Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz LP3IA Rembang KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, dalam suatu pengajian yang diadakan di Pesantren Lirboyo Kediri menjelaskan tentang idenya membuat gerakan “cangkem elek” (mulut jelek) untuk menghadapi orang-orang yang sok kritis tapi bodoh.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Saya berkali-kali bilang, saya itu termasuk ulama yang mau bikin gerakan “cangkem elek”. Itu karena nanti kalau saya nisbatkan kepada Rasulullah itu tidak pantas.
Hal ini karena Nabi itu ahsanan naasi khalqan wa khuluuqan. Tapi, saya siap jadi bemper-nya (tameng) Rasulullah.
Pernah ada diskusi di Jakarta. Ini kisah nyata.
“Apa dalilnya salaman setelah shalat, mana hadisnya?”
Itu dijawab hadisnya tentu kita kesulitan. Kalau pun ada, hadisnya dhaif (lemah) semua masalah mushafahah (salaman).
Akhirnya mau ndak mau dijawab pakai cangkem elek.
“Boleh nggak kamu setelah salam nyalain HP yang off?” (Gus Baha bertanya)
“Boleh.”
“Boleh nggak ke kamar mandi?”
“Boleh.”
“Oh, berarti kencing, boleh. Nyalain HP, boleh. Yang ngggak boleh itu ingat Allah.”
Hal ini karena mereka mengkritik wiridan, ngritik salaman.
Akhirnya dia mikir, “Ada nggak hadisnya orang setelah shalat nyalain HP?”
Gak ada kan?!
Tapi, mereka nyalain HP tidak ada hambatan. Untuk salaman malah dimasalahkan.
Ke kamar mandi, boleh. Tapi, untuk wiridan nggak boleh.
Akhirnya mereka sadar. Lama-lama kelompok itu dibisiki begini:
“Kamu itu korban aliran, supaya kamu nggak ingat Allah. Ingat HP-nya. Sehingga orang wiridan kamu kritik, tp orang nyalain HP nggak kamu kritik. Kelompok itu adalah kelompok orang-orang yang supaya orang Islam itu lupa Tuhannya.”
Itu gerakan cangkem elek, tapi jadikan orang sadar, hehehe…
Jadi, ini penting. Kalau kamu tidak bisa bela agama dengan jalan lurus karena tidak bakat, tidak apa-apa pakai cangkem elek. Tapi, tentu gerakan ini tidak mungkin dinisbatkan kepada Rasulullah.
Kalau soal sanad. Saya punya sekian sanad tentang hal itu, tapi ndak usah kamu ikuti.
Ada orang bertanya kepada seorang kiai, “Pak kiai, kalau setan dibakar di neraka, kepanasan nggak?”
“Ya, kepanasan.”
“Lho kan setan dari api, ngapain harus kepanasan, kan materinya sama.”
Kiai tadi gak kesulitan, lalu mengambil pasir dilempar ke wajahnya.
“Wah, sakit kiai..!!”
“Kamu kan dari tanah, kena tanah kok… (sakit)!”
Jadi, kalau kesulitan jawab pakai baik-baik. Ya sudah pakai cangkem elek itu aja. Hehehe
Tentu gerakan ini gak mungkin dinisbatkan kepada para Nabi.
Tapi saya pastikan, meskipun gak bisa dinisbatkan kepada para nabi dari segi cangkem elek tadi, tapi secara semangat itu sama.
Saya punya sekian contoh,
Saya sengawur-ngawurnya itu punya sanad. Hehehe.
Nabi Ibrahim ketika fajaalahum judzadzan illa kabiral-lahum. Si berhala paling besar diberi kapak.
Ketika mereka marah, “Ini siapa yang memecahkan berhala-berhala kecil?”
“Ya kira-kira Ibrahim lah.”
Terus Nabi Ibrahim didatangkan, “Siapa yang melakukan ini semua?”
Ini jawaban Nabi Ibrahim, “Bal fa’alahu kabiruhum hadza. Ya tanya yang bawa kapak. Saya kan tidak bawa.”
Terus kata orang-orang, “Otak kamu itu di mana? Masak berhala disuruh nanya, kan tidak bisa ngomong!”
Ibrahim kembalikan, “Uffil lakum walima ta’buduuna minduunillah. Lalu otak kamu di mana?” “Udah tahu tidak bisa ngomong kok disembah!”
Itu ada kata ‘uffin’ lho! Uffin itu kalau diterjemah, kira-kira ya agak-agak jancok gitu lah. Hahaha…
Jadi, mulai dahulu, melawan kebatilan itu harus pakai logika yang vulgar. Karena nggak mungkin dengan bahasa-bahasa priyayi.
Dan ini penting saya utarakan. Kalau nanti nggak mungkin dinisbatkan kepada Rasul, karena ahsanan naasi khalqan wa khuluuqan.
Jadi kita yang mengambil alih saja, saya, Gus Reza, Gus Kautsar kalau cangkem elek kan pantes, bakat, dan natural. Hehehe…
Karena mau ndak mau itu cara kita menjelaskan kebenaran. Kenapa saya mengajar begitu rileks dan santai?
Pikiran saya sederhana, “Akal sehat pasti dipaksa menerima kebenaran. Sehingga kebenaran tidak harus diomongkan secara serius. Kebenaran itu mudah diterima.” (Riski Maulana Fadli)
Simak sumber video pengajian ini: klik >> “Gus Baha – Cangkem Elek”