KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha ketika mengisi pengajian kitab bersama para santri menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut Ahlussunnah dalam sejarah Islam klasik hingga sejarah intelektual di Indonesia.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Dalam sejarah, setelah Sayyidina Ali dan Muawwiyah keok (kalah). Terus punya putra Sayyid Husain. Lalu Sayyid Husain disuruh mengakui pemerintahan Yazid di Syam.
Sayyid Husain tidak berkenan. “Kalau begitu lebih baik mati.“ Kemudian ia dibantai di Karbala.
Ketika dibantai di Karbala malah melahirkan trauma lagi. Orang Islam yang model tipikal Sunni tetap mengikuti Yazid.
Tipikal Sunni ya, bukan Sunni mengikuti Yazid. Tidak perlu dituntut dendam, malah tidak akan ada selesainya. Akhirnya tidak dendam.
Kelompok Syi’ah itu, ”Apa-apaan, cucu Nabi wafat kok dingin-dingin saja! Harus ada revolusi.”
Akhirnya revolusi itu melahirkan kelompok Syi’ah.
Karena kelompok Syi’ah berangkat dari tragedi Sayyidina Husain, semua penanggalan Syi’ah mengacu 10 Muharram, di tanggal wafatnya Sayyid Husain.
Nah, Ahlissunnah memulai dulu karena melihat fenomena-fenomena yang bermacam-macam. Akhirnya seperti orang Nahdlatul Ulama (NU) sekarang. NU tidak ikut-ikutan itu dari dahulu.
Begitu terus sejarah sampai lahirnya sejarah intelektual, yaitu yang diikuti seperti Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Fadhol, dan ulama-ulama lainnya. Kemudian ada panduan Ahlissunnah secara gampang.
Secara gampang artinya begini, Ahlissunnah itu siapa?
Orang yang dalam fikih mengikuti salah satu empat (4) madzab. Orang dalam ilmu kalam mengikuti Imam Abu Musa Al-Asy’ari atau Imam Abu Mansur Al-Maturidi, dalam tasawuf mengikuti Imam Abu Qosim Al-Baghdadi atau Syekh Abdul Qodir Jailani.
Tetapi kan orang-orang yang jadi panutan kita orang yang baru datang kemarin.
Mosok Sahabat bisa disebut Ahlissunnah?
Mosok Tabi’in disebut pengikut Abu Musa Al Asyari?
Duluan mana tabi’in dan Abu Musa Al Asyari?
Masak Sayyidina Umar pengikut Imam Syafi’i? Kan lebih dulu Sayyidina Umar.
Itu yang disebut pembakuan sejarah secara intelektual. Artinya karena mendefinisikan Ahlissunnah itu susah, jadi pokoknya Ahlissuunah itu orang yang ciri utamanya Syafi’i atau Maliki atau Hanafi. Dalam akidah ikut Asy’ari atau Maturidi. Ya begitu saja.
Lama-lama, akhirnya secara kultural seperti di Indonesia di-ta’rif (didefinisikan) Ahlissunnah itu siapa? Ya kalau tidak NU ya Muhammadiyah.
Nah, kalau Wahabi itu mengklaim Ahlisunnah. Lho kalian jangan salah paham!
Wahabi menurut konvensi internasional itu masih Ahhlissunnah. Dalam seminar-seminar OKI sedunia, Wahabi itu masih kategori Ahlissunnah. Muhammadiyah juga masih kategori Ahlissunnah.
Tapi kemudian direduksi lagi, siapa itu Ahlissunnah? Pokoknya yang sarungan dan ketunan klunak-klunuk itu Ahlissunnah. Repot kan?
Akhirnya secara global, dibuat ta’rif (definisi). Ahlissunnah itu siapa? Yang tidak jelas sikapnya. Ya kan Syi’ah itu yang berani Amerika.
Ta’rif itu berkembang terus. Kebetulan Syi’ah diwakili oleh Iran, dari dulu ciri Iran kan yang berani Amerika.
