Gus Dur dan Pandangan Pancasila Sebagai Doktrin Politik Religius
Salah satu rekam jejak Gus Dur adalah perumusan keselarasan Islam dan Pancasila. Bersama Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Ahmad Shiddiq, Gus Dur adalah kreator keselarasan tersebut yang melahirkan Piagam Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983.
Di dalam piagam itu, NU menerima kebijakan asas tunggal Pancasila karena alasan teologis, bukan politis. Karena, Pancasila merupakan cerminan tauhid dan syariah, tidak ada alasan warga NU untuk menolak Pancasila.
Gus Dur juga pernah merumuskan pandangannya dalam makalah yang dipaparkan di Seoul pada 25 Agustus 1990 bertajuk “Islam and Pancasila: Development of a Religious Political Doctrine in Indonesia”. Pancasila menurut Gus Dur justru merupakan doktrin politik religius yang sesuai dengan Islam. Nilai-nilai agama ini menyinari ruang publik bangsa melalui Pancasila
Gus Dur juga pernah mengatakan:
“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asa dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam.”
Indonesia butuh sosok guru bangsa seperti Gus Dur. Ia tak segan-segan berani memerangi gerakan anti-Pancasila, termasuk yang berkedok agama. Gus Dur dalam kapasitas sebagai pemimpin, baik ketika menjadi ketua Umum PBNU 3 periode, (1984-1999) dan Presiden Republik Indonesia ke-4.
Di samping juga geraknya dalam wilayah politik merupakan guru bangsa yang rajin dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi dan toleransi beragama. Gus Dur pun tak segan-segan berani menolak formalisasi sistem Khilafah, karena hanya akan melegalkan aneka bentuk pemaksaan.
Dalam sebuah negara yang di dalamnya terdapat bangsa yang bercorak plural, pada dasarnya bernegara merupakan hukum alam atau Sunatullah. Bahkan, akan menjadi wacana yang berkelanjutan ketika disandingkan dengan pemahaman terhadap Pancasila (Effendi, 1998: 1992). Masyarakatnya akan terbelah ke dalam berbagai suku, ras, bahasa, kultur, dan agama.
Dengan demikian, sebagai sebuah fenomena, kemajemukan tak bisa dihindari. Keberagaman berlangsung dalam pelbagai ruang kehidupan. Akhirnya, akan berada dalam dunia kemajemukan.
Dengan mengedepankan Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh semesta alam. Islam akan selalu mengayomi dan melindungi semua pihak, ketika ada yang merasa dirugikan, terancam, atau bahkan teraniaya.
Dengan demikian pandangan pluralism Gus Dur berangkat dari sikap dan komitmen nasionalismenya. Gus Dur adalah sosok penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas.
Bukti tak terbantahkan ialah pengakuan agama Konghucu di bumi pertiwi ini. Dengan kata lain non-Chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan penerimaan dari kenyataan sosial bahwa Indonesia itu majemuk.
Maka dari itu, Gus Dur menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus berpegang teguh kepada Pancasila. Menurut Gus Dur, Pancasila adalah syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Pancasila merupakan kompromi politik yang memungkinkan semua bangsa Indonesia hidup secara bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional.
Pandangan yang demikian seperti itulah yang menunjukkan dalam bahwa dalam melihat sebuah negara harus selalu didasarkan realitas objektif, bukan sekadar idealisasi konseptual.
Gus Dur juga dengan penuh keyakinan beranggapan bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk dalam kategori “negara damai” (dar al-Sulh), sebuah konsepsi negara dan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara, dar al-Islam, dar al-Harb, dar al-Sulh (negara Islam, negara perang, negara damai).
Pancasila melalui slogannya “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Itu artinya, bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku, bangsa, dan bahasa, tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah common platform, landasan hidup bersama yakni Pancasila.
Adapun pandangan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara termasuk dalam kategori subtansif-inklusif. Paradigma ini tidak menekankan formalisasi agama dalam sebuah institusi negara.
Gus Dur lebih menekankan realisasi nilai-nilai agama Islam dalam sebuah institusi negara yang sudah ada tanpa harus menunggu dilembagakan atau diformalkan. Sebab, dalam fakta sejarah Islam Nabi SAW tidak pernah menganjurkan untuk memformalkan agama Islam atau bahkan mendirikan negara Islam (Warno, 2009).
Oleh karena itu, sebagai insan yang mengaku bangsa Indonesia, berislam, patut dan wajib bagi kita untuk berusaha mengerti, memahami, dan menghayati serta bermuara pada pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Tujuannya adalah demi kesatuan dan kedamaian NKRI.