Pandemi virus corona (Covid-19) masih menyebar hingga saat ini. Ibadah puasa Ramadhan 1441 Hijriah yang sekarang dijalani seakan mengetengahkan gegar budaya (shock culture) di kalangan msyarakat Muslim Tanah Air. Hal ini tidak lain karena dimeriahkan menjamurnya fenomena ‘ngaji online’ di kalangan santri sejauh Ramadhan tahun ini.
Kalangan kiai maupun nyai biasanya mengaji kitab secara bandongan. Istilah ini tradisional santri di Jawa dengan fokus pada kiai ataupun nyai membaca dan memaknai kitab klasik yang dikerubuti para santri.
Namun, kini beralih ataupun melangkah jauh dengan memancarkannya secara live lewat media sosial. Terpasang piranti rekam audio visual di hadapannya dan tidak kalah rasanya dengan proses produksi stasiun TV.
Kalangan kiai dan nyai sepertinya juga tidak mau ketinggalan momentum diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di lingkungan pendidikan formal. Dengan berbekal smartphone berbasis android, para kiai dan nyai rutin menyapa para santri dengan bacaan dan bahasan kitab-kitabnya.
Untuk menyebut di antaranya yang pernah penulis amati di lingkaran pertemanan media sosial penulis, misalnya Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj menyapa santri dengan mengupas kitab Qoshidah Burdah. Ada juga KH Asyhari Abta, mantan Rais Aam PWNU DI Yogyakarta, yang mengupas kitab Irsyaadul Ibaad.
Selain itu, Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar mengaji Kitab Ihyaa’ Uluumuddin, kitab yang sama dikaji oleh cendekiawan Ulil Abshar Abdalla yang lebih dulu memprakarsai ngaji Ihya daring (Kopdar Ihya’).
Lalu Hj. Nyai Ida Zainal, istri almarhum kiai kharismatik Pesantren Almunawwir Krapyak, KH Zainal Abidin Munawwir yang menguliti kitab Risalah Al Mua’awanah, dan lain-lain.
Belum lagi para ulama lainnya yang menghadirkan kajian tematik tertentu, walaupun bukan berpatok pada satu kitab yang dijadikan rujukan.
Fenomena ‘tsunami ngaji online’ ini bagi penulis sungguh merupakan lompatan cara pandang dan pemahaman yang cukup besar dunia santri. Nalar awam non santri, boleh jadi meresponnya dengan kekagetan, pendakwah dan bahan kajiannya bukan muncul di TV. Cara penyajiannya pun berbeda sama sekali dengan sajian keagamaan di TV-TV mainstream.
Mungkin di sini jika tak berlebihan tepatnya ditawarkan istilah gegar budaya. Apalagi media sosial menjadi ruang yang sangat riuh sebagai saluran kajian kitab itu.
Bayangkan, paling tidak dalam amatan penulis, ketika sekitar 2 tahun lalu terlibat dalam kegiatan sosialisasi modul dakwah di media sosial bersama Balitbang Kementerian Agama kepada kalangan penyuluh agama dan para dai di beberapa kota.
Pada momen sosialiasi tersebut, sambutan bernada pesimis dan bahkan mengutuk keberadaan hand phone masih terdengar. Alih-alih untuk menangguk faedah, gawai atau gadget masih dipandang sebagai benda ancaman bagi keimanan seseorang dan dipandang mengganggu kekhusukan beribadah.
Dua tahun lalu masih terdengar kritikan sarkastis bahwa sebagian Muslim berdzikir bukan lagi menggunakan tasbih, melainkan menggunakan handphone-nya. Entah apakah ‘tsunami ngaji online’ ini sudah sampai membalik periuk pemahaman sebagian ulama tersebut tentang manfaat keberadaan smartphone yang dikritiknya dulu.
Ilmu sosial tidak dari awal mengupas secara langsung keberadaan dan bahkan kecanggihan dari Information and Communication Technologies (ICTs). Apalagi jika ilmu sosial ditelaah dari kaca mata macro-messo yang menyinggung soal antara lain struktur sosial, perubahan sosial, pelapisan sosial dan seterusnya.
Lalu, kecanggihan ICTs, yang diawali dengan lahirnya internet di tahun 1990an, tidak dipandang langsung oleh ilmu sosial yang macro-messo itu. Hal ini karena relatif tidak berdampak apa-apa bagi struktur sosial kecuali hanya temuan dan kecanggihan sarana manusia modern saja.
Barulah pemikir micro sosial seperti Manuel Castell menelaah secara khusus tentang pengaruh ICTs dalam interaksi mikro antarindividu yang melandasinya membuahkan teorinya, network society.
Habermas berikutnya yang sering dilahap para pemerhati ilmu sosial atas tinjauannya pada masyarakat modern yang ditandai dengan kebebasan dan keterbukaan berkomunikasi, yang lebih dikenal dengan tentang teori tindakan komunikatif (communicative action). Namun, keduanya belum mewakili pendekatan sosial klasik.
Ilmu sosial awal yang penuh curiga terhadap kecanggihan teknologi, belum tuntas membahas teknologi bagi kebutuhan masyarakat. Weber misalnya melihat pengetahuan dan teknologi itu malah mengecewakan dunia. Sebagai pemikir yang mengagungkan roh (spirit), kesadaran instrumental itu, dan teknologi di dalamnya, mengakibatkan tergerusnya spirit.
Di mata Weber, semakin banyaknya para ahli justru berkontribusi pada pengecewaan dunia dan mengatakan para expert itu sebagai spesialis tanpa roh/spirit (Schroeder & Ling, 2013). Hanya saja, Weber juga mengakui perubahan masyarakat yang makin berorientasi pada alat sebagai penunjang kebutuhan hidup sehari-hari atau yang dalam istilah umumnya disebut instrumental rationality.
