Rais ‘Am Jam’iyyah Ahlith Thoriqah Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN) Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dalam suatu acara pengajian Akhirussanah di Pondok Pesantren Nurul Ikhlas menerangkan tentang pentingnya seseorang mengikuti thoriqoh (tarekat).
Berikut keterangan dari Habib Luthfi:
Pentingnya thoriqoh adalah untuk mengobati segala ghaflah (kelalaian) apa yang terletak di setiap hati manusia. Hati adalah tempatnya kelalaian yang mengakibatkan kita ini menjadi berbuat yang tidak diridhoi Allah dan tidak disukai baginda Nabi Muhammad.
Ghaflah itu dapat memunculkan penyakit-penyakit di antaranya kesombongan, kebanggaan diri, dengki, dan lain sebagainya. Semua itu letaknya bukan di mulut, mata, telinga, tapi fil qulub (dalam hati).
Setiap hari kita telah menyucikan dengan air wudhu, setiap telah membersihkan badan kita dengan mandi, ada yang mandinya satu, dua, atau tiga kali.
Tapi, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kita memandikan hati kita setiap hari?
Kalau wudhu dan mandi itu ada artinya, nah kalau alatnya untuk membersihkan hati sebagai pengganti air itu apa?
Itu di antaranya untuk membersihkan hati, sehingga bisa mengikis dan membersihkan ghaflah kita semuanya kepada Allah.
Yang paling mengkhawatirkan sekali, jangan sampai ghaflah ini ketika waktu nazak (saat hampir meninggal dunia), karena tidak terbiasa akhirnya lupa apa itu لآ اِلَهَ اِلّا اللّهُ.
Di sinilah definisi perlunya thoriqoh kita yang intinya untuk membersihkan ghaflah kita kepada Allah.
Jangan dikira, “masuk thoriqoh itu gampang, itu sunnah”, lho kapan kita membersihkan hati kita?
Kalau ada orang ‘alim sekali, saya tidak heran, tapi kalau ada orang yang hatinya bersih dan ikhlas, saya kagum kepada orang itu, dan saya bertanya, “Kapan aku bisa seperti itu?”
Di sini pentingnya thoriqoh, tidak Qodiriyah, tidak Naqsabandiyah, tidak Suhrawardiyah, tidak Tijaniyah, tidak Alawiyah, tidak Idrisiyah, dan thoriqoh lain-lain intinya sama, yakni tazkiyatul qulub (membersihkan hati).
Untuk mendapatkan apa? أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ (engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya). Ini terlalu tinggi.
Sudah, menggapai saja, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ, merasa dilihat dan didengar Allah.
Tanpa dilatih dengan dzikir yang banyak, dengan perantara guru kita yang mengantar wushul untuk ketemu Allah.
Ketika Rasulullah Isra’ dan Mikraj dituntun oleh Malaikat Jibril. Tapi, setelah di Sidratul Muntaha, Rasulullah bertemu dengan Allah secara langsung.
Kami perlu penuntun untuk Mikraj, dengan apa? Dengan guru-guru mursyid, sehingga menemukan: لَا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Kalau orang sudah merasa selalu dilihat dan didengar Allah, kira-kira akan mengurangi maksiat atau tidak? InsyaAllah kalau merasa selalu dilihat dan didengar Allah, malu rasanya akan mengumbar omongan seenaknya.
Link Versi Video:
“Habib Luthfi – Pentingnya Ikut Thoriqoh“