Eskatologi secara etimologi tersusun dari kata Echatos (berakhir) dan Logos (teori). Sedangkan secara terminologi, eskatologi adalah ilmu yang secara khusus membahas mengenai persoalan yang terkait dengan hari akhir, seperti kiamat, hari kebangkitan, dan hari perhitungan amal. Al-Qur’an sendiri mendefinisikan eskatologi sebagai suatu hal yang berhubungan dengan surga dan neraka.
Dalam Islam, eskatologi lebih sering disebut Ma’ad yang berarti “kembali”. Para teolog kemudian mendefinisikan kata Ma’ad sebagai proses kembalinya ruh yang terdapat dalam badan jasmani pada hari kiamat, sehingga ia kemudian hidup untuk kedua kalinya dan akan melewati tahap pembalasan atas perbuatannya di dunia.
Pembicaraan mengenai eskatologi tidak pernah menemukan titik ujung bahkan sejak zaman Al-Farabi sampai filosof dan teologi modern seperti Mulla Sadra. Kajian mengenai eskatologi sempat dibekukan oleh Al-Ghazali melalui karyanya Tahafut al-Falasifah. Pembekuan tersebut tentunya memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan kajian metafisika akhirat di dunia Islam (Rizki Supriatna, 2020: 106-107).
Tentang Mulla Sadra
Mulla Sadra, sebagaimana dikutip oleh Arsyad (2017: 136-137), memiliki nama lengkap Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi. Ia lahir di Kota Syiraz, Persia pada tahun 1572 M. Sadra hidup pada rentang waktu 980 H/1572 M sampai 1050 H/1640 M. Keluarganya termasuk dalam kategori terpandang. Ayahnya Khwajah Ibrahim Qavami selain berstatus sebagai ilmuwan dan tokoh agama, juga menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan Kota Syiraz pada masa itu.
Mulla Sadra menjalani masa kecilnya dengan sangat baik. Ia mendapatkan pendidikan formal secara khusus dari guru-guru terpandang. Atas pendidikan yang bagus juga disertai dengan kepintaran yang luar biasa, membuat Sadra mampu untuk menguasai beberapa cabang ilmu sekaligus seperti logika, gramatikal, kaligrafi, filsafat iluminasi, filsafat peripatetik, gnostik, logika, ilmu kalam, fiqh, tafsir, hadis, astronomi, kedokteran, dan matematika.
Perjalanan hidup Mulla Sadra terhenti ketika ia meninggal setelah menunaikan ibadah haji yang ketujuh. Sadra menghembuskan nafas terakhir di Irak pada tahun 1050 H/1640 M disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Mengenai letak makam Mulla Sadra, sampai saat ini tidak yang mengetahuinya.
Pandangan Eskatologi
Eskatologi menjadi salah satu pokok bahasan penting dalam agama Islam karena berhubungan dengan peristiwa kebangkitan fisik setelah mati. Persoalan mengenai eskatologi memunculkan perdebatan di antara para filsuf seperti yang terjadi antara Mulla Sadra dengan Ibnu Sina. Dalam pemikirannya, Ibnu Sina berpendapat bahwa yang dibangkitkan hanyalah jiwa. Sedangkan Mulla Sadra justru mengatakan bahwa yang dibangkitkan tidak hanya jiwa saja, melainkan juga termasuk jasadnya.
Argumen Sadra tentang kebangkitan fisik dan spiritual, secara ekstensif terdapat dalam karyanya yang berjudul Asfar tepatnya pada bab sembilan. Dalam karyanya tersebut, Sadra menjelaskan bahwa kebangkitan jasmani tersusun dari seperangkat dasar, seperti gerak substansi, fundamentalis keberadaan, keberadaan yang berbentuk satu tapi bertingkat, dan ittihad al Aql. Ia mengadopsi pandangannya tersebut dari Al-Qur’an, Sunnah dan beberapa filsuf ketuhanan sebelumnya seperti Ibnu Arabi.
Secara garis besar, Mulla Sadra membagi perdebatan mengenai masalah kebangkitan (ma’ad) ke dalam empat golongan, yaitu: (1) Kebangkitan pada aspek spiritualnya saja. Pendapat ini banyak dikemukakan oleh para filosof sebelum Sadra; (2) Kebangkitan fisik. Pendapat ini populer di kalangan ulama dan ahli fikih; (3) Menolak adanya kebangkitan. Pendapat ini didominasi oleh para ateis dan mul’d; (4) Kebangkitan jasmani dan rohani. Sadra lebih mendukung pendapat yang terakhir, karena menurutnya itu yang paling benar.
Mulla Sadra menegaskan bahwa tubuh yang dibangkitkan akan menjadi tubuh dunia akhirat, karena di akhirat terdapat kesempurnaan dan kekuatan dari keberadaan. Tubuh inilah yang kemudian disebut sebagai al badanal mithali. Manusia ketika berada di akhirat, akan memiliki bentuk tubuh yang sama seperti di kehidupan sebelumnya, yaitu kehidupan dunia. Hal ini dikarenakan identitas individu terdapat dalam jiwanya. Sehingga jiwa manusia akan tetap abadi meskipun raganya rusak dan mati (Kerwanto, 2015: 82-118).
Dengan demikian, sebagaimana dalam Rizki Supriatna (2020: 118), tubuh dan jiwa merupakan dua bagian yang berbeda. Tubuh memiliki bentuk tersendiri, sedangkan jiwa belum bisa diketahui seperti apa bentuknya. Namun menurut Mulla Sadra dalam teori eskatologinya, bentuk dari jiwa dihasilkan dari proyeksi atas tindakan yang dilakukan oleh jiwa itu sendiri.
Hasil dari proyeksi tersebut bisa berupa binatang atau manusia. Mulla Sadra secara tegas menyatakan bahwa bentuk yang akan didapatkan manusia ketika berada di akhirat, merupakan manifestasi dari realitas eksistensialisnya, meskipun tidak bersifat material.
Sumber Bacaan
Rizki Supriatna, “Eskatologi Mulla Sadra: Tinjauan Kritis Atas Teori Kebangkitan Setelah Kematian”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 4, No. 1, 2020.
Arsyad, “Mengenal Konsep Wujud Dalam Filsafat Mulla Sadra”, Jurnal Bidayah, Vol. 8, No. 2, Juli-Desember, 2017.
Kerwanto, “Islamic Ethics Based on Al-Qur’an and Mulla Sadra’s Escatology”, Jurnal Teosofia, Vol. 4, No. 2, 2015.