Ketika agama-agama memasuki era baru yakni era revolusi industri 4.0, maka memerlukan pendekatan-pendekatan baru dalam memahami agama. Pada aspek-aspek tertentu, tidak bisa lagi kita mempelajari agama sesuai dengan cara terdahulu (classical period).
Dalam konteks ini, perubahan yang dimaksud adalah cara mengkajinya, cara berpikirnya, dan cara mempelajarinya. Perlu digaris bawahi bahwa bukan agamanya yang berubah, namun manhaj (metode) yang perlu perubahan.
Pada era klasik, biasanya para pengkaji agama hanya menggunakan pendekatan al-qiraat at-taklidiyah. Pendekatan al-qiraat at-taklidiyah ini hanya mengikuti bagaimana cara-cara orang terdahulu memahami agama.
Pendekatan semacam ini jika terbatas pada wilayah aqidah dan ibadah, memang seperti itulah yang seharusnya. Tanpa contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, kita tidak bisa mengira-ngira sendiri bagaimana cara beribadah yang sesuai dengan Alquran.
Untuk wilayah mu’amalah; hubungan sosial, hubungan antarumat beragama dan sesama Muslim, maka membutuhkan pendekatan lain. Seperti pendekatan historis (al-qiraat at-tarikhiyyah), pendekatan maqashid syari’ah (al-qira’at al-maqashidiyah) dan pendekatan akhlak tasawuf (al-qiraat al-akhlaqiyah assufiyyah).
Apabila keempat pendekatan tersebut saling berdialog, maka hasilnya diharapkan mampu membantu kita dalam menghadapi era multicultural-multifaceted seperti saat ini. Pendekatan semacam inilah yang diperlukan oleh generasi milenial Islam khususnya.
Tentu saja output-nya harus lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusian (al-insaniyah). Hal ini karena pada era yang amat disruptif ini kita begitu fokus akan ilmu pengetahuan dan teknologi namun mengabaikan spiritualitas.
Kaidah al-Islamu shalihun likulli zaman wa makan (الإسلام صالح لكل زمن ومكان), mengisyaratkan bahwa sejatinya Islam sebagai agama, pemikiran, doktrin dan pengamalannya harus dapat menembus batas-batas ruang dan waktu.
Menurut Prof Mohammed Arkoun, Islam sebagai ajaran harus senantiasa mengilhami manusia untuk berpikir, berperilaku dan bertindak di muka bumi. Sehingga dengan sifatnya yang zamkany, yakni harus selalu sejalan dengan dimensi historisitas ruang dan waktu.
Kaidah ini searah dengan keinginan penulis untuk merekonstruksi cara berpikir atau manhaj kita dalam memahami agama agar konteksual dan relevan. Hal ini untuk menekan berkembangnya keberagamaan yang kaku, rigid, bahkan kalau tidak hati-hati dapat menimbulkan sikap intoleran dan ekstremisme. Tindakan tersebut dapat muncul selain karena tantangan-tantangan zaman industri baru tetapi juga karena manhaj; cara berpikir dan pemahaman keagamaannya yang keliru.
Metodelogi berpikir di era multikultural-multirelegius seperti saat ini juga harus diubah. Menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Amin Abdullah, tidak relevan lagi jika kita masih memakai pola berpikir dan sudut pandang oposisi biner. Maksudnya yaitu meyakini satu definisi (pasti benar) dan menegasikan definisi yang lain (pasti salah).
Sebagai contoh, muslim-kafir, halal-haram, benar-salah, dan seterusnya. Pola berpikir semacam ini terkadang kurang relevan karena telah menutup celah ruang ketiga yang bisa memecah kebekuan paradigma berpikir.
Oleh karenanya, jangan sampai generasi milenial Muslim terjebak pada cara berpikir oposisi biner dalam menghadapi permasalahan di masyarakat. Maka, setidaknya generasi milenial Islam di era revolusi industri 4.0 ini perlu menginisiasi cara berpikir baru, sebagaimana dua (2) metode berikut ini:
Pertama, kita perlu melatih memahami permasalahan menggunakan compect problem solving. Ada beberapa hal dunia ini tidak bisa diselesaikan dengan pola pikir oposisi biner.
Sebagai contoh, kasus “Penyegelan makam masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR)” di situs Curug Go’ong Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Makam tersebut milik kelompok Sunda Wiwitan di kawasan setempat.
Ironisnya aparat Negara justru terlibat dengan kasus tersebut dengan menurunkan Satpol PP dalam melakukan penyegelan makam itu. Padahal dalam pasal 29 ayat 2 menyebutkan, warga negara diberi kemerdekaan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Kita jelas tidak boleh menyalahkan begitu saja praktik kepercayaan lokal semacam itu. Karena mereka juga memiliki pandangan dan keinginan tertentu. Makanya, kita harus menggunakan pilihan metode baru untuk menjelaskan pemecahan masalah yang rumit ini. Salah satunya yaitu menggunakan metode pendekatan transdisipliner. Jadi, bukan oposisi biner.
Kedua, fearness. Para generasi milenial perlu fleksibel dalam mengatasi setiap permasalahan yang rumit. Inilah maksud dari cognitive flexibility. Dalam berpikir, bertindak, dan bersikap, generasi milenial harus fleksibel. Sebab, bukan tidak mungkin generasi milenial akan berhadapan dengan kelompok-kelompok atau ormas yang rigid.
Dalam melihat suatu fenomena, harus didasarkan oleh sikap adil, tetapi apakah yang dimaksud adil di sini? Jika definisi adil sebagai “menaruh sesuatu pada tempatnya”, maka tampaknya sudah tidak relevan lagi untuk mengikuti tradisi pola pikir opoisisi biner.
Alasannya, konsep ini hanya mewakili kepentingan kelompok tertentu yang sudah pasti akan berbeda dengan kepentingan kelompok yang lain. Maka perlu pemaknaan baru tentang konsep adil melalui multiperspektif para ahli; sosiolog, antropolog, budayawan, psikolog, agamawan dan lain-lain agar terjadi dialog.
Prinsip mau mendengar dan memahami satu sama lain inilah yang bernama dengan cognitive flexibilty. Artinya, cara-cara tersebutlah mampu memecah kebekuan dan kebuntuan cara berpikir oposisi biner dan melunakkan batas-batas kaku berpikir sekarang.
Dengan demikian, menjadi penting untuk melahirkan generasi milenial Islam yang memiliki kapasitas higher order of thinking dan cognitive flexibility. Di samping juga memiliki kemampuan memecahkan masalah yang kompleks di era revolusi industri 4.0 yang berhadapan dengan tantangan disruptif.