Tak lepas dari setiap pembahasan puasa khusus puasa Ramadhan adalah, bahwa ia tidak saja menahan diri dari nafsu makan, minum, dan seksual. Melainkan juga menahan diri dari segala bentuk larangan Allah swt. dan kehendak nafsu. Meninggalkan semua ucapan maupun tindakan yang berseberangan dengan aturan Allah swt. adalah satu di antara sekian banyak tujuan diwajibkannya pelaksanaan puasa. Demikian ini adalah di antara bagian dari filosofi puasa Ramadhan.
Di akhir ayat 183 surah al-Baqarah, setelah ditetapkannya kewajiban puasa, Alquran kemudian mengabarkan secara konkret tentang harapan Allah swt. atas orang yang melaksanakan puasa; menjadi orang yang bertakwa. Sebagaimana umat terdahulu, umat nabi Muhammad saw. juga diembani kewajiban puasa sebagai bentuk kasih dan sayang Allah swt. kepada hamba-Nya yang beriman supaya ia betul-betul menjadi orang yang bertakwa, takwa dalam segala aspek kehidupan.
Puasa merupakan separuh dari sabar, yang mana, sabar adalah separuh dari iman. Hal ini, sebagaimana sabda baginda Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-shaumu nishfu al-shabri (puasa adalah separuh kesabaran). Dalam hadits yang berbeda, riwayat al-Hakim dari Ibnu Mas’ud, Rasul bersabda, al-shabru nishfu al-imaan (sabar adalah separu keimanan).
Itu berarti, puasa adalah ¼ dari keimanan. Semakin baik kualitas puasa seseorang, maka semakin baik pulalah ¼ keimanannya. Semakin keimanan seseoarang berkualitas, maka semakin kuat ketakwaannya kepada Allah swt., ia pun akan semakin rajin akan apa yang diperintah oleh-Nya dan semakin jauh dari apa yang mengundang murka-Nya.
Ketika Karl Marx—seorang filsuf, pakar ekonomi politik, dan tokoh sosiologi dari Jerman—menyatakan sebuah teorinya, bahwa faktor pemicu terjadinya peristiwa peperangan, pertikaian, pertentangan, benturan hidup antar manusia adalah rebutan soal mengisi perut, dan ketika Sigmun Freud—seorang psikolog dari Australia—melontarkan teori yang berbeda, bahwa satu-satunya pemicu perpecahan antar manusia adalah libido seksual, maka jauh berabad-abad sebelum kedua teori itu muncul, Imam al-Ghazali telah lebih dulu menyatakannya.
Menurut al-Ghazali, syahwat perut dan syahwat seksual adalah faktor penentu atas keberlangsungan hidup manusia. Boleh jadi, disebabkan keduanya, kehidupan menjadi damai dan sejahtera. Boleh jadi pula, keduanya menjadi biang kerok dari kerusakan dan kehancuran. Oleh karenanya, Allah swt. menurunkan perintah puasa kepada orang-orang Muslim, supaya dapat mengendalikan hawa nafsunya yang tamak dan serakah, melatih kesabaran menahan kehendak nafsu perut dan mengendalikan nafsu seksual. Meskipun, hakikatnya halal baginya.
Latihan yang membuahkan hasil signifikan dengan puasa, akan terus menjadikan seorang terbiasa dan mampu mengendalikan kehendak nafsunya kendatipun ia sudah tidak lagi berpuasa. Hal itu, sebagai bentuk refleksi dari apa yang telah dia biasakan selama satu bulan Ramadhan. Sebab, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Busyiri: “Nafsu itu seperti bayi; jika ia dibiarkan untuk terus menyusu, maka ia akan terus menyusu (hingga usia besar). Jika ia dicegah, maka ia akan berhenti (secara perlahan).”
Kesabaran dalam menahan lapar dan haus, melaksanakan shalat Tarawih, bangun sepertiga malam untuk shalat Tahajud, membaca Alquran, menundukkan pandangan dari yang haram, menjauhkan diri dari korupsi dan mengambil orang lain, menahan lisan dari memisuh, menggunjing, marah-marah, manahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, dan sebagainya, adalah bentuk representasi dari ketakwaan sebagai refleksi dari puasa.
Secara spritual, puasa mempunyai dampak yang cukup besar terhadap peningkatan kualitas iman dan takwa. Namun demikian, ia tidak saja memberikan dampak secara spritual terhadap pelaksananya, melainkan juga berdampak positif terhadap kesehatan. Fragmen hadis yang memerintahkan puasa supaya menjadi sehat—sekalipun dha’if, namun masih bisa dijadikan dalil keutamaan amal—adalah dalil bahwa salah satu dari manfaat puasa adalah dapat menyehatkan jasmani: shuumuu tashihhuu (berpuasalah kalian, maka, kalian akan sehat!).
Tentu saja demikian. Puasa adalah satu di antara sekian syari’at Allah swt., tidak satupun syari’at Allah yang mengandung mudharat, justru ia mengandung manfaat dalam banyak aspek. Ibnu Sina, seorang bapak kedokteran Muslim dunia, senantiasa menganjurkan pasien yang mendatanginya untuk berpuasa selama tiga minggu. Baginya, puasa adalah terapi paling efektif serta murah meriah dalam upaya penyembuhan ragam penyakit.
Dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin yang berasal dari Amerika, Robert Partolo, sebagaimana tertulis dalam sebuah artikel yang dimuat Kompasiana, membenarkan bahwa mengosongkan perut merupakan terapi mujarab dalam membasmi bakteri sifilis yang mengendap dalam tubuh. Menurut dr. Robert, dengan berpuasa, bakteri-bakteri tersebut akan tergantikan oleh zat-zat yang menyehatkan.
Seorang filsuf Yunani, Plato, menyatakan hal yang seragam tentang puasa, bahwa obat jasmani paling baik adalah puasa. Socrates pun yang telah banyak memengaruhi pemikian Plato, menyampaikan ungkapan yang sama. Dia berkata, “Dalam diri manusia itu terdapat unsur penyembuh. Maka, bantulah anda untuk menyembuhkan diri anda sendiri. Salah satunya dengan cara berpuasa!”
Demikianlah sekelumit filosofi dan arti dari puasa Ramadhan.