Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidz Qur’an LP3IA Kragan, Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang dikenal dengan Gus Baha menerangkan tentang pentingnya sedekah, bersyukur, sehingga kelak bisa tidak apa-apa hika masuk surga melalui pintu belakang.
Berikut penjelasan lengkap dari Gus Baha:
Penting saya terangkan, ulama dulu itu begitu enteng dalam menghadapi masalah dunia. Nabi Muhammad misalnya kelihatan kalau memang Nabi beneran.
Suatu ketika, Nabi pulang dari perjalanan, bertanya kepada ‘Aisyah, “Aisyah… Bubur yang kau sediakan untukku mana? Aku ingin makan…!”
“Sayang, Ya Rasulallah, bubur itu sudah habis karena aku kasihkan orang.”
Jawaban Nabi, “Tidak, yang kamu kasihkan orang itu malah yang masih.”
Jadi, Nabi kalau memahamkan orang agar suka sedekah itu nasihatnya seperti ini, saya masih hafal (teks hadisnya):
(Wa hal laka min malika illa ma tashaddaqta fa akhdhoita, aw labista fa ablaita, wa akalta fa afnaita)
Misalnya saya punya uang satu juta, kemudian saya pakai untuk foya-foya, makan-makan yang tidak penting, itu hilang jadi WC. Yang masih adalah yang saya sedekahkan di fakir-miskin, santri, atau di masjid.
Berarti ketika saya sodaqoh di masjid 200.000 itu masih, saya kasih ke yatim-piatu 100.000 itu masih, saya kasihkan ulama 100.000 itu ya masih.
Justru, sisanya malah rawan hilang karena saya gunakan untuk makan-makan yang tidak penting atau melakukan sesuatu yang tidak penting.
Kata Nabi, “Kamu dengan harta kamu hubungannya dengan apa yang kamu sedekahkan, berarti kamu abadikan.”
Jadi, kalau kamu punya uang satu juta yang kamu sedekahkan 200.000 berarti itu yang abadi. Sehingga sahabat Nabi itu gampang sedekah, karena merasa itu yang abadi.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim kalau mau makan mengajak yatim-piatu, ngajak orang fakir, karena dia takut semua makanannya ini nanti jadi WC, tapi dengan beramal kan ada yang abadi.
Apa yang kena kamu pasti hilang, tapi yang menuju Allah abadi.
Seperti saya misalnya ngajar di sini, waktu yang saya pakai menonton televisi mungkin adalah waktu yang hilang, tapi waktu yang saya gunakan ngajar Tafsir Jalalain itu mungkin yang abadi.
Sehingga saya tidak pernah merasa, “Ngajar Mustofa apa gunanya?”
Tidak, tapi ini waktu yang abadi. Walaupun tidak selalu bisa memintarkan orang, itu kan takdir. Kan ngaji tidak wajib pintar, yang penting ikhlas. Nanti juga masuk surga.
Mencari pintu surga yang belakang-belakang tidak apa-apa, yang penting masuk surga. Tidak penting lewat depan, malah tidak sopan. Lewat depan itu jalan para nabi.
“Ilegal.. Ilegal… Masuk surga kok lewat pintu belakang!”
Ilegal tidak apa-apa, yang penting masuk, daripada masuk lewat depan kan tidak sopan. Hehehe
Jadi, cara panjang syukur begitu ya. Sekarang dunia banyak menyebabkan dihisab. Dihisab dan tidak dihisab ringan mana? Ringan tidak dihisab. Jadi fakir ikut jalur itu.
Tetapi, di dunia ya syukur. Diberi nikmat dan tidak diberi nikmat bagus mana? Ya bagus diberi nikmat. Anggap saja begitu.
Akhirnya yang diberi nikmat ada masalah hisab, sementara yang diberi fakir ada masalah tidak bisa apa-apa. Itu yang namanya,
“Untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Al-Mulk: 2)
(Hafidhoh Ma’rufah)
Simak sumber video pengajian ini, klik >> “Gus Baha – Pintu Surga”