Iran pernah dipimpin Presiden Syah Iran, yaitu Reza Pahlevi. Pahlevi itu bonekanya Amerika. Terus digulingkan dengan monarkinya Khomeni dan Ali Syari’ati. Semenjak itu Iran identik dengan berani melawan Amerika.
Setelah itu, Iran masih berani Amerika. Diteruskan Ahmadinejad. Semenjak dulu Iran punya ciri khas sebuah negara yang berani Amerika. Entah berani beneran atau tidak.
Pokoknya jadi sejarah. Iran sudah memiliki sejarah ciri khas yang berani dengan Amerika.
Lama-lama muncul definisi, pemerintahan Sunni yang bagaimana? Yang teman Amerika, nah Arab Saudi temannya Amerika. Syi’ah yang berani Amerika.
Lama-lama definisi misalnya Amerika runtuh yang kuat China.
Nah itu lah kehidupan intelektual. Kehidupan intelektual akan selalu terus berkembang. Kita sebagai ulama, orang yang mengerti Qur’an harus membaca fenomena-fenomena pergeseran itu.
Ya itu kehidupan intelektual. Kita harus lapang dada berani membaca itu. Itu fakta. Kamu tak perlu menjadi Khawarij.
Dawuh Nabi, “Kamu harus ikut kelompok mayoritas kamu jangan hidup sendiri-sendiri. Yang merasa benar sendiri masuk neraka.”
Oleh karena itu, saya partai milih yang besar, ormas pilih yang besar. Bukan oportunis!
Tapi, karena yang kecil-kecil malah mbulet nanti. Mungkin yang kecil itu benar, tapi mbulet. Cara bahasa sekarang, ikut yang mainstream, yang umum-umum saja.
Sejarah Ahlissunnah itu sendiri sejarah yang disederhanakan oleh proses intelektual.
Kemudian ada definisi ahlissunnah itu siapa?
Orang yang dalam fikih mengikuti salah satu 4 madzab. Orang dalam ilmu kalam mengikuti Abu Musa Al-‘Asyari atau Abu Mansur Al-Maturidi, dalam tasawuf mengikuti Imam Abu Qosim Al-Baghdadi atau Syekh Abdul Qodir Jailani.
Tapi, mana ada ta’rif begitu di zaman Nabi. Karena Nabi itu tidak menemui zaman Abu Musa Al-‘Asyari atau Abu Mansur Maturidi.
Dalam hadis, “Ahlisunnah itu siapa, ya Rasulullah? Ya orang yang mengikuti aku dan sahabatku. Ikut aku dan Khulafaur Rasyidin.”
Iya zaman (khalifah) Abu Bakar memang enak, ketuanya satu. Zaman Mbah Hasyim ya enak, pasti ikut Mbah Hasyim.
Nah, kalau era cucunya? Setiap orang ya cucunya!
Saya ingat ada kiai alim dan wali di Jawa Timur, anak-cucunya sudah tidak bangga, karena semua orang adalah cucunya.
Misalnya, Mbah Hasyim kiai top, ketika Mbah Hasyim masih sendiri semua orang ikut dawuh Mbah Hasyim.
Era anak ada 6 atau 5 orang. Nah kalau era cucunya? Tinggal menghitung kan. Kalau anak 5 punya anak 5, lalu 5 kali 5 ada 25. Mazhab cucunya sudah beda-beda.
Saya mondok Sarang yang mengalami. Istilah sarang dulu Bani Ghozali. Madrasah sarang namanya Madrasah Ghozaliyah. Era Mbah Mad bernama Bani Ahmad.
Lalu era Mbah Zubair yang alim terkenal istilahnya Bani Zubair. Nanti bisa beda lagi. Putra Mbah Zubair itu banyak. Kebetulan yang punya nama besar Mbah Maimun.
