Khitan merupakan persoalan yang masih problematik, apalagi jika menyangkut tentang perempuan. Hal ini disebabkan beberapa pemikiran yang menyebutkan bahwasanya khitan perempuan dilakukan untuk mengekang nafsu seksual perempuan. Lalu bagaimana sebenarnya para ulama menetapkan hukum mengenai khitan perempuan?
Salah satu pemikir abad modern yang mencoba menjelaskan perihal khitan perempuan ini yakni Kyai Faqihudin Abdul Kodir. Beliau mengupas persoalan khitan perempuan dalam salah satu karyanya yang berjudul Manba’us Sa’adah, khususnya pada bab khitan al-Rajuli duna al-mar’ati (khitan untuk laki-laki bukan untuk perempuan).
Penulis kitab ini mengawali dengan pengertian khitan. Beliau merujuk kitab Fath al-Bari karangan Ibn hajar al-Asqalani. Disebutkan bahwa Imam al-Mawardi mendefinisikan khitan laki-laki sebagai pemotongan kulit yang menutupi ujung kepala penis (القلفة). Adapun hal terebut mencakup ujung kepala penis (الحشفة).
Imam Haramain berpendapat bahwa yang harus dilakukan laki-laki (ketika khitan) adalah memotong kulfah, yakni kulit yang menutupi hasyafah hingga tidak tersisa ujung kulit tersebut yang menggantung atau menggelambir. Demikian pula Ibn Sabbagh mengatakan bahwa sampai tersingkap seluruh hasyafah.
Adapun khitan perempuan yakni memotong kulit yang terdapat di atas kelaminnya (vagina) atau tempat masuknya dzakar yang bentuknya seperti biji. Adapun yang wajib dilakukan adalah memotong kulit yang nampak berlebihan dan bukan memangkas habis.
Sebelum membahas hukum khitan perempuan, penulis kitab ini memaparkan terlebih dahulu faedah khitan. Hal demikian kiranya agar jelas dari tujuan khitan itu sendiri. Para ulama fikih menyebutkan bahwa faedah khitan ini akan mendatangkan kebaikan jika dilakukan oleh laki-laki dan bukan perempuan. Misalnya kulfah itu tempat menyimpan najis, maka tidak akan ada najis yang berkumpul jika memotongnya
Dari pemikiran tersebut, khitan akan membawa kebaikan bagi laki-laki dan bukan perempuan. Selanjutnya, ada beberapa manfaat khitan bagi laki-laki dalam kitab Manba’ussa’adah. Pertama, mencegah kotoran yang mengumpul di dalam kulfah, sehingga mecegah tumbuhnya virus dan bau tidak sedap.
Kedua, adanya kemudahan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan biologis serta memperlama senggama. Ketiga, kulfah merupakan bagian sensitif yang berfungsi untuk memunculkan saraf sensorik seksualitas.
Menurut Kyai Faqih, amaliah ini tentunya berbeda jika diterapkan pada perempuan. Merujuk pada pengertian yang dikemukakan oleh al-Mawardi bahwa khitan perempuan dilakukan di bagian atas vagina yaitu tempat masuknya zakar (klitoris). Klitoris sendiri bagi wanita tidak sepadan jika dibandingkan dengan kulfah dalam hal menyimpan najis.
Apabila khitan pada laki-laki dilakukan untuk menghilangkan najis, namun klitoris tidak menyimpan najis seperti halnya kulfah. Fungsi klitoris yakni tempat munculnya saraf seksualitas yang menjadikan perempuan mudah mendapat kenikmatan seksual ketika disentuh, sebagaimana fungsi penis pada laki-laki.
Sehingga, jika klitoris tersebut dipotong, meskipun dalam takaran yang seminimal mugkin, Maka khitan pada perempuan akan menghalangi saraf seksualitas yang berada pada klitoris.
Dengan demikian, khitan perempuan akan mengurangi aktifitas seksual seperti mengurangi kenikmatan berhubungan seksual, mempersulit durasi senggama, mengurangi responnya terhadap hal tersebut, tidak dapat mencapai orgasme. Bahkan akan menundukkan sisi kemanusiaan pada perempuan seperti mengurangi gairah seksual serta mengalami frigiditas (respon dingin).
Selanjutnya mu’allif kitab Manba’us Sa’adah memaparkan pendapat hukum khitan perempuan. Beliau menyebutkan bahwa para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum khitan.
Dalam kitab Fath al-Bari disebutkan perbedaan pendapat mengenai hukum khitan. Pertama, kelompok yang mewajibkan baik laki-laki maupun perempuan untuk khitan. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan.
Ketiga, khitan disunnahkan bagi laki-laki maupun perempuan. Dan yang keempat, khitan disunnahkan bagi laki-laki dan makrumah bagi perempuan. Makrumah sendiri diartikan bentuk kebaikan dan kemuliaan.
