KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang sering disapa Gus Baha dalam suatu majelis pengajian bersama para santri menjelaskan tentang polemik rukyah dan hisab khususnya saat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Sekarang saya akan menerangkan hisab.
تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا
Jadi begini ya, kalau dalam fiqih syafi’iyah, sebenarnya orang boleh percaya hisab, asal hisab itu qoth’i atau dikonsensus. Kalian meskipun memiliki tradisi pesantren, jangan menolak hisab. Salah! Hisab itu dibenarkan Al-Qur’an.
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Jadi, hisab itu ilmu yang dibenarkan Qur’an.
Cuma masalahnya kalau satu, dua orang itu ada subjektivitas. Atau kadang kurang ahli sehingga salah. Di sini dibutuhkan konsensus disebut hisab qoth’i.
Makanya, kayak kasus Syawal kemarin, andaikan tidak ada pengumuman Pemerintah pun saya Lebaran. Karena kalender Muhammadiyah juga 3 derajat, kalender NU sudah di atas 2,5 derajat.
Walaupun tidak ada rukyah pun saya berani lebaran. Karena 2 derajat saja muttafaq ‘alaih. Bisa dirukyah apalagi 3 derajat.
Itu beda dengan Dzulhijjah yang sekarang. Ada yang bilang ada 1,5 derajat ada yang bilang belum 2 derajat. Itu beda, itu subjektif. Boleh diikuti boleh tidak. Tetapi, kalau seperti yang satu Syawal kemarin harus diikuti hisabnya.
Kalau kata Imam Subki, hisab itu boleh diikuti kalau sudah konsensus bagi para ahlinya. Tetapi, kelirunya orang-orang NU itu anti hisab. Padahal hisab itu disebut Qur’an.
Memang Nabi dawuh:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
Rukyah itu penting, tetapi rukyah yang tidak beda dengan hisab. Yaitu sama-sama rukyah dan imkan rukyah. Jadi, harus mengerti!
Ilmu ini memang rumit. Tapi, kalian tidak perlu membuat dikotomi NU itu rukyah kalau Muhammadiyah hisab. Yang bilang gitu siapa?
Orang alim tidak ada yang bunyi seperti itu. Sama halnya gini, “NU Qunut, Muhammadiyah tidak Qunut”.
Saya sebagai orang alim bahasa itu aneh. Imam Syafi’i itu Qunut. Imam Syafi’i itu tahun 50 Hijriah, sekarang tahun 1436 Hijriah. Jadi, tahu saya Imam Syafi’i itu Qunut, Abu Hanifah tidak Qunut.
Apa Imam Syafi’i itu Rois ‘Aam (NU)? Apa Abu Hanifah ketua PP Muhammadiyah?
Kalau orang alim ya tahunya Imam Syafi’i itu qunut, Imam Abu Hanifah tidak Qunut.
Jadi, kalau saya ditanya, “Gus, jenengan hisab apa rukyah?”
Ya, saya itu tidak tahu NU-Muhammadiyah. Setahu saya Imam Subki itu lebih percaya hisab daripada rukyah. Kalau imam yang lain lebih percaya rukyah daripada hisab.
Imam-imam yang dulu, tapi sekarang kita terjebak politik identitas. Tahu identitas ormas. Jadi ini khasnya NU ini. Tidak ada pada tradisi orang alim begitu. Hisab itu ya ilmunya Allah.
Saya kemarin diundang di Kajen (di Kab. Pati), saya bilang, “Yang bisa hisab itu kita. Orang semua tahu ahli hisab itu Kiai Turaikhan. Sekarang Jombang Kyai ini, ini itu ulama kita, di pondok diajarkan ilmu hisab. Kalender Kudus yang punya itu Kiai Turaikhan. Itu masih keturunan juga dengan Mbah saya.”
Kalau anti hisab itu kan anti ilmunya sendiri kan. Memangnya yang bisa hisab itu siapa? Kita kan punya banyak pakar hisab. Ya kalau anti hisab, ya bakar saja kalendernya. Ya biasa saja!
