KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, Pengasuh Pesantren Tahfidz Al-Qur’an LP3IA Narukan Rembang, dalam suatu pengajian kitab bersama para santri pernah menjelaskan tentang siapa yang berhak atas pengelolaan zakat.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Saya sering ditanya orang, “Gus, zakat baiknya diberikan panitia masjid atau diberikan sendiri?”
Kamu tanya atas dasar dengki atau tanya apik-apikan (lebih baik)?
Kalau kamu dengki ingin mengomentari panitia masjid, saya jawab, “Mending kamu berikan masjid biar sifat dengkimu itu kamu lawan sendiri”.
Zaman sekarang gampang, misalnya saya punya uang satu juta, kebetulan yang miskin itu keponakan saya atau orang yang tidak wajib saya tanggung. Misalnya, anak dan istri kan wajib ditanggung.
Maka aturan Al-Qur’an jelas, dahulukan ذوى القربى (orang yang punya unsur kerabat).
Saya tahu kalau uang satu juta tadi saya kasihkan ke masjid, dibagi satu kampung itu nanti keponakan saya cuma dapat 25 ribu. Uang segitu nggak bisa buat beli beras.
Tapi, jika saya sendiri yang memberikan ke keponakan saya, dia bisa dapat bagian 300 ribuan atau malah bisa jadi dapat satu jutaan. Saya harus memberikan langsung dengan cara ini. Hal ini dalam istilah Jawa disebut kemoto (pantas dilihat).
Hanya saja, ada ulama yang cara berpikirnya tidak seperti itu,من اوّل الامر , artinya zakat itu ya harus merata.
Wes ora kemoto lah penting sakdeso keduman, koyo manuk doro rak lah (meski tidak pantas untuk dilihat, yang penting satu desa kebagian semua, mirip kaya jatah burung dara tidak apa-apa).
Termasuk Madzhab Syafi’i yang dikontrol oleh ashabnya adalah madzhab ini. Dengarkan ini, keterangan ini ada di kitab Fathul Mu’in dan I’anah Thalib.
Zakat itu kan asnaf-nya ada 8, berapa? Delapan. Ini anggap saja di era modern tinggal berapa yang permanen ada sekarang?
Fuqara, Miskin, Amil…? Amil tidak pasti adanya. Saya tidak yakin Amil di masjid itu Amil betulan. Orang cuma mencatat terus ramai-ramai sambil ngerokok menunggu orang yang daftar.
Kadang ya ada laki-laki dan perempuannya, ya pacaran tidaknya tidak tahu. Pokoknya sebagian tidak islami sekali.
Dulu Amil itu begini.. Saya ceritakan Nabi itu hidup di Madinah, amil zakatnya itu disuruh mengambil ke Yaman.
Bisa kalian bayangkan zaman dahulu jarak Madinah – Yaman tidak pakai pesawat…?
Sehingga jika mereka dapat jatah zakat itu wajar saja. Tapi, kalau Amil di masjid yang sekarang itu kesusahan tidak? Cuma duduk terus ngerokok, lalu ada yang menyuguhi kopi.
Tapi, misalkan ada Kiai Mustofa Dzar, “Itu yo Amil Gus… Di era modern yang kaya begini sudah cukup disebut Amil”. Ya ada benarnya juga. Wong nyatanya Amil beneran.
Terus kalau saya punya pendapat, “Itu ya bukan Amil”. Orang cuma gitu-gitu aja kok dikasih Zakat.
Terus juga karena sebagian dari mereka sebagian orang yang mampu, gelarnya S1, kadang juga jurusannya ekonomi, kok dapat zakat?
Terus, misalkan satu Zakatan di Masjid dapat 2 kwintal, 2 kwintal itu berapa kilo berarti? 200 kg nggeh???
Dari 200 kg itu orang yang miskin itu 400 orang, berarti yang wajib dizakati dapat berapa?
Ayo kamu tak ajak mikir, jangan cuma bahas urusan dunia akhirat saja! Jadi dapat berapa?
Setengah kiloan, setengah kilo itu kaya makanan burung dara. Terus kalau yang miskin 800? Berarti cuma dapat seperempat.
Sekarang gini, mending mana antara pembagian zakat nggak merata (kemoto) dapat 20 kg atau tetap dibagi merata tapi bagian orang yang dapat itu mirip burung dara? Yaitu tadi dapat beras seperempat. Hayo jawab siapa yang bisa?
Ini baru yang namanya khilaf (perbedaan). Tadi yang mengatakan ta’mim, harus rata biar adil pembagiannya ya masuk akal. Mau bagaimana lagi, masa sama-sama fakir kok tidak dibagi rata?
Tapi, ada ulama berpendapat, lebih baik tidak usah merata yang penting kemoto (pantas). Artinya, menghargai orang.
Bagaimanapun faktor zakat itu ada unsur ikrom nya, كلا بل لا تكرمون اليتيم .
Jika memberikan itu ada unsur memuliakannya. Orang memberikan beras seperempat kilo itu memuliakan atau malah ngenyek (menghina)?
Maka dari itu orang itu mikir…! Paham…?
Paham tenan tah ora iki???
Nah, itulah yang dinamakan ijtihad, ijtihad itu mirip-mirip: رأينا صواب يحتمل الخطاء ورأيك خطاء يحتمل الصواب . Pendapatku itu benar tapi ya mungkin saja salah, dan kamu itu salah tapi mungkin saja benar.
Cek sumber video pengajian ini: klik >> “Gus Baha – Zakat“