Kajian masyarakat secara makro yang bersumber dari pemikiran babon ilmu sosial untuk sementara masih belum sepenuhnya dimanfaatkan guna membongkar kaitan ICTs dengan manusia era milenium baru. ICTs dilihat kegunaannya semata, dan belum banyak dilihat bagaimana benda ini mampu menjadi sesuatu yang rutin dan melekat (routine and ritualized) dalam kehidupan sehari-hari.
Adalah Schroeder dan Ling yang mencoba memulai dengan menurunkan konsep besar milik Max Weber tentang instrumental rationality, pikiran-pikiran instrumental yang membawa individu untuk dapat menentukan tindakan yang paling tepat dan menguntungkan bagi dirinya.
Bagi keduanya, penggunaan ICTs secara massif itu sebenarnya juga dapat berkontribusi pada terciptanya keteraturan sosial (social order) di masyarakat. Dalam hal pemanfaatan ICTs ini, konsep tentang sangkar besi (iron cage) Weber yang disematkannya pada model birokrasi, menjadi tidak terbukti.
Sebaliknya sangkar besi telah berubah menjadi sangkar karet atau rubber cage (Gellner 1987) yang ternyata ICTs juga membuahkan dampak positif yaitu untuk memediasi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Konsep ini jauh berbeda dengan pandangan sinis terhadap ICTs sebelumnya yang dengan ICTs orang makin kehilangan solidaritas terhadap sesama dan hilangnya kedekatan dalam interaksi sosialnya. Yang terakhir ini justru tak terbukti.
Schroeder dan Ling juga menyinggung konsep kohesi sosial khas ala Emile Durkheim, yaitu solidaritas sosial. Walaupun masyarakat modern dicirikan dengan solidaritas yang cair, ditentukan oleh saling ketergantungan (interdependent) satu sama lain berdasarkan spesifikasi pekerjaan. Oleh karena itu disebutnya sebagai solidaritas organik.
Tetapi, pada saat yang sama, masyarakat modern juga sangat membutuhkan kedekatan, keseragaman dan keintiman dalam berinteraksi. Hadirnya berbagai peralatan ICTs memungkinkan manusia modern untuk mewujudkan mimpi-mimpinya atas kedekatan, keseragaman dan keintiman itu. Model solidaritas demikian ini oleh Durkheim disebut solidaritas mekanik.
Atas dasar berlangsungnya solidaritas mekanik dengan cirinya kebutuhan untuk kedekatan dan keseragaman itu, Schroeder dan Ling mengenalkan istilah neo-mechanical solidarity. Kendati tampaknya masyarakat modern, melainkan dalam urusan membangun interaksi dan relasi, manusia modern masih menuntut kesamaan dan kohesi.
Gagasan Weber tentang rasionalitas instrumental dan gagasan solidaritas mekanik Durkheim dikembangkan oleh Schroeder dan Ling di atas menjadi neo-mechanical solidarity. Ini sangat menarik untuk diajukan sebagai pisau analisis atas fenomena “tsunami ngaji online” di kalangan muslim di Tanah Air di bulan puasa yang sedang berjalan tahun ini.
Pertama, keberadaan ICTs tidak lagi dipandang oleh kalangan santri dari sisi negatifnya. Sebagai manusia kepompong gadget (cocoon of gadget) ataupun menjarakkan hubungan sosial, ICTs telah dipandang satu hal yang dibutuhkan secara rutin dan melekat, bahkan teritualkan (routine and ritualized).
Kedua, pemanfaatan ICTs lewat ngaji online itu dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para kiai atau nyai dengan kalangan santri yang menjadi audience-nya. Lalu, secara otomatis, relasi antara guru dan murid yang khas di kalangan pesantren dapat dilestarikan walau tanpa dapat dilakukan dengan tatap muka langsung.
Datangnya wabah covid-19 ini semakin menyalakan kerinduan untuk dapat bertatap muka, yang namun dengan kebijakan social distancing dari pemerintah. Maka pilihan bertatap muka secara virtual menjadi amat relevan.
Ketiga, pada sisi pesan keagamaan, bahwa selain ngaji, menuntut ilmu itu menjadi kewajiban. Karena itu sangat terbantu dengan keberadaan sarana ICTs seperti untuk pemanfaatan ngaji online sekarang ini. Nuansa ajakan (dakwah) untuk amar makruf yang ditunjukkan para kiai maupun nyai itu pun otomatis dapat terealisasi.
Para tokoh agama sekali lagi sangat menentukan sebagai instrumen pemersatu masyarakat dan terbinanya keteraturan sosial (social order). Caranya dengan ajakan-ajakannya untuk mengisi kehidupannya dengan pemahaman serta perilaku yang positif. Dengan demikian, kohesi sosial pun semakin jelas didapatkan dari fenomena ngaji online tersebut.
Akhirnya, ngaji online sekarang ini membuka banyak kemungkinan untuk riset sosial yang bukan melulu pada masyarakat secara fisik disertai dengan problematikanya. Riset ilmu sosial juga sekarang layak diarahkan ke bidang virtual, untuk melihat pemanfaatan ICTs bagi pemenuhan kebutuhan instrumental masyarakat.
Di tengah kampanye revolusi industri 4.0 dan juga PJJ, maka pemanfaatan ICTs untuk ngaji online itu telah memberikan satu bukti, bahwa masyarakat Indonesia telah siap dengan teknologi komunikasi tingkat lanjut. Riset virtual tentang hal ini perlu terus dilanjutkan. (mzn)