Ulama ahli Tafsir Al-Qur’an asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam suatu majelis pengajian bersama para santri pernah menjelaskan tentang hukum memakai kas masjid untuk keperluan pengajian.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Uang masjid yang dimakan (dipakai) sendiri oleh panitia itu banyak. Kenapa tidak? Coba kamu pikir.
Orang menyumbang masjid itu pasti pikirannya untuk keramik, alat wudhu atau bangunan. Misal, terkumpul uang 100 juta. Uang 100 juta itu dibuat acara, makan-makannya saja menghabiskan 2 juta.
Pernah tidak terbayang oleh si penyumbang masjid di awal tadi bahwa uang yang 2 juta itu dipakai makan-makan? Tidak pernah!
Padahal di bab wakaf itu berbunyi: نِيَّةُ الْوَاقِفِ بِمَنْزِلَةِ نَصِّ الشَّارِعِ artinya, teks yang dikeluarkan oleh waqif (orang yang waqaf) itu setingkat dengan teks-nya Syari’. Teks yang tidak boleh diubah.
Makanya, saya minta kepada siapa saja takmir masjid di sini atau siapapun bahwa kalau ada pengajian atau (acara) apapun, maka buatlah iuran yang baru untuk pengajian tersebut.
Karena berarti orang beramal (iuran) itu untuk pengajian. Jangan menggunakan uang kas yang lama-lama, karena kas yang lama itu khusus untuk masjid. Teks-nya untuk masjid, dan itu tidak boleh digunakan untuk (keperluan) lain.
Makanya itu ekstrem betul dalam bab fikih!
Saya pernah ditanya. Ini kisah nyata. Ada tamu yang datang ke saya. Dia orang kaya yang kebetulan pikirannya waras, tapi kelakuannya tidak begitu waras. Dia datang ke saya itu dalam keadaan setengah waras.
“Gus, di tempat saya ada acara santunan anak yatim piatu. Undangannya juga untuk santunan yatim piatu. Dana (acara) itu terkumpul 100 juta.”
Pertanyaan dia, “Yang 10 juta untuk pengajian dan di dalamnya ada acara makan-makan. Ada anggur dan lain sebagainya, pakai dana yang 10 juta. Berarti (dana) yang benar-benar sampai kepada (anak) yatim piatu itu 90 juta.”
Saya jawab begini, “Apakah harus saya jawab dengan jujur atau basa basi karena Anda tamu?”
“Jujur, Gus.”
Wah, saya marahi dia!!
Orang ketika disebutkan kata ‘yatim’, maka orang yang pelit pun menjadi dermawan. Misal dia itu MT#, PK#, atau Wah#bi, ketika disebut kata ‘yatim’ pasti akan menyumbang.
Tapi, kalau disebut pengajian atau mubalig, lantas mubalig-nya NU maka MT# tidak ikut menyumbang. Jika mubalig-nya MT#, maka NU yang tidak ikut menyumbang.
Jadi, terkumpul banyak (dana) itu karena berkahnya menjual nama “yatim”!
Artinya apa? Kalimat untuk ‘yatim’ itu sighat.
Paham nggeh?!
Setelah terkumpul 100 juta maka itu milik anak yatim. Artinya kalau (dana) 100 juta itu ada yang dipakai untuk selain anak yatim, maka harus minta izin kepada anak yatim!
Link ngaji versi audio-video: