Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Ra’is ‘Am Jam’iyah Ahlu Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdiyah (JATMAN), dalam suatu majelis pengajian menjelaskan tentang dua kunci hidup menjadi orang sukses dan hidup berkah. Salah satu hal penting yakni menghormati dan tidak melupakan jasa guru yang dianggap “Kiai Kampung”.
Berikut kutipan ceramah Habib Lutfhi:
Kunci menjadi wali, kunci menjadi orang besar, hidup berkah, dan sebagainya, itu cuma ada dua; (1) taat kepada kedua orang tua dan (2) taat kepada guru. Ini kunci akan menjadi pangkat auliya’ yang besar.
‘Alim ilmunya setinggi langit, mau pintar seperti apa, tapi sama orang tua ‘hah’ (duhaka), jangan diharap ilmunya manfaat, (karena) kuncinya di situ.
Sama gurunya, ya mohon maaf mungkin kritik saya terlalu pedas, kita belajar di kiai yang disebut “kiai kampung”, tempatnya saja kampung tempatnya kota, tapi status keulamaannya العلماء ورثة اللأنبياء itu titik. Adapun tempatnya di kampung monggo, di kota monggo.
Yang (kiai) kampung itu hebat perjuangannya, mulai mengajar dari orang awam: A lam mati dijabar Al, kha’ mim mati dijabar kham, dal apes du, “alhamdu”.
Ditelateni (ditekuni) oleh para kiai, bagaimana cara menghadapi orang awam dengan ‘tidak keras’, dari mulai mengajar itu sudah ditunjukkan rahmatan lil ‘alamain, bagaimana Rasulullah membimbing orang awam, itu hebatnya.
Yang tidak tahu shalat dibimbing dari nol, yang tidak tahu rukun wudhu sampai dibuatkan syairan biar cepat menghafalkan rukun wudhu. Disyairkan seperti ini:
Rukun wudlu iku ono enem werno – Wajib apal sebab dinggo saben dino
(Rukun wudlu itu ada enam macam – Wajib hafal sebab digunakan setiap hari)
Rukun iman iku ono enem werno – Wajib apal sebab besuk den takokno
(Rukun iman itu ada enam macam – Wajib hafal sebab nanti akan ditanyakan)
Rukun Islam iki ono limang werno – Siji ngucap syahadatain kang sempurno
(Rukun Islam itu ada lima macam – Satu mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sempurna)
Yang mengajari siapa? Ya ulama-ulama kiai-kiai itu..!!
Tidak cukup dari itu, (kiai) kalau punya uang kantongnya selalu bolong (dermawan), ngajak santrinya ayo ziarah di Simbah Kiai Fulan.
Setelah itu diajak lagi umpanya ke Solo ke Pajang ke Imogiri, ditunjukkan inilah Kanjeng Sultan terdahulu, inilah para kiai terdahulu. Inilah ulama di zaman Pajang di zaman Mataram tanpa melupakan sejarah, sehingga tahu jasa-jasa para beliau.
Sampai dikenalkan ke para habib, dan siapa yang mengenalkan? Siapa yang mengajari? Dan siapa yang mencontohi para muhibbin mencintai para ‘ulama para ‘auliya dan para habaib? Ya para kiai-kiai yang terkadang dianggap “kiai kampung”.
Lha terkadang kita belajar sama beliau sampai khatam Al-Qur’an atau Juz ‘Amma, sampai mengerti kitab Safinah hingga mengerti tentang shalat, wudhu, arkanul wudhu, mubthilatul wudhu.
Setelah itu, belajar di pesantren jauh, pulang hafal Imriti, Ibnu Aqil, Jurumiyyah, hafal di luar kepala. Terkadang juga lancar hafalan Al-Qur’annya.
Ketika pulang ke kampungnya, apakah ingat mereka (kiai kampung) yang mengajarkan alif ba ta sehingga kamu hafal Al-Qur’an yang atas jasa kiai itu? Apakah terus ziarah (kiai yang sudah meninggal)? Lupa..!!
Ketika diingatkan umpamanya, “Le, kamu kenal tidak sama kiai itu? Kan di tempatmu ada kiai itu masya Allah”.
Anak itu menjawab, “Oh ya, saya tahu kenal kiai itu, itu bekas guru saya”.
Ternyata (dianggap) “bekas”!!
Jadi, (menurut anak itu) ada “bekas kiai” dan “bekas guru”. Hebat akhlaknya!! Gitu kok ingin bermanfaat ilmunya..!!
Tidak sekarang, tidak dahulu, “guruku yo tetap guruku”, walau sudah menjadi insinyur dan sebagainya, guru SD tidak ada bekas guru SD, itu guruku zaman aku sekolah di SD.
Kalau bisa begitu, itu tanda-tandanya ilmu yang manfaat.
Sumber video pengajian: “Habib Luthfi – Kunci Berkah & Manfaat“