Gus Baha Jelaskan Hukum Kurban untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal
Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menerangkan tentang hukum sah atau tidak sahnya kurban untuk orang tua yang sudah meninggal.
Berikut penjelasan dari Gus Baha:
Kurban satu sapi cukup untuk 7 orang. Jumlah 7 orang bisa keluarga maupun orang yang kita amali. Memang dari dulu Islam itu membolehkan amal untuk orang lain.
Dulu ada orang, “Ya Rasulullah orang tua saya sudah tua, beliau ingin haji. Tapi kalau haji tidak bisa karena sudah tidak bisa berkendara unta.”
Rasulullah menjawab, “Ya sudah kamu saja yang haji sebagai ganti bapak kamu.”
Mulai dari dulu Islam memang ada beberapa hal yang amal itu bisa diamali untuk orang lain.
Kurban juga begitu. Biasanya anak-anak yang sholeh itu merasa dulu bapak kami miskin tidak mampu kurban, tidak mampu aqiqah. Terus biasanya si anak melakukan itu untuk bapaknya.
Memang jadi perdebatan ulama, “Apakah mayit ini mendapatkan pahalanya tidak?” Jawabannya begini, kalau mayit itu orang sholeh dapat. Tapi kalau tidak sholeh kemungkinan dapat kecil.
Misalnya ada mayit ketika zaman hidup, anti pati ngamal. “Kok enak uangku yang hilang, orang lain nyate”. Dia mentalnya mental kikir. Terus mental seperti itu dibawa mati.
Kemudian si anak sholeh berkurban untuk bapaknya. Lah yang seperti ini ada potensi tidak sampai, karena dia tidak punya niat.
Itu beda dengan orang yang zaman hidup memang ingin kurban tapi tidak mampu.
Maka, inilah pentingnya innamal a’malu binniat itu di situ. Amal itu terserah niat.
Dalam banyak syarah, dijelaskan kenapa orang mukmin masuk surga selama-lamanya padahal dia jadi mukmin hanya 80 tahun. Kan kita rata-rata hidup di dunia sekitar 80 tahun.
Karena dia berkomitmen, andaikan hidup 1000 tahun ya tetap mukmin. Andaikan hidup 1000 tahun ya tetap mukmin tetap shalat.
Setiap orang sholeh perasaannya sama, andakan kita hidup 2000 tahun ya tetap seperti ini kan? Tetap shalat dan lain-lain.
Sehingga karena niat itu, dia diganjar surga selamanya, karena dia membayangkan andaikan hidup di dunia selamanya akan tetap iman.
Orang kafir juga berkomitmen begitu. Kalau dia hidup ya akan kafir terus. Makanya, kekafirannya, 80 tahun misalnya, mendapat hukuman di neraka juga lama sekali. Kira-kira seperti itu.
Makanya, kalau mayit yang tidak sholeh ini, kita para ulama berdebat karena tadi. Ibarat begini, ada mayit tidak pernah shalat, bahkan dulu mengkritik orang shalat. Terus mati, anaknya jadi orang sholeh.
Anak itu terus tanya kepada saya, “Gus, bapakku aku qodhoi tidak?”
Bapak anak ini tidak shalat, meng-qodhoi ya tidak kuat kan?
Beda misalnya dengan kita punya bapak orang yang sholeh. Koma dua hari kan kita hanya meng-qodho’ dua hari. Lah ini orang tidak shalat dari kecil sampai tua sampai mati, anaknya sholeh kan tersiksa.
“Shalatnya saya qodhoi tidak?”
“Lah bapakmu shalat tidak?”
“Mboten (tidak).”
“Wah ya capek kamu.”
Sudah capek dan orang ini (si bapak) tidak berkeinginan shalat.
Lah ini yang kadang orang salah kaprah, “Bisa tidak amal sampai kepada mayit?”
Sebenarnya di dunia ulama perdebatannya tidak pada masalah sampai tidaknya, tapi mayitnya ini siapa?
Mayit ini sholeh ya jelas, karena sabda Nabi jelas:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا الى يوم القيمة
Orang baik kemudian mengajarkan kebaikan pasti dia dapat investasi kebaikan tersebut. Dan siapapun yang meniru dia, dia dapat sahamnya.
Itu tidak ada perbedaan antara NU, Muhammadiyah, dan Wahabi, semuanya sama.
Yang depat itu yang tidak paham. Saya jamin. Hehehe.. Haditsnya shahih.
Siapa yang mensyariatkan kebaikan, maka kebaikan itu ditiru oleh orang setelahnya maka ia dapat kebaikan itu dan kebaikan orang yang meniru itu. Itu kan hadis shahih tidak ada perdebatan sama sekali.
Simak video sumber pengajian ini: “Gus Baha – Kurban untuk Orangtua”