KH Ahmad Bahauddin Nursalim, ulama ahli Qur’an yang juga pengasuh Pesantren Tahfidz LP3IA, Narukan, Kab. Rembang, dalam suatu majelis pengajian kitab tafsir bersama para santri pernah menjelaskan tentang hukum mengadopsi (mengangkat) anak dalam ajaran Islam.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Agama melarang mengadopsi atau mengangkat anak. Kalau terpaksa ada orang mengangkat anak, maka harus dicatat nasabnya serta dimaklumatkan (diumumkan) di keluarga anak yang diadopsi maupun keluarga yang mengadopsi.
Karena, nanti ditakutkan terjadi ikhtilathil ansab (percampuran nasab). Karena, setiap 1 orang itu mempunyai 7 orang yang haram dinikah karena hubungan nasab yaitu ibu, saudara perempuan, bibi dari bapak, bibi dari ibu, ponakan (anaknya saudara laki-laki maupun perempuan).
Dahulu Rasulullah mempunyai anak angkat bernama Zaid. Sampai-sampai orang bukannya menyebut “Zaid bin Haritsah”, tapi malah “Zaid bin Muhammad”.
Lalu Allah sendiri yang membatalkan, “Orang-orang harus menyebut Zaid bin Haritsah, tidak boleh Zaid bin Muhammad!”
Sampai turun ayat lewat Allah langsung:
(Al-Ahzab, ayat 5)
Orang harus disebut dengan nama bapaknya. Itulah kalau mau adil menurut Allah.
Pertama, adopsi itu melahirkan kesombongan. Misalnya, saya mengangkat anak Rukhin sebagai anak angkat. Kan lebih keren “Bin Gus Baha” daripada “Bin Rukhin”.
Kedua, terjadi ikhtilathil ansab (percampuran nasab). Misalnya, anak Rukhin ikut saya sampai sudah kuliah. Ternyata malah pacaran dengan saudara (kandung) sendiri. Kemudian menikahi saudaranya sendiri atau keponakan sendiri.
Itu bahaya sekali, sangat-sangat bahaya…!!
Makanya, Nabi mengancam: Barang siapa yang mengaku bukan bapaknya yang diakui bapaknya, maka dianggap mengafiri (mengingkari) ajaran Kanjeng Nabi.
Saya minta kepada yang sudah terlanjur mengangkat anak agar tetap ditulis silsilah keluarganya dan saudaranya berapa.
Kalau anak itu tersinggung dianggap anak angkat, berarti itu anak sombong, mending kembalikan ke keluarganya. Kalau memang baik ya baik.
Dua alasan di atas itu menurut Quran dan Hadis. Lalu, orang kalau mengangkat anak kan rata-rata alasannya (niatnya) kasihan menolong orang miskin.
Nah ini menurut saya sebagai ulama, kalau memang niatnya begitu (kasihan), kembalikan ke keluarganya dan tetap dibiayai saja. Dia akan mendapatkan kasih sayang keluarga.
Namun, soal dharurat ketika kamu tidak punya anak, lalu ada keponakan atau keluarga, kemudian kamu angkat anak, tapi nasabnya harus tetap ditulis lho ya..
Karena, ciri utama manusia adalah orang harus jelas nasabnya.
Link ngaji versi audio-visual: