Apakah kita tahu tujuan perang itu apa? Tentunya perang bisa terjadi karena adanya gesekan antara kelompok hingga menimbulkan perang itu sendiri. Namun, di balik perang tersebut, pasti tersembunyi semua tujuan yang sama yaitu kekuasaan, permasalahannya umum, harta, dan tahta. Semuanya tipu daya muslihat dunia.
Penulis bisa membuktikan berbagai perang atau keributan yang terjadi di muka bumi ini, pasti ujung-ujungnya kekuasaan. Mulai dari Yunani dengan perang Troya, Romawi sampai pada keruntuhannya, Islam pada masa Khulafaur Rasyidin, Ummayah Abbasiyah lalu masuk ke dunia barat ada Perang Dunia 1 sampai 2 dan pada akhirnya ada perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Semua pada indikasi yang sama yaitu kekuasaan.
Rasanya sulit menafikan teori yang dikemukakan oleh P. A Sorokin sosiolog asal Amerika serikat, bahwa sejarah itu bagaikan roda pedati yang selalu berputar atau teori yang lainnya yang memang pada dasarnya sama. Akan tetapi, memasuki abad ke-21 dunia kembali sensitif dan bisa mudah perang tapi tidak pada indikasi kekuasaan, melainkan kepada perbedaan.
Jika kita berbicara tentang perbedaan maka nomor satukan Indonesia, sebab hanya Indonesia yang memiliki berbagai macam keragaman etnis, ras, budaya, agama, bahasa dan lainnya. Kalau merujuk kepada Alquran maka dalam firman Allah Swt. Bahwa perbedaan adalah rahmat dan ada hikmah di balik itu semua yaitu saling mengenal satu sama lain.
Kerukunan sudah terjaga sebelum terciptanya nama Indonesia dan kita memiliki semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang pas sekali untuk masyarakat kita. Akan tetapi, ini semua bisa dengan mudah dihancurkan jika tidak paham dengan toleransi dan pluralisme yang sudah sejak lama dilakukan oleh Mukti Ali dan di Abad 21 oleh Gus Dur.
Namun, dunia kembali digemparkan oleh Profesor asal New York yaitu Samuel Philips Huntington. Huntington sebelumnya pernah membuat kontoversi dengan buku pertamanya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957) tulisannya menjelaskan tentang hubungan sipil-militer yang paling berpengaruh di Amerika. Bukan hanya itu saja bukunya yang kontoversi masih banyaknya yang lainnya.
Setelah puluhan tahun pamornya menurun Samuel Huntington kembali muncul dan menggemparkan dunia lewat makalahnya dengan judul The Clash of Civilization yang artinya benturan peradaban. Teori ini hanya bisa dipatahkan dengan toleransi dan kesadaran pluralisme.
Tentunya Samuel Huntington tidak sembarang membuat teori demikian jika ia tidak belajar dari sejarah dan futurulogi, ia mempelajari kejadian perang dingin yang menyebabkan runtuhnya Blok Timur dan para negara Adidaya tidak mencolokkan tentang ideologi lagi melainkan lebih kepada politik-ekonomi.
Telah disinggung sebelumnya oleh Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock (1970) bahwa ideologi kanan dan kiri sudah seharusnya tidak dipakai kembali, karena dunia sudah memiliki sosial yang maju tapi gaya politik masih sama seperti dahulu.
Apakah malah sebaliknya bahwa masyarakat dunia khususnya Indonesia maju secara sosial atau justru balik lagi kepada masa jahiliah?
Karena hanya pada masa itulah perang akan terjadi hanya karena saling mengejek satu sama lainnya, tepatnya sebelum Islam mencerahkan bumi Arab. Terjadinya perang itu bukan pada indikasi untuk kekuasaan melainkan mempertahankan nama baik kabilah atau klan. Jika demikian mengapa Indonesia kembali kepada masa jahiliah yang ada di Arab?
Awal abad ke-21 memang banyak sekali kelompok yang sensitif atau sebut saja keracunan agama, jika terdengar kesalahan dari kelompok tertentu maka akan diserang habis-habisan dan tanpa ampun, dan jika kelompoknya salah maka akan dibela sampai tidak ada lagi desas-desus yang mempermasalahkan.
Beruntunglah Indonesia memiliki tokoh intelektual, dan seorang kiai yang sampai hari ini masih harum namanya, beliau adalah Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid, lewat tulisan dan kebajikan beliau kembali mempersatukan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, apakah ini jawaban Gus Dur atas teorinya Samuel Huntington yang mudah tersebar karena dipresentasikan di hadapan para akademisi, politisi dan pejabat negara, itu ia lakukan di negaranya sendiri ‘Amerika’.
Balik lagi kepada toleransi dan pluralisme, bahwa penting sekali jika doktrin itu diterapkan di Indonesia karena banyaknya perbedaan. Jika kita mengutip kata-kata dari Cak Nun atau Emha Ainun Najib. “Sampailah kita pada suatu keadaan sejarah di mempertahankan kebenarannya berbenturan dengan kebenaran” (ILC/27/05/17). Negara kita akan aman dan tentram bila tidak ada kelompok yang menganggap paling benar, sebab kebenaran lawan kebenaran akan muncul permusuhan.
Ditambah dengan mudahnya akses internet, akan semakin mudah pula gesekan terjadi. Lalu siapa yang akan meneruskan Gus Dur, sebab dengan kekuasaanlah Indonesia bisa terkontrol dengan baik. Jika dialog antar agama sering diselenggarakan, lalu bagaimana dengan agama yang sama namun berbeda ‘klan’, bisa kah?
Wallahu a’lam.