Ulama ahli Al-Qur’an dan Tafsir asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu pengajian kitab tafsir bersama para santri pernah menjelaskan maksud hadis malaikat tidak akan masuk rumah yang ada anjing.
Berikut penjelasan dari Gus Baha:
Nabi pernah bersabda,
“Tidak akan masuk malaikat ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”
Ulama lalu menafsiri, “Maksudnya adalah Malaikat Rahmat, kalau Malaikat Maut, lancar saja.”
Apabila kaidahnya semua malaikat tidak masuk rumah yang ada anjing, maka orang yang punya anjing tidak akan mati.
Ulama berijtihad, “Malaikat Rahmat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjing.”
Kata ulama sufi yang protes, “Tidak ada orang yang tidak mendapatkan rahmat. Mau ada anjing atau tidak (di rumahnya) tetap saja dapat rahmat.”
Pusing, betul tidak?
Tadi kan ulama menafsiri hanya malaikat azab saja (yang masuk rumah). Malaikat azab, malaikat maut bebas. Mau ada anjing atau tidak, tetap masuk!
Tapi, yang mengatakan malaikat rahmat tidak bisa masuk, ditentang! “Apa karena ada anjingnya lantas tidak ada rahmat Allah?” Ya tetap ada kan?! Hehehe
Kenyataannya orang yang punya anjing mampu makan. Berarti dapat rahmat apa tidak? Ya mampu (beli) minum.
Akhirnya, ulama-ulama sufi, coba kamu ngaji (kitab) Al-Hikam dan Ihya’ Ulumiddin. Itu (hadis) bahasa kinayah (metafor), sabda Nabi tentang itu hanyalah kinayah (metafor):
“Rumah yang dimaksud di sini adalah hati.”
Saya cuma cerita ijtihad.
Terus kalbun murādan bihî at-thama’ (كلب مرادا به الطمع)
Aw sūratun murîdan bihî al-khayyal (او صورة مريدا به الخيل)
Malaikat itu tidak masuk ke hati di mana hati itu ada mental tamak, ingin barang (milik) orang lain, atau mental khayyal, senangnya berimajinasi atau berfantasi.
Ulama sufi, mentang-mentang berijtihad, ingin menang-menangnya sendiri, pokoknya punya pendapat pasti punya alasan. Alasan mereka (ulama sufi) menggunakan ayat:
(Quran Surat Al-A’raf Ayat 175-176)
Orang alim yang tidak bisa mengamalkan ilmunya yaitu orang-orang alim yang merasa abadi di bumi, seperti anjing (kamatsalil kalbi).
Lah anjing itu bagaimana? In tahmil ‘alaihi yalhats aw tatrukhū yalhats.
Kamu bentak, ya melet-melet (menjulurkan lidah). Tidak kamu bentak juga tetap melet-melet.
Kemudian ulama menafsiri dengan makna “tamak”, karena anjing itu punya penyakit tamak.
Jadi, ulama sufi itu punya panggung. Maksud dari “anjing” di situ adalah tamak.
Jadi, orang Islam itu hatinya tidak akan pernah dihuni malaikat kalau hatinya punya mental “tamak”.
Sekarang kalian masih mazhab Syafi’i atau gaya bebas? Hehehe
Saya bukan dalam konteks sekuler atau modern. Tidak!
Saya ngaji (kitab) Mahalli, ngaji Wahhab. Jadi ketika saya (berpikiran) modern, artinya punya banyak pilihan, memang karena alim. Bukan karena bid’ah, bukan! Tidak juga ingin yang aneh-aneh.
Saya punya akurasi ilmiah di dalam mazhab fikih, bisa kamu baca di Al-Madzāhibul Arba’ah, Mahalli atau Fathul Mu’in terdapat keterangan, menurut imam Malik najis apa tidak? Tidak! Zaman kamu ngaji, ‘najis tidak?’ Tidak!
Karena ketika Nabi bersabda, redaksi aslinya itu idzā walagha (اذا ولغ) ‘ketika menjilat’. Selain menjilat, ada redaksi ‘wadah’. Lah ini kan, dua hal yang memang diperlakukan secara berbeda.
Betul tidak?
Kamu disentuh Musthofa masih mau, tapi kalau dijilat pasti tidak mau!
Kemudian ‘wadah’, wadah itu tempat minum.
Lantai atau garasi ada telek (tahi ayam), mungkin tidak kamu cuci. Tapi, kalau wadah untuk minum, jangankan telek, ada debu saja kamu cuci.