Mbah Hasyim Asy’ari nasibnya seperti itu. Beliau satu masih tunggal. Era cucu? Gus Dur juga cucunya, Lili Wahid juga cucunya.
Terus anak Kiai Wahid berapa? Anak Pak Yusuf Hasyim berapa? Pas bertengkar semua alasan mengaku cucu. Yang dipakai bendera Mbahnya (KH Hasyim Asy’ari).
Saya cerita. Mbah Batu Ampar, Syamsudin Batu Ampar itu wali terkenal. Orang jadi cucunya yang bangga. Tetapi, sekarang tidak bangga. Karena setiap orang adalah cucunya.
Ini masalah-masalah yang tadi, kemudian ada penyederhanaan intelektual. Yang ikut Sayyidina Ali dikatakan ikut sahabat, yang ikut Muawwiyah juga dikatakan ikut sahabat.
Termasuk yang ikut Ibnu Abbas atau Abdullah Bin Umar. Di mana dua sahabat ini dalam posisi tidak ikut-ikut.
Oleh karena itu, orang seperti saya dan ulama-ulama rata-rata mengikuti mazhabnya Abdullah Bin Umar.
Karena ketika ada konflik Ali-Muawwiyyah, beliau bersikeras tidak ikut-ikut. Beliau tetap mengajarkan sunnaturrasulillah tanpa berpihak ke kelompok.
Tapi, banyak meriwayatkan kalau Abdullah Bin Umar dan Abbas itu kecewa. Kecewa tidak ikut-ikut. Karena itu tadi ketika ada dua pilihan tidak ikut-ikut, ya repot.
Sekarang coba kalian pikir saja, sejelek-jeleknya orang ikut PKB atau PPP itu ikut menentukan kemaslahatannya Jawa Timur. Tapi, sebaik-baiknya orang yang tidak ikut-ikut, menentuan mudin saja tidak ikut.
Sehingga ada mazhab Ahlissunnah yang mewajibkan orang harus ikut-ikut. Karena sebaik-baiknya orang yang tidak ikut-ikut itu tidak ada yang dipekerjakan. Misalnya kalian ikut PKB atau PPP atau PAN.
Sejelek-jeleknya ikut, itu ikut memikirkan nasib bangsa. Tetapi ,sebaik-baiknya tidak ikut tidak ada yang dilakukan.
Sebab itu banyak saja ulama yang mengatakan, ketika ada partai yang banyak ikutlah salah satu. Bukan apa-apa, hanya menggunakan perhitungan amal.
Sebab itu, ketika ada Perang Jamal, ketika Sayyidina Ali bentrok dengan Sayyidah Aisyah, ada sahabat yang ikut ‘Aisyah dan Ali. Tidak kemudian tidak ikut-ikut.
Saya berkata di awal, ketika Rasulullah dawuh ikut aku dan ikut sahabat itu normatif. Artinya ketika sahabat ketika kepemimpinan tunggal jelas, ikut Abu Bakar.
Nah, kalau sahabatnya sendiri sudah konflik, itu seperti ikut kiai, mati hidup ikut kiai. Nah urusan kiai sudah sendiri-sendiri.
Misalnya kiai PKNU, “Kamu ikut kiai, ikut siapa kalau tidak ikut kiai!?”
“Sudah Mbah, tapi kiai saya PPP.”
Kata kiai PPP, “Kamu ikut kiai, ikut siapa kalau tidak ikut kiai?”
“Sudah Mbah, kiai saya PKB.”
Nah ini masalah. Ahlissunnah posisinya seperti itu. Kemudian konvensi internasional mengatakan daripada susah seperti itu, dibakukan secara intelektual.
Ini diikuti Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Fadhol dan ulama-ulama NU se-Nusantara membuat definisi yang sederhana. Yang dibukukan lewat kitab Al Kawakibul Lama’ah yang disahkan di Mukatamar NU di Jombang. (Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video pengajian berikut ini: klik >> (Gus Baha – Ahlussunnah)