Berbeda dengan ulama dari kalangan laki-laki yang mudah dikenal dan karya-karyanya mudah ditemukan, ulama dari kalangan perempuan masih jarang dikenal. Baik dari karyanya maupun biografi serta kiprahnya.
Padahal, kontribusi kaum perempuan di masa dahulu dalam mendakwahkan agama Islam juga tidak kalah dengan yang dilakukan oleh kalangan laki-laki. Di Indonesia sendiri terdapat banyak ulama perempuan yang juga mempunyai kontribusi besar dalam membina masyarakat. Salah satunya adalah Hadiyah Salim.
Hadiyah Salim merupakan perempuan ulama yang lahir di Kualasimpang, Aceh dan berdarah Minangkabau. Namun kehidupannya dihabiskan di Jawa Barat untuk mengabdikan diri kepada masyarakat.
Ia merupakan putri sulung dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Salim dan Ny. Amesah yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatra Barat. Hadiyah Salim lahir di tengah keluarga Muslim yang taat, sehingga sejak kecil sudah memperoleh pendidikan keagamaan yang kuat.
Pendidikan formalnya dimulai di Madrasah Ibtida’iyyah pada 1927 M, dan setelahnya ia mengikuti orangtuanya kembali ke kampung halaman yaitu di Bukittinggi. Ia melanjutkan sekolah di Madrasah Tsawaniyah pada 1932.
Setelah lulus ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Diniyah Putri asuhan Rahmah el-Yunusiah di Padang Panjang. Saat di Diniyah Putri, Hadiyah Salim tidak sempat menuntaskan belajarnya.
Hal tersebut terjadi karena saat di Diniyah Putri, Hadiyah Salim harus menerima kenyataan bahwa sesuai dengan adat masyarakat Danau Maninjau perempuan harus segera dinikahkan.
Sehingga pada tahun 1939, di usia yang masih muda, ia dinikahkan dengan Yusuf Nur yang masih mempunyai hubungan darah dengan Buya Hamka. Pernikahan itu menghambat Hadiyah Salim untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah milik Rahmah el-Yunusiah. Sebab sekolah tersebut melarang muridnya yang sudah menikah untuk mengikuti pelajaran.
Sebagaimana dijelaskan oleh Erni Haryanti Kahfi dalam HJ. Hadiyah Salim: Pejuang Sosial Keagamaan dalam Ulama Perempuan Indonesia, hal tersebut membuatnya melanjutkan sekolah di Irsyadunnas. Itu merupakan salah satu perguruan tinggi agama Islam yang ada di Padang Panjang.
Ia melanjutkan Pendidikan di sana bersama dengan suaminya yang merupakan alumnus perguruan tinggi agama Islam Thawalib di Padang Panjang.
Pernikahannya dengan Yusuf Nur yang terjadi karena tuntutan adat masyarakat ternyata tidak menghalangi pendidikan dan kiprahnya di masyarakat. Justru pernikahannya membuka jalan untuk semakin terlibat dalam masalah-masalah sosial-kemasyarakatan. Termasuk ketika kembali ke kampung halaman.
Hadiyah mulai aktif di masyarakat melalui organisasi wanita Muhammadiyah yaitu Nasyiatul Aisiyah dan Aisyiyah. Di sinilah, Hadiyah kemudian mengembangkan wawasannya tentang Islam dan juga bakat serta minatnya terhadap pendidikan dan dakwah.
Tahun 1942 Hadiyah dan sang suami pindah ke Bogor. Di kota hujan tersebut, Hadiyah Salim ikut mengajar di pesantren Muhammadiyah bersama sang suami. Di kota tersebut mereka hanya bertahan selama dua tahun sebelum akhirnya pindah ke Bandung.
Kedudukannya sebagai seorang perempuan yang sudah menikah ternyata tidak mengurangi peran Hadiyah Salim dalam perjuangan dan pemberdayaan umat. Saat sang suami aktif memimpin pergerakan rakyat di Hisbullah, Hadiyah Salim juga ikut memimpin pergerakan Muslimah.
Ia turut aktif di bagian pemudi lewat Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Bersama para remaja putri, ia aktif di dapur umum bagi para pejuang.
Setelah Agresi Militer Belanda mulai mereda tepatnya pada tahun 1950 M, ia kemudian mengajar di Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Balonggede, Bandung dan tetap aktif di Aisyiyah dan Muhammadiyah. Usahanya terhadap pembinaan umat untuk bela negara di sekolah-sekolah, masjid-masjid telah membawanya sebagai seorang tokoh masyarakat yang akhirnya dipinang oleh partai Masyumi.
