Belakangan, marak terjadi fenomena hijrah. Fenomena demikian ini menjadi cepat berkembang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya aktor dakwah dengan narasi ajakan berhijrah. Pada faktor pertama ini para juru dakwah yang populer di media daring Youtube dan media sosial. Sebagai contoh, dapat kita ambilkan contoh ustaz Hannan Attaki dan ustaz Felix Siaw. Mereka sering membalut kampanye dakwahnya dengan slogan “hijrah”.
Kedua, terlibatnya banyak selebritis yang ambil bagian dalam penyebaran narasi hijrah melalui berbagai platform. Selebritis yang menjadi bagian dari gerakan ini biasanya dimulai dari individu seleb yang hijrah dan kemudian memiliki kedekatan dengan para ustaz secara personal. Jalinan dakwah mereka ini belakangan berhasil memproduksi berbagai event hijrah. Di antaranya adalah acara Hijrah Fest yang diselenggarakan beberapa bulan yang lalu.
Faktor ketiga adalah adanya medium digital yang menjadi sarana penyebaran narasi mereka. Baik para ustaz maupun selebritis yang menjadi aktor kampanye narasi demikian ini sadar betul dengan strategi marketing digital. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai konten video maupun media sosial yang mereka produksi sangat sadar akan framing dan penuh dengan pertimbangan strategi marketing. Tampilannya menarik dan menggunakan pilihan diksi atau kalimat yang memikat.
Fenomena hijrah ini, bagi para aktor maupun konsumennya, secara epistemologis dipahami sebagai bentuk peralihan dari praktik keislaman yang kurang taat menjadi lebih taat. Atau setidaknya, berhijrah adalah usaha untuk punya niatan belajar menjadi muslim yang lebih baik. Dalam praktik amaliahnya mereka mulai melakukan ritus keagamaan yang tak cukup “sekadar” mengerjakan amalan wajib. Mereka menambahkan amalan-amalan yang sifatnya anjuran atau sunnah.
Ketika narasi hijrah memiliki niatan untuk menjadi muslim yang lebih taat apa masalahnya? Hal-hal apa saja yang belum selesai? Problemnya adalah narasi hijrah “hanya” berkutat dengan hal-hal yang bersifat permukaan dan tampilan fisik semata. Karena hanya “sekadar” lebih menampakkan yang bernuansa fisik saja, term hijrah seolah hanya menjadi bahan narsistik di media sosial.
Implikasi dari sifatnya yang hanya menjadi bahan narsistik, maka hijrah sering kehilangan pijakan yang membumi, yang dekat dengan persoalan masyarakat bawah. Padahal, upaya untuk membebaskan masyarakat bawah dari belenggu kemiskinan adalah bagian dari hijrah yang dicontohkan oleh kanjeng Nabi Muhammad saw. sewaktu membebaskan sahabat Bilal bin Rabah dari perbudakan jahiliyah.
Selanjutnya, fenomena hijrah mendita amnesia sejarah Islam di Indonesia. Amnesia sejarah seperti apa? Mereka keliru menganggap bahwa transisi hijrah menjadi Islam yang kaffah adalah dengan memakai tampilan pakaian keislaman yang lebih bernuansa kearab-araban, alih-alih dipahami sebagai sesuatu yang Islami.
Lantas kalau yang Islami haruslah bernuansa kearab-araban, apakah pakaian yang dipakai sehari-hari oleh banyak kalangan muslim tradisionalis di Indonesia tidak dianggap islami? Apakah mereka harus mengganti pakaiannya dengan sandangan yang lebih kearab-araban? Tentu saja keliru. Keimanan tidak hanya diukur dari tampilan fisik semata.
Kalau ditelisik dari sisi kesejarahan, proses islamisasi di bumi Nusantara ini secara efektif melalui jalur dakwah sufistik-kebudayaan. Walaupun ada upaya persebaran Islam melalui perkawinan dengan elit kerajaan, akan tetapi sebenarnya yang sangat melekat dalam ritus ibadah sehari-hari adalah melalui medium sufistik-kebudayaan.
Maka tak heran banyak dari masyarakat muslim arus bawah di pedesaan dan lingkungan pesantren, memakai pakaian yang biasa-biasa saja, menutupi aurat, akan tetapi juga sebagai ahli wirid yang garis keras. Setiap malam menjalankan wirid atau zikir yang dianjurkan oleh sang mursyidnya. Jumlah dzikirnya biasanya cukup besar, berjumlah ribuan kali bacaan.
Kegagalan narasi hijrah kekinian dalam membaca akar kesejarahan Islam di Indonesia yang sebenarnya sudah mempraktikkan ajaran Islam dengan menggunakan medium kebudayaan, menjadikan mereka gagap dalam berinteraksi dengan kalangan muslim arus bawah. Seringkali mereka semena-mena menganggap kaum muslim arus bawah yang mengamalkan keisalaman secara sufistik tersebut tidak dianggap Islami.
Pada akhirnya, kegagalan narasi hijrah dalam membaca substansi ajaran Islam, kebutuhan umat arus bawah, dan kebutaan mereka dalam membaca bentuk keislaman di bumi Nusantara, menjadikan gerakan mereka sedikit sia-sia belaka. Alih-alih mengajak umat Islam untuk menjadi lebih berkualitas dan substansial dalam berislam, justru hanya menjadi “sekadar” menampilkan diri lebih islami saja.
Sebagai catatan, menampakkan tampilan fisik yang relijius dan memiliki niatan untuk berubah lebih mendalami agama adalah penting, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang menjadi soal adalah ketika demikian itu hanya cukup secara personal saja, “sekadar” tampilan fisiknya yang berubah. Padahal dalam Islam juga sangat menganjurkan hijrah sosial dengan melakukan pembebasan kaum muslim arus bawah dari ketertindasan.
Dengan demikian dari narasi hijrah tersebut masih ada hal-hal yang belum selesai dalam memahami problematika umat kekinian. Maka dengan demikian, hijrah tak cukup hanya “sekadar” hijrah seperti yang hanya dalam mengubah tampilan fisik semata. Namun, perlu ada upaya hijrah pembebasan kemiskinan dan hijrah isoterik, menjernihkan hati dari keriya’an duniawi untuk lebih dekat dengan Gusti Allah Swt. Naasnya, dalam hal yang terakhir tersebut, para sufi lebih fasih dan ikhlas mempraktikannya, daripada agen hijrah tadi. Wallahua’lam.