Kalau begitu ya tidak perlu seekstrem itu (terhadap anjing)! Artinya kalau wadah ya memang pantasnya disucikan.
Tidak harus (dijilat) anjing. Seumpama yang menjilat itu ayam atau kerbau sekalipun, Nabi bersabda, ‘Kalau dijilat kerbau, cucilah!” Hehehe
Betul tidak? Kira-kira begitu. Hehehe
Makanya, ngaji sama orang alim, biar pengalaman.
Imam Suyuthi tetap berani menafsiri ayil kawāsib minal kilāb (اي الكواسب من الكلاب), hewan pemburu dari jenis anjing. Kilāb (كلاب) itu jamaknya lafal kalbun (كلب) artinya anjing.
Bagi Syafi’iyah atau kiai jejeran (bersanding) ya pasti tidak berani. Anjing itu sudah merupakan pantangan!
Tapi, Imam Suyuthi tetap mencontohkan dengan minal kilāb, dari jenis anjing. Itu Imam Suyuthi lho… Redaksinya kalbun ya berarti anjing itu.
Ya karena memang tidak ada kesepakatan kalau anjing itu najis. Kemudian tahu-tahu ada Syafi’iyah (bukan Imam Syafi’i), orang-orang Syafi’i itu yang anti sama anjing. Itu karena dihukumi najis.
Itulah yang namanya ijtihad!
Jadi, Imam Malik menitikberatkan pada ‘jilat’ dan ‘wadah’. ‘Jilat’ dan ‘wadah’ itu memang perlakuannya beda (tidak hanya untuk anjing).
Imam Syafi’i tidak demikian, jika menjilat saja najis, yang lain juga najis.
Jadi, masalah ijtihad itu memang repot.
Seperti ini masalah ijtihad. Yang jelas, apapun perbedaan ulama, itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih jujur dan objektif bahwa anjing itu hewan yang mudah dilatih.
Sehingga Al-Qur’an mengistilahkan hewan pemburu yang sudah dilatih dengan istilah wa mā ‘allamtum minal jawārihi mukallibīn (وما علمتم من الجوارح مكلبين).
Hewan-hewan yang sudah “meng-anjing”. Hewan-hewan yang sudah berkarakter seperti anjing, artinya terpelajar.
Yang jelas sekarang secara faktual dan realitas itu begitu. Yang namanya kepolisian, narkoba (BNN), apa saja, tidak bisa memungkiri makhluk yang namanya anjing.
Memang orang Islam lebih suka dengan kucing. Padahal cerita tentang anjing tidak kalah terhormat. Ashabul Kahfi punya hewan peliharaan dan itu anjing!
Tapi, cerita itu tidak mengurangi ciri (stigma) kalau anjing itu sebagai peliharaan orang zalim.
Yang berlaku, di mana-mana, daerah santri itu tidak ada anjing. Daerah abangan? Ada anjingnya.
Sekarang sudah demikian. Ya harus mengikuti. Wong tahu-tahu sudah begitu. Kamu berani spekulasi jadi kiai yang merawat asu (anjing)? Hehehe
Kalau berani nanti dipanggil “Kiai Asu”! Hehehe
Tapi yang jelas, kata ‘anjing’ itu dipakai dua kali dalam Al-Qur’an. Menyangkut kecerdasan ya diakui. Tapi, watak tamak juga diakui.
Jadi, cerita mazhab fikih itu begitu tentang anjing.
Hewan yang ditangkap oleh hewan pemburu anjing itu tidak apa-apa, halal. Itu karena zaman dahulu menangkap kijang menyuruh anjing yang terlatih.
Jika sudah tertangkap oleh anjing, meskipun dalam keadaan mati tetap halal. Asalkan, saat melepaskan anjing membaca bismillah dan hewan yang disuruh memburu sudah terlatih.
Itu menurut Imam Suyuthi tidak masalah, meski hewan pemburunya adalah anjing.
Jadi, kamu itu tidak usah tanya, “najis tidak?” Yang jelas harus dibasuh!
Jadi, kamu tidak usah begini, “Ketika dihukum suci harusnya tidak usah dibasuh”. Tidak demikian!
Ya namanya dijilat anjing ya harus dibasuh (dicuci). Seperti gelasmu dijilat kerbau, ya dicuci atau dijilat sapi, kira-kira kamu cuci atau tidak? Cuci!
Jadi, ya biasa saja. Orang kok berlebihan…!
Link Ngaji Versi Video: