Pada masa pra-Islam atau lebih dikenal dengan zaman Jahiliyah, dimana kehidupan di Mekkah dikuasai oleh kabilah-kabilah tertentu seperti Quraisy. Keadilan hanya berlaku bagi mereka yang berkuasa, kekuasaan didapatkan dari suku asal, suku yang kuat akan dapat menguasai segala hal. Kondisi ini pula yang dapat memicu perang antar suku satu dengan yang lainnya.
Kehidupan yang kacau hasil dominasi oleh suku-suku tertentu, membentuk pola kehidupan yang hierarkis. Suku yang lemah dan tidak memiliki aliansi akan selalu dalam bayang-bayang dominasi suku yang berkuasa. Puncaknya adalah terjadi perang antar suku yang dikenal dengan perang Fijar, terjadi karena sorang laki-laki dari suku Hawazin dari Najd dibunuh oleh seseorang dari suku Kinanah.
Penyerangan pun dilakukan oleh suku Hawazin yang tidak terima seorang dari sukunya dibunuh, maka terjadilah perang Fijar. Perang Fijar, Rasulullah sebelum mendapat wahyu kenabian pun ikut terlibat, karena dari suku Quraisy ikut membantu suku Kinanah yang merupakan aliansinya. Sekitar umur 14-15 tahun Rasulullah ikut berperang walau hanya diperintahkan untuk mengumpulkan panah yang meleset untuk digunakan menyerang suku Hawazin.
Selang beberapa hari kemudian, terjadi peristiwa yang mengusik rasa keadilan suku Quraisy yaitu ketika seseorang dari Bani Sahm mengambil barang dagangan pedagang dari Yaman tanpa membayarnya. Pedagang dari Yaman pun berkeliling untuk meminta pertolongan dan keadilan, sebab dirinya datang dari negeri yang jauh dan tak memiliki kerabat di Mekkah.
Maka, Abdullah bin Jud’an yang merasa perlu untuk mengundang beberapa petinggi dan orang kenamaan dari berbagai bani. Di sini mereka berkumpul dikediamannya, perkumpulan itu membahas keadilan yang harus ditegakkan di Mekkah dan membantu pedagang dari Yaman untuk mendapatkan keadilan.
Beberapa tamu undangan yang hadir dari berbagi Bani seperti Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad, Bani Zuhra dan Bani Taim. Nama seperti Abu Bakar pun ikut hadir bersama ayahnya dan Rasulullah pun ikut turut dalam perkumpulan itu dan menjadi saksi atas lahirnya perjanjian yang dikenal dengan Hilful Fudhul.
Perjanjian Hilful Fudhul adalah perjanjian hasil kesepakatan dari beberapa Bani ternama di kediaman Abdullah bin Jud’an, untuk menegakkan keadilan di tanah Mekkah tanpa memandang siapapun, dari Bani atau suku mana dia berasal. Rasulullah ternyata sangat mengenang dan menghargai perjanjian ini, tergambar dari salah satu sabdanya.
“ Aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih disukai dari pada keledai yang bagus. Andaikata aku diundang aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhinya.”
Sabda di atas diambil dari Sirah Nabawiyah yang menceritakan perjalanan nabi sebelum dan sesudah mendapat wahyu kenabian. Keadilan memang senafas dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Maka, tidak mengherankan Islam sendiri sangat menghargai keadilan dan menyerukan untuk ditegakkan, tidak penting dari mana dan siapa yang merasa perlu mendapat keadilan.
Jelas, dalam QS. Al-Maidah ayat 8 tergambar jelas bagaiman keadilan harus ditegakkan, bahkan kepada orang yang tidak kamu sukai sekali pun, karena keadilan lebih dekat dengan ketakwaan. Peristiwa Hilful Fudhul ini tergambar jelas dalam Sirah Nabawiyah.