Ia bahkan hingga menjadi anggota legislatif periode Orde Lama selama 3 kali berturut-turut. Yaitu di DPRD Kodya Bandung sekali dan DPRD Peralihan Jawa Barat selama dua kali.
Keterlibatannya terhadap masalah-masalah sosial-masyarakat juga membuatnya diajak oleh Kodam VI Siliwangi waktu itu (Kodam III Siliwangi) membahas permasalahan yang dihadapi Jawa Barat. Bersama ormas, ulama, dan organisasi sosial keagamaan lainnya, ia diajak membahas masalah sosial ekonomi masyarakat.
Dari situlah, Hadiyah Salim bersama teman-temannya kemudian mendirikan Badan Sosial Wanita Islam (BKSWI) yang mempunyai fokus pada kepedulian terhadap masyarakat. Dan bergerak di bidang sosial seperti pengumpulan dana, dan sandang pangan yang diberikan kepada yatim piatu, fakir miskin, dan tuna netra.
Melalui organisasi tersebut di tahun 1955, tepatnya pada 4 Maret, Hadiyah mengadakan pertemuan yang mengundang lintas organisasi perempuan. Seperti Aisyiah, Muslimat NU, Fatayat NU, Persistri Persis, Wanita Islam, Wanita PUI, Nasyiatul Aisyiah, Jami’atul Banat, Wanita Washliyah dan lainnya.
Dalam pertemuan itu para perempuan dari berbagai ormas tersebut membahas permasalahan yang terjadi saat itu, yaitu kelaparan akibat tingginya harga beras. Pertemuan para perempuan dari lintas organisasi tersebut juga melahirkan kesepakatan untuk membuat wadah organisasi perempuan Islam yang bernama BKSWI atau Badan Kerja Sama Wanita Islam atau yang disebut dengan badan pemersatu wanita Islam dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Saat para ulama masih banyak yang fokus membina lingkungan masyarakat tertentu yang terbatas seperti majelis taklim para santri putri yang menetap di pesantren, Hadiyah mencoba mengisi ruang kosong yang belum disentuh saat itu. Hal tersebut dilakukan supaya peran ulama bisa menjadi semakin luas dan lintas organisasi.
Hal itu membuat sosok Hadiyah diterima kalangan luas. Ia juga sering diundang untuk mengisi ceramah di berbagai lapisan, mulai dari masyarakat hingga perkantoran, kampus, dan para pengusaha.
Selain aktif dalam membina masyarakat, Hadiyah juga sosok yang produktif dalam menulis. Ia banyak menulis di beberapa media dengan pembahasan soal masalah keagamaan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Sunda.
Ia juga banyak merintis lembaga untuk kepentingan umum seperti Rumah Sakit BKSWI, Yayasan Rumah Sakit Islam Bandung, Yayasan Pengembangan Al-Qur’an dan lainnya.
Walaupun mempunyai kegiatan yang padat dan sudah mempunyai suami, Hadiyah juga masih mampu meluangkan waktunya untuk menulis. Hal tersebut terbukti dengan beberapa karyanya seperti: Apa Arti Hidup, Sejarah 25 Rasul, Wanita Islam: Kepribadian dan Perjuangannya, Rumahku Nerakaku.
Kemudian Rumahku Mahligaiku, Perjalanan Hidup dari Alam ke Alam, Memilih Jodoh, Islam dan Kerukunan Umat Beragama serta Kepercayaan terhadap Tuhan YME, dan 13 judul buku lainnya.
Baginya, kebebasan kaum perempuan dalam menuntut ilmu tidak boleh melupakan pendidikan agama, karena hal itu merupakan tiang pokok keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Sebab kemerosotan moral yang menimpa kaum perempuan disebabkan kurangnya pendidikan agama.
Sehingga jika pada zaman jahiliyah para perempuan itu dipermainkan secara paksa, pada zaman jahiliyah modern justru perempuanlah yang ingin dipermainkan.
Hadiyah Salim adalah sosok perempuan ulama, aktivis dan juga agen perubahan masyarakat. Kiprah dan perjuangannya telah menembus batas-batas kehidupan seorang ulama dalam arti sempit. Menembus bidang-bidang kehidupan manusia yang melebihi kapasitasnya sebagai seorang perempuan.