Yang jadi masalah itu ketika hisab berbeda dengan rukyah, itu saja beda misalnya 1,5 derajat atau 2 derajat.
Tapi kalau seperti Syawal kemarin, pas setengah 6 saya ditanya, “Gus, nanti tarawih apa tidak?”
“Tidak!”
“Tidak menunggu pengumuman Pemerintah?”
“Tidak. Orang alim kok disuruh menunggu pengumuman pemerintah. Ngenyek wong (mengejek orang)!!”
Ya karena tadi, kemarin itu sepakat 3 derajat, 3 derajat andaikan tidak ada rukyah, ulama pun membolehkan ifthar. Karena ahli hisab sepakat.
Konsep ini kalian baca di kitab I’anatut tholibin yang dibab Syawal atau Ramadhan birukyati hilal di situ dijelaskan ketika ada khilafiyah (perbedaan) rukyah sama hilal.
Ini kan sudah jelas وَجَعَلَ فِيهَا سِرَٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا.
Bulan itu ada buruj-nya, sehingga dengan buruj itu dapat dihitung. Ini kata Imam Ghozali di kitab Ihya Ulumiddin.
“Bagaimana Anda tidak percaya hisab. Hisab itu bahkan bisa menghitung lama gerhana berapa menit yang gerhana di sisi sebelah mana.”
Menghitung menit saja bisa, kok menghitung hari tidak dipercaya. Apa kiai-kiai kalau mau sholat gerhana harus menunggu rukyah. Nyatanya sore sudah diumumkan.
Percaya hisab dulu apa rukyah dulu? Hisab kan?
Hisab itu permanen, bahkan bisa digarap 100 tahun ke depan. Bulan ini konsisten. Mau kiamat juga masih begitu saja. Jelas nash-nya!
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ
Saya pernah ditanya orang, “Jenengan kok ngotot gitu, Gus?”
“Saya ini orang hafal Qur’an, saya itu paling anti kalau ilmunya Qur’an dilawan, hisab itu ilmunya Qur’an, rukyah juga ilmunya Qur’an. Ilmunya Rasulullah tidak usah dilawan!”
Semisal yang hisab itu keliru ya mungkin karena orangnya. Itu Imam Ghozali mencontohkan begini, itu lucu di Ihya:
Ada dokter kebetulan dokter itu mendiagnosa Anda salah dan Anda akhirnya mati. Kemudian Anda anti kedokteran itu salah. Dokter itu yang salah, tapi jangan anti kedokteran.
Orang itu bisa salah, namanya orang. Saya baca kitab kadang juga salah, namanya juga manusia. Tapi, kamu jangan anti saya karena benarnya lebih banyak.
Paling salah saya kan 00 koma sekian persen, ya tetap ada. Entah karena ngantuk, tidak fokus atau melamun. Tapi, masalahnya salah kalian lebih banyak. Sehingga kalian terpaksa yang ngaji saya.
Kalau kalian ingin benar saja potensinya salah. Lah itu mungkin. Ahli hisab mungkin saja salah karena manusia. Ketika menghitung, bertepatan pas istrinya marah, pas tagihan BPKB, dll.
Oleh karena itu menurut Imam Subki itu dibutuhkan konsensus. Orang banyak ahli hisab ternyata memutuskan demikian.
Kayak kemarin lho 1 Syawal kemarin kan semua kalender bilang 3 derajat, wah kalau seperti itu pasti setelah ijtima’. Sudah tinggi sekali (hilalnya). Tidak usah menunggu rukyah.
Tapi, ya karena kita percaya rukyah ya kita menunggu pengumuman rukyah. “Saksinya adalah ini di Gresik, di Aceh.” Kalau orang alim baca itu tertawa. “Ah saksi barang kok repot!”
Makanya, saya ditanya anak-anak (santri), “Gus, nanti tarawih apa ndak?”
“Ndak! Aneh-aneh…”
Kalau Pemerintah tidak mengumumkan, ya sudah Lebaran saja, saya yang nanggung.
Paham nggeh? Jangan suka anti ilmu yang disebut Qur’an, disebut وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ.
(Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video pengajian selengkapnya di sini.