Pada situasi wabah, kita diajak mengingat kehidupan dan kematian.
Emha Ainun Nadjib pernah mengalami ketakjelasan atas diri: “Tahun 2003, saya diklaim hanya akan hidup paling lama 3,5 bulan lagi. Kemudian, Allah mendadak menyembuhkan saya, dan teman-teman dokter tidak mengingkari kesembuhan saya itu meskipun tidak ada penjelasan medis dari ilmu kedokteran mereka sampai hari ini.” Kini, wabah itu renungan hidup-mati tapi kita diajari mengerti amanat dan penderitaan ditanggungkan jutaan orang. Di rumah, Emha Ainun Nadjib menulis dan menulis. Pada suatu hari, sekian tulisan bakal menjadi buku.
Sejak puluhan tahun lalu, Emha Ainun Nadjib adalah manusia-tulisan. Hari demi hari, ia menulis puisi, cerita pendek, dan esai. Tahun demi tahun, buku-buku terbit. Masa demi masa, ia berkhotbah dan membuat obrolan bersama jutaan orang di seantero Indonesia. Ia tak memilih berpredikat politikus untuk memuliakan Indonesia. Ia pun bukan artis atau saudagar. Sejak mula, ia adalah penulis. Pada hari-hari tak menentu, ia tetaplah penulis.
Kita sengaja menokohkan Emha Ainun Nadjib dalam peringatan Hari Buku Sedunia (23 April 2020) dan penghormatan keaksaraan menjelang Ramadan. Kita mengenali ia adalah “kiai mbeling” tapi kita lupa ia pernah dijuluki “kiai bercelana jins”. Kita bisa membedakan maksud. Mbeling itu sifat. Celana jins itu benda.
Selama di kancah sastra dan seni pertunjukan, Emha Ainun Nadjib sering mbeling meski mengalami sekian perubahan dalam berpakaian. Mbeling tak selalu di panggung-panggung. Mbeling justru terasa di buku-buku. Di Indonesia, ia pantas dinobatkan tokoh penting dalam lakon perbukuan. Buku-buku Emha Ainun Nadjib turut memberi gairah dalam pemikiran agama, sastra, politik, pendidikan, seni, sosial-kultural, dan lain-lain.
Sejak masa 1970-an, orang-orang rajin “bersantap” puisi, cerita pendek, dan esai-esai buatan Emha Ainun Nadjib disiarkan di majalah dan koran. Ia bergelimang kata dan rajin mengolah makna. Di majalah Femina, 21-27 Maret 1991, ia dijuluki “kiai bercelana jins”. Ia mengerti zaman dan memberi tanggapan-tanggapan kocak dan kritis tanpa lekas menolak atau memuja “sesuatu” tanpa argumentasi berbobot. Ia bermukim di Jogjakarta, memberi persembahan kata dan makna untuk Indonesia.
“Menulis adalah kenikmatan saya yang betul-betul nikmat,” pengakuan Emha Ainun Nadjib. Pada masa 1990-an, ia berpenampilan khas: rambut gondrong dan bercelana jins. Ia keranjingan menulis. Pemerintah tekun mengamati dan menilai sekian ucapan atau ulah Emha Ainun Nadjib. Sikap berani ditunjukkan Emha Ainun Nadjib dengan menolak duduk dalam kepengurusan ICMI. Ia memilih bergerak mengurusi kaum marginal.
Pada masa 1990-an, Emha Ainun Nadjib memang tokoh tenar. Ia kadang kewalahan meladeni kemauan orang-orang. Undangan-undangan untuk berdakwah (berceramah) membuat kelimpungan. Emha Ainun Nadjib mengaku “tidak menikmati kegiatan ini, lebih nikmat menulis.” Ia tak menolak berdakwah tapi menginginkan “cara lain”. Obrolan itu seru ketimbang ngoceh sepihak.
