Dalam suatu pengajian kitab tafsir bersama para jamaah, pengasuh pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Kabupaten Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang dikenal dengan Gus Baha menerangkan tentang ciri-ciri orang yang merusak agama.
Berikut penjelasan lengkap Gus Baha:
Terminologi fiqih berbeda dengan terminologi tafsir. Tafsir juga beda dengan terminologi yang ada di perdukunan. Itu memiliki disiplinnya masing-masing.
Jadi begini, Sulaiman ini mempkerjakan jin yang bisa iman atau jin yang setan tidak bisa iman. Yang diingat saja. Jin yang setan atau jin yang Aladin yang bisa disuruh-suruh? Aladin?
Kalau dalam disiplin ilmu tafsir ada istilah satu nama itu bisa nama menjadi identitas, bisa nama disebabkan unsur yang melekat pada dia, menjadi namanya. Ini bedanya jauh.
Contohnya qolbun. Qolbun artinya hati. Qolbun itu karena bolak-balik. Orang Arab menyebut barang yang dibolak-balik itu di-qolbun. Berhubunga hati ini molak-malik jadi disebut qolbun.
Nama-nama seperti ini riskan pada konteks tertentu. Misalnya, hatinya Rasulullah dan para nabi tidak pernah bolak-balik, konsisten dalam kebenaran. Karena nama itu hanya mengambil sekian sampel.
Keyakinan ahli fiqih itu kan ada manusia bisa iman, ada jin bisa iman, sehingga ada surat Jin.
Ada setan, bisa beriman tidak? Tidak. Lalu kategorinya ikut jin apa manusia? Jin? Kamu kok tahu?
Apa hubungan setan dan jin? Itu problem kita, cara mengurai problem itu adalah manusia dan jin sebagai nama identitas itu memang bisa iman.
Tapi, sebagai nama sifat, disebut setan itu karena durhaka kepada Tuhan. Manusia kalau durhaka yang disebut setan.
Al-Qur’an pernah memakai istilah ini,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin.” (QS Al An’am: 112)
Orang yang kerjaannya mengaji tapi sering menipu itu setan. Orang yang menjual agama juga namanya setan.
Itu resiko disiplin lughot. Mau tidak mau yang namanya bahasa tidak bisa menghindari. Sehingga pada zaman Abu Jahal masih hidup, Nabi kalau memanggilnya dengan sebutan Fir’aun, fir’aunu hadihil umat.
Nama itu ada dua, gholabat alaihi ismi, nama yang jadi diri atau identitas ada nama yang diambil dari sifat kemudian identik. Hal ini yang riskan berubah-ubah.
Jadi begini, jin dan setan itu habitatnya berbeda. Kadang setan oleh Allah disebut jin. Tapi, bukan karena makna identitas melainkan makna sifat, yaitu makna unsur.
Jin itu sesuatu yang tidak kelihatan, makanya disebut “jinn”. Makanya, orang gila disebut “Majnun”, karena mastur al-aqli (tertutup akalnya).
Orang dalam kandungan, bahasa Arabnya yaitu “Janin”, karena tidak kelihatan. Malam hari disebut “Jinn” juga, karena malam itu gelap.
Berapa ada berapa? Manusia dan jin sebagai ismiyyah (nama identitas) kemudian setan.
Nah, setan bisa kamu lihat? Setan itu artinya apa? Setan juga bisa disebut ismiyyah (nama), yaitu iblis dan keturunannya secara gen.
Ada juga setan karena wasiat tukang merusak dunia. Lha kamu bisa masuk dalam kategori itu.
Orang ada orang yang merusak agama itu namanya setan. Pemabuk itu setan, berjenggot tapi menjual agama itu setan. Hehehe.. Gayanya khusuk tapi menjual agama ya setan..!
Itu yang dimaksud,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ يُوحِى بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ ٱلْقَوْلِ غُرُورًا
Mereka itu saling melengkapi dan saling mendukung itu menciptakan kegaduan agama. Itu setan manusia. Setan jin tidak bisa. Setan jin tidak bisa membolak-balikan omongan, tapi setan manusia bisa.
Nabi pernah ditanya orang kafir yang cerdas, “Mad, kalau ada kambing mati, yang membunuh siapa?”
Kanjeng Nabi, yang lugu dan baik, menjawab, “Allah.”
“Agamamu aneh Mad. Yang dibunuh Allah langsung haram, tapi kalau lewat manusia jadi halal. Harusnya yang dibunuh Allah langsung itu lebih orisinil. Harusnya halal.”
Itu yang disebut setan dalam ayat:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ
Mereka berlomba-lomba memutar balikkan agama, yang menjadikan agama ini kacau. Hanya pintar-pintaran bersilat lidah.
Misalnya presiden berkata, “Coba carikan solusi bangsa ini, mari rembukan bareng untuk carikan solusi bangsa.”
Kata pendukung presiden, “Presiden tawaduk meskipun memiliki otoritas penuh mengajak rembukan.”
Bagi yang tidak suka, ”dia yang digaji dapat fasilitas kok ngajak rembukan bareng.”
Benar yang mana? Hehehe… Repotnya omongan bisa dibolak-balik.
Sejarah murtad terbesar itu nasakh-mansukh. Kanjeng Nabi tidak pernah diingkari sebagain orang seperti masalah nasakh-mansukh.
Nasakh-mansukh itu satu ketetapan hukum yang kemudian direvisi oleh hukum yang lain. Yahudi sangat senang.
Akhirnya, sahabat Nabi yang awam dan kurang terpelajar didatangi orang-orang Yahudi. “Lihat orang yang kamu anut, hukum kok digonta-ganti. Itu karena dia bingung. Sekarang bilang haram besok bilang halal.”
Karena itu tadi, gara-gara pintar-pintar berbicara. Bahwa agama ini akan dikalahkan oleh mulut-mulut jelek yang memusnahkan, mematikan nur agama ini.
Lah repotnya agama ini, yang khusuk tidak bisa mikir. Yang nyerang pintar membolak-balikkan lidah, yang khusuk tidak bisa mikir. Akhirnya tidak ada yang bisa menjawab.
Semenjak itu ulama mendefinisikan nasakh-mansukh sebagai habisnya masa ibadah. Misalnya, anak kecil dituntun dan disuapin, suatu saat tidak disuapin lagi.
Kemudian kamu mengatakan, “Orang tuanya tidak konsisten. Dulu disuapin kok sekarang tidak…!”
Begitu pula Nasakh-Mansukh, dulu Nabi shalat menghadap Baitul Maqdis, kemudian menghadap Ka’bah. Ini buka evaluasi hukum, tetapi selesainya masa ibadah. Memang durasinya selesai.
Ini penting saya utarakan..! (Hafidhoh Ma’rufah)
Simak selengkapnya sumber video pengajian ini: klik >> “Gus Baha tentang Penjual Agama”