KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu majelis pengajian bersama para santri menjelaskan tentang beberapa hal yang jarang diketahui publik sebelum wafatnya KH Maimoen Zubair. Beliau merupakan ulama kharismatik sekaligus guru Gus Baha ketika mondok di Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Mbah Moen di Sarang Rembang sebelum wafat terlihat sangat bahagia ketika mau pergi haji.
Bahkan, ada beberapa santri yang diminta mendoakan beliau (Mbah Moen) sebelum keberangkatannya ke Tanah Suci.
“Dongakno cung yo aku… Yowes mati neng Mekkah” (doakan saya nak, biar nanti meninggal di Mekkah).
Awalnya itu seperti sudah terencana. Saya tuh tahu betul. Wong saya beberapa hari sering kepanggeh (ketemu) beliau.
Jadi, beliau itu menyinggung masalah uang. Ini sisi lain yang mungkin jarang diekspos ke publik. Beberapa uang beliau itu dititipkan ke Gus Ubab.
Gus Ubab ini adalah putra sulungnya Mbah Moen. Dawuh Mbah Moen, “Bab, uang ini kalau aku pulang nanti kembalikan lagi, kalau tidak bagi-bagikanlah ke anak-anak”.
Beberapa hal yang terkait keluarga itu kan ya sudah terencana seperti itu.
Beliau sering cerita bahwa Kakek Buyutnya itu seringkali wafat pada hari Selasa. Dan yang paling saya kenang itu guyonnya beliau. Dan memang guyonnya beliau itu bagus semua.
Guyonnya Mbah Moen itu seperti ini, “Aku nek mati Seloso, berarti aku ulama” (aku kalau mati hari Selasa, berarti aku ini ulama).
Beda cerita sama kalian, mau Selasa apa Sabtu nggak ada pengaruhnya sama sekali. Haha…
Orang tidak akan menganggap kalian ulama, meskipun kalian mati hari Selasa sekalipun.
Ini saya berbicara kaitannya Ulama lho ya, kalian jangan suka menyamakan dua hal yang berbeda.
Lanjut, kata Mbah Moen, “Aku nek mati Seloso, berarti Pengeran berarti nganggo alim”.
Maksudnya status alim. Beliau memang tidak mengatakan demikian secara langsung, tapi kita bisa memahami bahwa ulama memang seringkali wafat di hari Selasa.
“Nek aku matine Jum’at, berarti aku iki wali.”
Saya membantah beliau dengan guyonan, “Wah kalo itu penak e Mbah, hahaha”. Mbah Moen pun tertawa.
Artinya begini, dari kisah tadi menunjukkan betapa husnudhonnya Mbah Moen terhadap Allah. Jika meninggalnya Selasa, maka statusnya ulama. Jika meninggalnya hari Jum’at, maka statusnya Wali.
Nek kowe paling mati Seloso yo mati, mati Jum’at yo wong trimo ndarani mati. Hehee.. Malah nek matimu nyakang jam 11 malah tonggo-tonggo ngomong, ‘”Wayah Jum’atan kok mati barang”. Hehe.. Dadi wong ra jelas koyo kowe malah penak, mati yo mati wae.
(Kalau kalian paling mati Selasa atau jumat pun tidak ada bedanya, orang lain hanya menganggap biasa kematianmu. Apalagi kalau misalkan kamu matinya nanggung jam 11 siang, tetanggamu itu malah bilang, “Waktu Jum’atan kok mati segala”. Hehe… Jadi orang tidak kelas kaya kalian ini enak, kalau mati ya mati saja).
Saya tiap kali membaca Ratib Haddad-nya Sayyid Abdullah itu pasti teringat Yai (Mbah Moen). Karena jauh sebelum wafatya Mbah Moen, sayyid Abdullah yang masyhur sebagai wali Quthb itu pun wafat pada hari Selasa.
Karena Allah itu menciptakan gunung itu pada hari Selasa, dan beberapa ulama juga pada hari Selasa. Sebab, ulama itu diibaratkan gunung.
Begitupula Mbah Maimoen dan juga termasuk mbah-mbahnya Lek Lukman (paman saya) itu wafatnya pada hari selasa. Tapi, beberapa dari keluarganya Mbah Moen kebanyakan juga wafat di hari Jum’at.
Jadi, keluarga Mbah Moen itu wafatnya kalau tidak hari Selasa ya hari Jum’at. Kalau saya tidak milih-milih hari, ikut seperti kalian saja, meninggal ya meninggal saja tidak usah ribet. (Muhammad Ulin Nuha)
Simak sumber video lengkapnya bisa diakses di sini: klik >> “Gus Baha – Mbah Moen”