Pada kisaran 2000, di penghujung kepemimpinannya sebagai presiden Republik Indonesia, hubungan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Lee Kuan Yew memburuk. Oleh Gus Dur, Lee dianggap mencampuri urusan internal Indonesia.
Sementara, Lee Kuan Yew menganggap Gus Dur sedang di penghujung kekuasaan. Lee, orang penting dalam otoritas pemerintahan Singapura itu seperti mencium gelagat busuk rencana pemakzulan Gus Dur. Singapura memang berada di titik strategis silang kepentingan politik internasional, yang menjadi proxy dan sekaligus pemain utama dalam pelbagai negosiasi politik di kawasan.
Namun, Lee berkilah bahwa ia perhatian dan prihatin dengan Indonesia karena miskinnya kepemimpinan. Dalam sebuah seminar di Sidney pada tahun 2000, Lee Kuan Yew menyampaikan pendapatan terkait dengan situasi Indonesia saat itu, yang sedang terancam perpecahan dan separatisme.
“It’s abroad statement, not referring to (Wahid) alone,” demikian pendapat Lee.
Di tengah hubungan memanas itu, Gus Dur melakukan manuver dengan memainkan provokasi politik di kawasan Asia Tenggara. Kepada Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Gus Dur menyatakan bahwa pemerintah Singapura mengambil air dari kawasan Malaysia untuk suplai domestik. Kontan saja, pernyataan Gus Dur ini menambah panas hubungan antara Indonesia dan Singapura.
“Singapore is deeply disappointed with the situation in Indonesia. More and more singapore investors are leaving Indonesia,” demikian ungkap Edward Suryajaya, seorang konglomerat Indonesia membahas dinamika politik kawasan (Tempo Magazine, Stirring the Regional Pot, 4 Desember 2000).
Hubungan Gus Dur dan Lee Kuan Yew mengalami dinamika dan pasang surut kemesraan yang berimplikasi pada relasi pemerintah Singapura-Indonesia. Ketika Gus Dur ingin mendorong Timor Leste dan Papua Nugini masuk ke jaringan ASEAN, Lee tidak setuju.
Sementara, Gus Dur juga merasa jengkel karena Lee Kuan Yew dan pemerintah Singapura tidak kunjung menyepakati perjanjian ekstradisi para koruptor yang bermarkas di negara pulau itu. Singapura memang menjadi negara tujuan para koruptor kelas kakap Indonesia yang membawa lari uang negara.
Gus Dur ingin agar uang Indonesia yang diparkir di Singapura oleh koruptor-koruptor itu bisa ditarik kembali ke Indonesia. Jelas, ini perjanjian ekstradisi yang mempunyai implikasi politik dan ekonomi yang besar.
“Singaporeans basically like to underestimate Malay people. We are considerate nonexistence. It became clear from my meeting with Lee Kuan Yew that Singapore is only looking profit.” Gus Dur menganggap Singapura hanya ingin mengejar untung, dan di sisi lain meremehkan warga Melayu.
Bahkan, Gus Dur menganggap bahwa pemerintah Singapura hanya ingin mencari aliansi dengan pemerintah China dan negara-negara kawasan Asia Timur lainnya.
“If Goh Chok Tong really wants to go his own way… go ahead, it would be no problem for us because we can go our own way,” jelas Gus Dur sebagaimana diarsip Taipei Times (27 November 2000). Selama ini, Singapura memang bermain menjadi proxy kepentingan politik internasional.
Ketika Gus Dur masih menjadi presiden, pemerintah Singapura membangun aliansi militer dengan Australia untuk memberi ruang bagi kapal militer Amerika Serikat. Gus Dur tersinggung, karena merasa pemerintah Singapura tidak mengajak berunding negara-negara Asia Tenggara.
Manuver Gus Dur dengan pemimpin-pemimpin Singapura memang sangat dinamis. Gus Dur sangat keras mempertahankan prinsip dan kepentingan politik Indonesia di wilayah regional, khususnya bersinggungan dengan negara-negara jiran.
Namun, Gus Dur tetap menjalin persahabatan dengan Menteri Senior Lee Kuan Yew dan Perdana Menteri Goh Chok Tong. Gus Dur sangat bisa membedakan wilayah politik dan relasi kemanusiaan.
Pada 2007, Gus Dur menerima ajakan makan siang dari Lee Kuan Yew. Sudah sekitar 7 tahun sejak Gus Dur turun dari panggung presiden. Dalam agenda itu, Perdana Menteri Singapura ingin bertukar gagasan dengan Gus Dur terkait dengan relasi antara Indonesia-Singapura, serta tantangan-tantangan yang terjadi dalam perdamaian internasional.
“Tidak ada yang substansial. hanya bercerita apa yang saya lakukan setiap hari. Saya keliling ke kiai-kiai kampung,” ujar Gus Dur, di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, pada 23 Juli 2007, sebagaimana diarsip media Detik (23/07/2007).
Namun, Gus Dur menampik pertemuan dengan Lee Kuan Yew dianggap sebagai pertemuan strategis membahas defence cooperation agreement (DCO).
“Saya tidak mau menilai kedua pimpinan negara ini. Ada hal-hal yang diperbuat pemimpin kita. Singapura tidak setuju, dan sebaliknya,” jelas Gus Dur.
Dalam lawatannya ke Indonesia pada Juli 2007 lalu, Lee Kuan Yew bertemu dengan sejumlah tokoh, di antaranya Ketua BPK Anwar Nasution, Mantan Menkeu Marie Muhammad, dan jajaran Wantimpres RI: Ali Alatas, Emil Salim dan Sjahrir.
Relasi Gus Dur dengan Lee Kuan Yew dan para pemimpin Singapura selama ini sangat dinamis. Dalam percaturan politik internasional, manuver-manuver Gus Dur membuat hangat relasi antar negara.