Habib Anis Al-Habsyi, Cucu Pengarang Kitab Simtud Durar yang Gemar Berbagi Sarung ke Non-Muslim
Lantunan shalawat Simtud Durar bergema-gema di penjuru sebuah masjid di pusat Kota Solo (Surakarta). Masjid Ar-Riyadh saat itu sedang dipadati banyak jamaah yang sedang asyik melantunkan puji-pujian kepada Rasulullah Saw.
Rangkaian pujian yang indah, syahdu dan menyentuh hati. Suasananya laksana oase yang menyejuki padat dan riuhnya aktivitas masyarakat di sekitar Pasar Klewer, Kota Solo, Jawa Tengah.
Masjid Ar-Riyah kerap mengadakan acara Maulid Nabi. Dari kegiatan ini didatangi masyarakat dari berbagai daerah, termasuk juga dari kalangan para ulama, santri dan Habaib.
Atmosfir kedamaian senantiasa melingkupi tempat tersebut. Lantunan itu merupakan karya agung Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi penulis himpunan shalawat Simtud Durar.
Salah satu keturunan (cucu) Habib Ali yang masyhur bernama Habib Anis bin Alwi al-Habsyi. Beliau lahir di Garut Jawa Barat pada 5 Mei 1928. Ayahnya bernama Habib Alwi dan ibunya bernama Syarifah Khadijah.
Habib Anis Al-Habsyi etika berusia 9 tahun keluarga Habib Anis pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di Solo, akhirnya menetap di sebuah Kampung Gurawan, dekat dengan Pasar Kliwon.
Biasanya menjelang Hari Raya Idul Fitri, Habib Anis juga sering membagikan sarung secara cuma-cuma kepada tetangga, baik yang Muslim maupun non-muslim.
“Berikan mereka sarung, meskipun saat ini mereka belum masuk Islam. Insya allah suatu saat nanti ia akan teringat dan masuk Islam”. Demikian salah satu ucapan Habib Anis Al-Habsyi yang ditirukan oleh Habib Hasan, salah seorang puteranya.
Ada empat (4) pesan yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jamaah yang hadir di majelisnya.
Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku, masjid ini adalah tempatku beribadah mengabdi kepada Allah.
Kedua, Zawiyah (majelis ilmu), di situlah aku menggembleng akhlak jamaah sesuai dengan akhlak Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan tempat untuk menuntut ilmu.
Keempat, aku bangun bangunan megah, di situ ada pertokoan karena setiap muslim hendaknya bekerja, hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad Saw.
Dulu ketika Habib Anis bin Alwi al-Habsyi masih melantunkan Maulid Simtud Duror yang digubah kakeknya, nuansa penuh kesyahduan, khidmat dan haibah (kharismatik) selalu menyelimuti ribuan jamaah dalam acara Maulid di Masjid Ar-Riyadh, Gurawan, Solo.
Jamaah menyelam dalam khusyuknya dzikir dan shalawat. Laksana berada di awang-awang. Bahkan, salah seorang muridnya pernah mengalami pengalaman yang mistik.
Ceritanya, ketika ia sedang terbuai dalam lantunan shalawat yang dipimpin Habib Anis Al-Habsyi, air matanya selalu menetes haru. Seolah-olah dirinya diselimuti kabut putih yang sejuk aroma harum semerbak menaungi pembacaan shalawat.
Selain itu, Habib Anis Al-Habsyi selalu berpesan sebelum acara maulid dimulai:
“Sebelum membaca Maulid, setiap orang harus mempunyai niat yang baik. Kemudian menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah. Tak hanya di lidah tetapi juga dalam hati, dipikirkan lalu diamalkan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah: ‘Barang siapa menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah, Allah akan mengajarkan ilmu yang belum kita ketahui’”.
“Karena itu, kita jangan hanya mendengar cerita-cerita Maulid, tetapi juga harus meresapi, memikirkan dan melaksanakan hikmah-hikmahnya. Insyaallah kita akan dekat dengan Rasulullah dan dicintai oleh Allah. Sebagaimana Allah berfirman: ‘Barangsiapa mencintai Rasulullah, berarti ia mengikuti perintah-Ku.”
Kini Habib Anis Al-Habsyi telah tiada. Sosok beliau yang dulu senantiasa membaca Maulid Simtud Durar di setiap acara Maulid. Beliau sudah tidak bersama kita lagi. Namun, ajaran-ajaran beliau tetap dilestarikan oleh generasi dan santri-santrinya.
Adapun Habib Anis Al-Habsyi wafat pada 6 November 2006 pada usia 78 tahun. Makam beliau berada di Jalan Kapten Mulyadi, Sudiroprajan, Solo.
Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari sosok Habib Anis bin Awli Al-Habsyi.
Pertama, Islam megajarkan model dakwah yang lembut dan toleran dengan cara ini justru islam mudah diterima di masyarakat.
Kedua, dakwah yang dilakukan oleh Habib Anis bin Alwi al Habsyi memiliki misi cinta pada Rasulullah dan mengamalkan ajarannya, terutama di daerah yang sudah berperadaban dan berbudaya seperti kota Solo.
Ketiga, memasyarakatkan literasi dilakukan oleh beliau dengan menyediakan perpustakaan di masjid yang didirikannya, yakni Ar-Riyadh. Hal ini merupakan kegiatan dakwah yang sangat bernilai.
Keempat, tak hanya di daerah terpencil, dakwah di perkotaan memiliki urgensi yang tinggi, mengingat kehidupan modern berpotensi menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang diajarkan Nabi Muhammad Saw.
Kelima, sikap kedermawanan tanpa melihat suku. Ras dan agama dilakukan sebagai bagian dari dakwah dan pengabdian pada masyarakat sekaligus sebagai pengamalan ajaran Rasulullah.
Sumber Bacaan:
Habib Husein Anis al Habsyi, Biografi Habib Anis Al Habsyi,Muallif Simtud Durar, Solo: Pustaka Zawiyah, 2007.
KH Jamaludin Achmad, Napak Tilas Aulia’, Jombang: Pustaka Al-Muhibbin PP.Tambak Beras, 2008.
Majalah Al-Kisah, No.09/Tahun V/23 April 2007.