Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri, Tokoh Thariqah Alawiyyin Betawi Abad 20 (2)
Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf mempunyai putra dan putri 22 orang. Namun yang ada hingga saat ini sembilan orang; lima putra dan tiga putri. Hebatnya, kesembilan anak tersebut adalah ulama yang disegani dan berpengaruh di masyarakat.
Mereka adalah Habib Muhammad, memimpin pesantrennya di kawasan Ceger; kemudian Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; lalu Habib Alwi, memimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukitduri; Habib Umar, memimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukitduri; dan Habib Abu Bakar, memimpin Pesantren Al-Busyo di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang. Sementara tiga putrinya pun mempunyai jamaah tersendiri.
Sebagai ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab.
Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari tauhid, tafsir, akhlaq, fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab – dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain; Hilyatul Janan fi Hadyil Quran, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bun-yatul Umahat, dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas, dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari Hadramaut, di mana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut, yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata:
“Saya bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada orang-orang yang ke Indonesia.”
Mendengar kabar dari Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba.
Hari itu, berita wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya.
Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlak, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada hari Selasa.
Puluhan kali shalat jenazah dilakukan dengan ribuan pentakziah digelar. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman almarhum.
Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya. Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian sang walid yang terakhir kalinya.
Karena sangat banyaknya pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari Senin siang sampai Selasa siang.
Bisa dibilang, semua habib dan ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain.
Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H. Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain.
Selasa siang pukul 13.00 iring-iringan yang membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Ribuan kendaraan roda dua dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulans yang membawa jenazah, tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya.
Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali dishalati di Masjid An-Nur, Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara komplek makam Kramat Empang.
Mewakili sahibul bait, Habib Hamid bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang sangat besar di kota Jakarta,” katanya.
Beruntung, lanjutnya, bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kirimkanlah untuk almarhum. Pembacaan Talqin dan doa dipimpin oleh Habib Bagir bin Hud Al Attas, Kebon Nanas, Jakarta Timur.
Sekitar pukul 17.00, prosesi pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang ulama besar.