Press Release
Denpasar – Kementerian Agama (Kemenag) menggelar kegiatan Ngaji Budaya yang melibatkan 500 peserta dari Bali yang terdiri berbagai unsur seperti Penyuluh Agama, Majelis Taklim, dai, Pamong Budaya, Seniman/Budayawan, dan Ormas Islam.
Kegiatan yang bertemakan “Budaya dan Pilar Moderasi Beragama” itu dihelat di Kota Denpasar, Bali Rabu (6/3/2024).
Direktur Penerangan Agama Islam yang diwakili Kasubdit Seni, Budaya, dan Siaran Keagamaan Islam, Wida Sukmawati menjelaskan, moderasi selaras dengan nilai kemanusiaan yang penuh dengan kasih sayang. Moderasi ini diambil dari nilai luhur agama.
“Pada akhirnya moderasi sangat menjunjung kemanusiaan bagi orang beragama bahkan orang yang tidak beragama sekali pun,” katanya.
Wida mencontohkan bagaimana keindahan budaya berkembang yang tidak hanya di Bali tapi di seluruh Indonesia.
“Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan alam dan keragaman budaya, agama, suku, dan bahasa dari Sabang sehingga Merauke. Di Indonesia kita disajikan keindahan kerukunan dalam keberagaman,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Bali, Komang Sri Marheni dalam sambutannya, menyampaikan memadukan keindahan alam Bali dan tradisi Islam Nusantara mampu memperdalam nilai-nilai spiritual masyarakat Islam Nusantara.
Komang Sri Marheni juga mengajak masyarakat untuk merenungkan Islam yang toleransi, menghargai keragaman dan penuh kasih sayang sehingga bisa memberikan layanan spiritual dan dan dapat menjadi agen perubahan kebaikan agama dan bangsa.
“Mari kita renungkan Islam yang toleransi, menghargai keragaman dan penuh kasih sayang dalam Islam itu sehingga kita bisa memberikan layanan spiritual dan dan dapat menjadi agen perubahan kebaikan agama dan bangsa,” ujar Komang.
Pada momen ini, pidato kebudayaan disampaikan oleh Guru Besar Pendidikan Islam Universitas PTIQ Jakarta Prof Made Saihu dan Budayawan muslim Buleleng Ketut Muhammad Suharto.
Prof Saihu mengungkapkan bahwa budaya memengaruhi cara individu memahami dan menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
“Ekspresi budaya mendorong masyarakat meningkatkan kesadaran akan toleransi dan kerukunan yang mendukung terwujudnya moderasi beragama,” kata Saihu.
Ia menjelaskan, ada tiga landasan mengapa budaya selama ini sebagai pilar moderasi beragama.
Pertama, pengawal toleransi meminimalisir konflik berbasis agama. Kedua, perekat komunitas di masyarakat. Ketiga, budaya dapat mengubah perspektif dan memecah stereotip terkait agama.
“Tantangan modern menuntut bentuk perlindungan dan pelestarian budaya yang baru. Keterlibatan semua pihak diperlukan untuk memperkuat budaya sebagai pilar moderasi beragama,” papar penulis buku Merawat Pluralisme Merawat Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Budayawan asal Buleleng, Ketut Muhammad Suharto menceritakan praktik kehidupan muslim di Bali selama ini nyaman berakulturasi dengan budaya lokal Bali. Hal ini sebagaimana di desa kelahirannya, Pegayaman Singaraja.
“Umat sama-sama tidak ada yang merasa terganggu dan diganggu. Semuanya nyaman dan saling toleransi,” ujarnya.
Ia menerangkan, semua adat tradisi yang berkembang di Pegayaman adalah buah hasil filterisasi pakem standar dasar
“Dasarnya adalah Adat Berpangku Syara’ bersandar Kitabullah. Dan muncullah nilai–nilai akulturasi berkembang sampai sekarang,” terangnya.
Dalam kegiatan ini juga dilakukan serah terima buku Ensiklopedia Seni Budaya Islam di Nusantara dari Direktorat Penerangan Agama Islam ke pada Kakanwil Kemenag Provinsi Bali.
Kegiatan ini diawali dengan pertunjukan tari dan seni Islam Rudak (Burdah) dari pelajar MTs Al-Muhajirin Kampung Islam Kepawon, Kota Denpasar dan Tari Hikayat Awi dari Sanggar Seni al-Badar Jembrana dan Tari seni Burceng dari Seniman Bali.