Menanggapi hal ini, Syaikh al-Qaradhawi dalam kitab Fatawa al-Mu’assiroh menyebutkan bahwasanya “sesuatu yang dianggap baik sesuai dengan adat tertentu”. Adapun Perbedaan pendapat tersebut disebabkan dalil yang dipilih terkait khitan. Akan tetapi khitan memungkinkan dikatakan wajib bagi laki-laki atau kuat hukumnya bagi laki-laki bukan perempuan.
Syaikh al-Qaradhawi memberikan pendapat bahwasanya tidak ada kepastian tentang hukum khitan dalam al-Qur’an, sunah, ijma dan qiyas. Beliau tidak menemukan adanya kewajiban atau sunah khitan bagi perempuan. Sebagaimana beliau juga tidak menemukan dalil keharaman atau kemakruhan melakukannya. Dengan demikian, perihal khitan perempuan memiliki indikasi hukum wajib, sunah dan makruh.
Atas landasan tersebut ulama bersepakat bahwasanya khitan perempuan berstatus ‘ala al-Jawaaz (atas kebolehan) atau boleh saja. Namun perlu diketahui, menurut ulama fikih, segala sesuatu yang diperbolehkan itu dapat dibatalkan apabila ditemukan kemafsadatan atau bahaya.
Menurut Nyai Farida Ulvi Na’imah, dalam Kajian Kelas Intensif Mubadalah, jika dalam ushul fiqh, hal ini disebut dengan metode pengambilan dalil Syadd al-Dzari’ah (menutup pintu perantara yang ke depannya diduga akan terjadi hal tidak baik).
Demikian pula dengan khitan perempuan yang boleh. Akan tetapi lebih baik tidak dilakukan sebab di kemudian hari dikhawatirkan akan mendatangkan mudarat.
Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menyebutkan bahwasanya khitan bagi perempuan merupakan suatu tradisi yang dilakukan jauh sebelum Islam datang (sunnatun qadimatun). Syeikh Ali Jum’ah mengatakan bahwa sejak zaman Mesir Kuno khitan perempuan sudah dipraktikkan.
Penjabaran oleh Kyai Faqih tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Asriati Jamil yang berjudul Sunat Perempuan dalam Islam: Sebuah Analisis Gender. Ia mengatakan bahwa mumi perempuan klitoris yang terpotong pada abad ke-16 M. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khitan sebenarnya bukan tradisi ulama mazhab .
Adapun dalil berupa hadis yang digunakan untuk menunjuk hukum khitan dinilai dhaif. Seperti hadis yang berbunyi “Khitan sunnah bagi laki-laki dan makruh bagi perempuan”. (HR. Ahmad dan Baihaqy).
Adapun hadis kedua, sebagaimana diriwayatkan dari Ummi Atiyah, bahwasanya ia berjumpa dengan seorang perempuan yang saat itu sedang mengkhitan perempuan Madinah (dalam kitab Jad al-Haq, perempuan tersebut bernama Ummu Habibah). Lalu rasul mengatakan “jangan potong habis, sebab bagian tersebut penting bagi perempuan dan dia akan lebih dicintai suaminya”. (HR. Abu Dawud).
Dari redaksi hadis tersebut kita dapat mengetahui bahwa rasul tidak memerintahkan khitan untuk perempuan, beliau hanya mengomentari aktifitas Ummu Habibah. Beliau justru memberi petunjuk dan menghimbau untuk berhati-hati dalam melakukan khitan. Dalam redaksi disebutkan “اشمي ولا تنهكي”, dalam redaksi Baihaqy dan al-Hakim disebutkan “إخفضي ولا تنهكي”. Oleh sebab itu, khitan perempuan disebut khifadz atau isymam.
Selanjutnya mengenai status keabsahan hadis ini, hadis pertama oleh para ulama’ dihukumi dhaif, sebagaimana Imam Baihaqy memberi status dhaif. Menurutnya, tidak ada satu ulama yang sepakat tentang kesahihan hadis tersebut. Demikian pula al-Albani yang memasukkan hadis tersebut dalam kompilasi hadis dhaif.
Adapun mengenai status hadis yang kedua, sebagian besar ulama mendhaifkannya, termasuk pula Abu Daud. Beliau mengatakan bahwa hadis ini dinilai tidak kuat, sebab diriwayatkan oleh perawi yang mursal (dalam periwayatannya tidak menyebutkan sahabat, sehingga terdapat keterputusan sanad). Selain itu, terdapat perawi yang majhul.
Berbeda dengan sebelumnya, Ibn Hajar al-Asqalani memasukkan hadis tersebut pada kompilasi hadis sahih, sebab datangnya hadis dengan berbagai jalur. Dengan keragaman jalur tersebut, maka status dhaif tersebut dapat terangkat menjadi hasan atau hasan li ghoirihi.
Akan tetapi pernyataan ini kemudian ditentang oleh Luthfi as-Sabbbagh, bahwa hadis ini statusnya dhaif. Sekali pun memiliki beberapa pendukung jika semuanya dhaif maka tetap ditentang. Beliau melanjutkan, seandainya pun kita menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Atiyah tersebut, kita tidak menjumpai rasul memerintahkan khitan perempuan. Akan tetapi sebaliknya, yakni menyuruh berhati-hati.