KH. Abdul Qoyyum Mansur atau sering disapa Gus Qoyyum, merupakan pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Lasem Rembang Jawa Tengah. Beliau adalah putra dari KH. Mansur Kholil dan juga keponakan dari KH. MA. Sahal Mahfudh.
Dalam sebuah pengajian, Gus Qoyyum bercerita kepada hadirin tentang kisah Kiai Sahal kala menjabat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Di sela-sela kesibukannya, Kiai Sahal memilih menghabiskan waktu puasa Ramadan di rumah.
Lantaran Ramadan, keseharian beliau selain mengkaji kitab kuning dengan para santri, adalah membaca Al-Qur’an hingga khatam.
Ustaz atau orang alim yang sempat membaca Al-Qur’an itu jarang. Ini saya (bercerita) tidak menambahi dan tidak mengurangi. Rais Aam kita yang paling panjang masa jabatannya, Mbah Sahal Mahfudh, itu pernah bercerita kepada saya.
KH. Sahal Mahfudh, yang menjabat Rais Aam sebanyak tiga kali, kalau (kekerabatannya) dengan saya itu Pak Lek (paman), adiknya ibu saya. Kiai Sahal itu adik kandung ibu saya. Beliau bermaksud bercerita kepada saya, berikut percakapannya.
“Bagaimana, Lek?”
“Aku ini, kalau bulan puasa, paling nikmatnya hidup itu (adalah) orang yang puasa. Sebabnya apa? Aku bisa membaca Al-Qur’an, merasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an. Sebab Aku ini jadi Rais Aam, ngurusi se-Indonesia. Sempatnya membaca Al-Qur’an (di hari biasa) tidak seperti saat bulan puasa. Nikmat sekali.”
Itu sekelas Mbah Sahal Mahfudh, saking rindunya ingin merasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an. (Peristiwa seperti ini) itu sudah jarang. Anda kalau tidak percaya, coba Anda jadi pengurus travel umrah, pemimpin sama yang dipimpin itu lebih giat mana ibadahnya?
Sebab Anda sendiri itu urusannya sudah banyak, “benar apa tidak?”. Entah Anda itu sempat membaca Al-Qur’an di pusara Nabi saw atau tidak. Kemungkinan besar Anda tidak akan sempat menikmati ibadah.
Jadi, Kiai zaman dahulu itu tidak meninggalkan (membaca) Al-Qur’an walaupun sibuk membaca kitab kuning. Imam Syafi’i itu sehari khatam satu kali di hari biasa, kalau bulan Ramadan sehari khatam dua kali di setiap harinya. Maka dari itu, masyaallah .. masyaallah sekali. Ilmunya banyak, tetapi tidak meninggalkan Al-Qur’an.
Imam Syafi’i itu, dijelaskan dalam kitab tafsir Mafatih Al-Gaib milik Fakhurrazi (Ar-Razi). Beliau pernah mencari dalil ijmak. Termasuk dalil (istinbath) itu kan ijmak. Al-Qur’an, hadis, ijmak, qiyas.
Imam Syafi’i mencari dalil ijmak itu dengan membaca Al-Qur’an sebanyak tiga ratus kali. Dibaca, tidak ketemu, dibaca lagi satu khataman, tidak ketemu. Baru yang ketigaratus kalinya, ketemu dalil ijmak.
Wayattabi’ ghaira sabiilil mu’miniin. Barangsiapa yang mengikuti bukan jalannya orang yang beriman. Maka, nuwallihi maa tawallaa wa nushlihi jahannam, Aku tenggelamkan, Aku masukkan dalam neraka jahanam (QS. An-Nisa [4]: 115).
O, berarti orang itu harus mengikuti ijmaknya kaum muslimin. Dalil ijmak itu ditemukan oleh Imam Syafi’i, itupun dengan membaca Al-Qur’an terlebih dahulu sebanyak tiga ratus khataman. Lihat saja keterangannya di tafsirnya Ar-Razi.
Jadi tidak seperti kita saat bahsul masail, dulal dalil dulal dalil, das des das des. Imam Syafi’i saja, satu dalil khatam Al-Qur’annya tiga ratus. Jadi beliau lebih banyak diamnya.
Imam Malik juga disodori tujuh puluh pertanyaan, diam. Tidak seperti zaman sekarang, belum ada orang bertanya malah ditanya, “Apa pertanyaanmu?”. Lho, ini gimana, belum ada orang bertanya malah ditanyai.
Jadi masyaallah sekali, ulama dahulu itu istimewa sekali. Ulama dahulu itu Qurban (taqarrub) iya, Qardlan Hasanan (menafkahkan hartanya di jalan Allah) iya, Qur’annya juga iya. Dengan tiga hal ini bisa ditengarai bahwa ia adalah ulama yang khumul (low profile).
Itu orang-orang terdahulu, lha kalau orang seperti kita ini, ya tadi misal ushuluddin, din-nya tidak seberapa, jadi terus usal-usul-usal-usul saja. Inilah yang hilang dari kita semua.
Dahulu kan yang namanya ulama itu sehabis mengajar lalu membaca Al-Qur’an. Kalau sekarang tidak, sehabis mengajar lalu melihat whatsapp. Kan sudah beda kebiasaannya.
WA itu yang keluar bisa macam-macam. Ada yang ifkun mubin (hoax), ada dajjalun mubin (fitnah dajjal), ada aduwwun mubin (musuh). Mubin-mubin-nya ada banyak. Begitu kan? Sudah begitu masih cari keramat lagi. Masyaallah!
Sumber video pengajian: “Gus Qoyyum – Kisah Mbah Sahal Mahfudh”