Pada masa tua, Emha Ainun Nadjib berada di pengajian-pengajian: bersenandung, memberi renungan, dan membuat percakapan-percakapan egaliter. Ia tak melupa untuk menulis. Emha Ainun Nadjib saat madih muda merasa terperangkap, “sangat dibutuhkan orang.” Masa itu berlalu menghasilkan kenangan dan buku-buku.
Puluhan buku Emha Ainun Nadjib tebar pengaruh ke pembaca. Masa 1980-an dan 1990-an, masa kelarisan buku-buku garapan Emha Ainun Nadjib. Sekian penerbit mengesahkan julukan manusia-buku bagi Emha Ainun Nadjib: Grafiti, Mizan, Bentang, Pustaka Pelajar, dan lain-lain. Buku berjudul Markesot Bertutur (1993) terjual 15.000 eksemplar. Markesot Bertutur Lagi (1994) bisa laku 12.000 eksemplar.
Lakon perbukuan di Indonesia memiliki tokoh idaman bernama Emha Ainun Nadjib. Kelarisan belum tentu membuat Emha Ainun Nadjib berkelimpahan duit. Ia pernah berkelakar mengandung kritik: “Dari 30 buku yang saya buat, yang saya dapatkan royaltinya cuma 3-4 buku. Selebihnya, wallahualam” (Gatra, 23 November 1996).
Semula, ia besar di sastra. Pada penerbitan buku-buku, ia mulai tampil dengan kemahiran mengolah sekian hal, tak selalu sastra. Di Gatra, ia menjelaskan: “Sebaliknya, saya tidak hanya mengandalkan sastra. Saya juga harus memiliki disiplin ilmu sosial. Terserah ilmu sosial saya mau diakui atau tidak. Saya punya filsafat, teologi, dan saya punya akar-akar ilmu pengetahuan. Siap untuk berdebat atau mempertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademis.”
Pada masa berpengaruh dengan buku-buku, ia mengalami situasi aneh berkaitan pendapat orang-orang mengenai buku, materi, politik, dakwah, dan lain-lain. Fitnah-fitnah berdatangan dengan pelbagai pamrih.
Pengalaman masa lalu itu memuat keinginan Emha Ainun Nadjib sebagai jawaban serbuan fitnah: “Tidak pentas, tidak apa-apa. Tidak menulis, tidak apa-apa. Saya tidak menjadi tokoh, tidak apa-apa. Cita-cita saya mau menjadi orang biasa. Saya tidak mau menjadi orang besar. Saya siap menjadi tukang ojek, menjadi tukang jualan bakso. Berjualan koran, saya tidak apa-apa.”
Pada abad XXI, kita malah melihat nasib berbeda. Buku-buku lama cetak ulang. Laris. Buku-buku baru dari Emha Ainun Nadjib terus terbit. Laris. Ia belum selesai menjadi manusia-buku. Emha Ainun Nadjib memiliki gairah tak pernah padam. Kita bisa membuktikan dengan datang ke toko buku atau mengamati situs-situs penjualan buku secara daring.
Buku-buku buatan Emha Ainun Nadjib bertambah dan bertambah. Edisi buku lawas pun memiliki harga mahal di pedagang buku bekas. Ia tetap saja manusia-buku, memiliki peran dan pengaruh dalam lakon perbukuan di Indonesia.
Ingat Emha Ainun Nadjib, ingat buku-buku. Ia adalah “kiai bergelimang buku”. Ramadan di rumah, kita membaca (lagi) buku-buku Emha Ainun Nadjib. Kita diajak dalam percakapan. Pembaca berhak bergantian menjadi penulis: menanggapai balik atau searus dengan pemikiran-pemikiran Emha Ainun Nadjib dituliskan dalam buku-buku, dari masa ke masa. “Ibadah” membaca dan menulis selama Ramadan mungkin memberi kelegaan dan kenikmatan ketimbang “dipaksa” ketakutan setiap hari gara-gawa wabah. Begitu.