Setelah menerbitkan buku Fiqih Kebangsaan dalam dua jilid, Pesantren Lirboyo Kediri kembali menerbitkan buku yang menyinggung konsep kenegaraan menurut pesantren. Buku itu berjudul Nasionalisme Religius, Manhaj Kebangsaan Ulama’ Nusantara.
Buku tersebut penting untuk dikaji dalam rangka menggali gagasan-gagasan yang muncul dari institusi pesantren tentang sebuah negara terutama nasionalisme religius yang sudah mengakar sejak lama.
Ada beberapa alasan mengapa gagasan nasionalisme religius dari buku itu penting dikaji:
Pertama, gagasan tersebut muncul dari pesantren yang notabene pesantren salaf. Sebuah institusi agama yang tergolong hampir-hampir tak memiliki kurikulum pengetahuan non agama.
Kedua, gagasan tersebut muncul dari salah satu bagian dari umat Islam yang seringkali bersebrangan dengan tokoh-tokoh nasionalis yang kemudian memandang agama memiliki peran penting dalam sistem negara.
Ketiga, gagasan tersebut merupakan ikhtiar lain dari pesantren. Di mana dengan ikhtiar tersebut, diharapkan muncul pandangan baru kalangan umat Islam utama santri dalam memandang sebuah negara yang bukan negara Islam.
Gagasan nasionalisme religius adalah usaha pesantren dalam menggali bagaimana konsep sebuah negara yang ideal dalam konteks Indonesia. Pesantren tidaklah mungkin tidak mempertimbangkan agama dalam memandang sebuah negara. Juga tidak mungkin hanya memandang agama tanpa menyangkut pautkan tentang bentuk sebuah negara sebagai tempat terlaksananya ajaran agama.
Maka, kemudian pesantren mengkaji konsep nasionalisme dalam khazanah kitab kuning. Hal ini dengan mengkaji ulang bagaimana pandangan Nabi Muhammad; sosok yang menjadi acuan agama Islam, dalam mengatur penduduk Madinah yang berbeda-beda suku serta agama seperti dalam konteks Indonesia. Juga dengan jihad sebagai usaha membela diri.
Hasilnya konsep nasionalisme religius adalah konsep yang cocok diterapkan di Indonesia. Sebab sebagai negara yang memiliki beragam suku dan agama, Indonesia tidak mungkin sepenuhnya menerapkan hukum-hukum Islam.
Indonesia perlu menerapkan hukum yang dihasilkan oleh kesepakatan warga negara secara bersama-sama. Sama seperti bagaimana Nabi Muhammad membangun kesepakatan dengan penduduk Madinah yang non muslim.
Nasionalisme, meski kemunculannya ditengarai untuk menyingkirkan hegemoni institusi agama di barat, dan melahirkan gagasan pemisahan agama dan negara, tapi sebenarnya ide nasionalisme sendiri tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sehingga, meski ide nasionalisme tidak memiliki ketentuan secara dalil normatif, tidak lantas membuat ide nasonalisme diplot sebagai ideologi yang keliru dan keluar dari ajaran agama.
Nasionalisme dapat disebut sebagai bentuk pengembangan dari gagasan piagam Madinah. Yaitu kontrak sosial yang disusun oleh Nabi Muhammad untuk mendamaikan suku Aus dan Khajraj, serta merangkul kaum Nasrani, Yahudi dan seluruh penduduk Madinah untuk membangun, berjuang dan melindungi Negara Madinah dari serangan luar.
Dalam piagam Madinah, Nabi Muhammad juga telah menanamkan konsep kerakyatan, bagaimana mengatur hubungan antar negara dan netralisasi isu diskriminatif dalam sebuah sistem pemerintahan.
Nasionalisme bukanlah kecintaan pada sebuah negara tanpa memperhatikan unsur-unsur relegius di dalamnya. Bagi pesantren, Indonesia meski bukan negara Islam, tapi telah menanamkan prinsip-prinsip hukum Islam dalam undang-undang dasarnya.
Sehingga hal itu tidak bisa bila disebut menghalangi terlaksananya syariat Islam. Atau, andai ada satu dua undang-undang yang tak sejalan dengan hukum Islam, tapi tidak menghalangi umat muslim dalam menerapkan syariat hukum.
Terkait nasionalisme dalam Islam, penting diketahui tentang adanya reduksi makna jihad. Jihad seringkali disalah fahami, direduksi, dan diaktualisasikan sebagai pemusnahan bagi mereka yang berbeda ideologi, aliran dan keyakinan. Padahal jihad pada mulanya menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara sebagai benteng membela, menjaga dan mempertahankan agama dan negara.
Dalam piagam madinah, jihad merupakan usaha penduduk Madinah yang berbeda-beda suku serta agama, bahu membahu menghalau penyerang kota Madinah. Penduduk Madinah pada saat itu berperang melawan penduduk kafir Quraisy Makkah. Tak pelak, jihad dalam Islam tidak melulu sebagai tindakan membela agama. Tapi, juga melindungi negara atau sikap patriotisme.
Demikian gagasan konsep nasionalisme religius ala kaum santri pesantren yang sudah mengakar jauh sebelum negara Indonesia merdeka. Bagi pesantren, hal ini membuktikan bahwa semangat keislaman dan kebangsaan tidak bisa dipisahkan, melainkan justru saling mengisi dan melengkapi.