KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu pengajian kitab bersama para santri pernah mengungkapkan alasan mengapa KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) melarang santri-santri di Pesantren Al-Anwar Sarang memakai peci putih (ketu kaji).
Berikut ungkapan dari Gus Baha:
Saya itu keseringan memakai peci hitam itu ya sebab ‘korban’ ijtihad. Mbah Moen itu marah besar kalau ada santrinya ketunan (memakai peci) putih.
Karena Mbah Moen dan saya pun termasuk juga pewaris madzhab itu, akhirnya keterusan sampai sekarang.
Saya sudah berangkat Haji, tapi ya tetap memakai peci hitam. Karena tadi, Mbah Moen itu marah betul.
Kata Mbah Moen, “Cung, ketumu iku regane piro? Dak paleng limang ewu. La kaji-kaji kae ngantek adol tegal, adol sawah. Mbok saingi ketu limang ewu, dak marai gelo atine wong deso?!”
(Nak, pecimu itu harganya berapa? Paling kan cuma lima ribu kan. Orang-orang desa yang pergi Haji itu kan sampai menjual tanah, menjual sawahnya. Masa kamu saingi dengan pecimu yang harganya cuma lima ribu, kan bisa membuat kecewa hatinya orang desa?!)
Lha mengecewakan hatinya orang itu dosa apa tidak? Dosa kan?! Berarti memakai peci putih dosa?! Hahaha
Makanya, santri Sarang (Kab. Rembang) terutama Al-Anwar itu tidak ada yang berpeci putih, kecuali habib (keturunan Nabi). Karena adatnya Mbah Moen, habib itu dimaklumi, adat beliau itu begitu.
Tapi, Mbah Hamid Pasuruan, Pondok Sidogiri, termasuk Gus Najih di Sarang itu argumennya begini: teks hadis kan kesunnahan pakai putih, sehingga ya mereka tetap pakai peci putih. Karena apa? Putih itu Sunnah.
Nah, saya itu termasuk agak ndakik. Istilah ndakek itu pintar tapi sak penake dewe (semaunya sendiri). Tapi tetap saya itu pintar. Hahaha
Akhirnya, saya sejak dulu pun itu pakai baju Putih. Nabi kan jelas berkata:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
“Kamu itu kalau berpakaian, pakailah pakaian yang berwarna putih.”
Jadi, saya itu memang sering pakai baju putih, tapi jarang surbanan. Kan yang sunnah itu tidak hanya surbanan, baju putih kan sunnah juga.
Nah, itu namanya “ijtihad”.
Akhirnya, ketu (peci) putih itu kalau dipakai santri terutama kalau pulang kampung itu ya seakan-akan ‘haram’ banget hukumnya.
Karena bagi Haji yang jual tanah tadi, ya mangkel tenan (kecewa banget). Orang desa lho terutama!
Haji itu kan peristiwa besar, disaingi peci lima ribu dari pasar. Apalagi di depanmu ada orang keliru manggil kamu “Ji”. Ya tambah mangkel, hahaha.
Makanya, saya mohon kalau belum (berangkat) Haji, kalau bisa, tidak usah pecinan putih!
Karena menurut saya, ijtihad itu logis!
Ini ada contoh ijtihad, kamu tidak usah tersinggung, jadi biasa aja..!!
Maksudnya, cerita ini biar kamu tahu, ini lho namanya ijtihad. Cara berpikir seperti itu ijtihad. Dan Yai (Mbah Moen) sampai sepuh pun keyakinannya seperti itu.
Syawwal (lebaran) kemarin ada alumni yang belum Haji, lalu sowan (berkunjung) ke Yai. Beneran kejadian, Yai itu marah sekali.
Sampai akhirnya orang itu sampai sowan ke saya lalu minta maaf sama saya.
Dia minta maafnya begini, “Gus, saya minta maaf , dulu ketika jenengan (Anda) cerita itu saya kira cuma guyonan, tapi ternyata saya dimarahi beneran sama Mbah Moen.”
I’tikad dia itu pertama ke saya, karena saya itu santri yang sering ngomong tentang peci. Bahwa, itu (memakai peci hitam) adalah ijtihadnya Mbah Moen, dan ini memang bukan guyonan, karena memang Mbah Moen itu sering menjelaskan seperti itu. (Muhammad Ulin Nuha)
Sumber video pengajian: “Gus Baha – Peci Putih”