Dalam khitan yang dilakukan untuk perempuan tentu berbeda dengan khitan yang dilakukan kepada laki-laki. Secara bahasa, isymam berarti al-murur, al-sari’ (lewat dengan cepat) dan bukan ‘memotong’ sebagaimana khitannya laki-laki.
Jika tetap berpegang teguh untuk dilakukannya khitan perempuan atas dasar hadis tersebut, maka hukumnya makrumah dengan dimaknai memuliakan. Sedangkan meninggalkan khitan perempuan didasarkan atas sebab yang dimunculkan khitan perempuan berupa mudarat.
Pada bagian ini, mu’allif kitab Manba’us Sa’adah cukup mengkritisi dengan mengemukakan beberapa pendapatnya. Beliau mengemukakan argumen mainstream yang menyebutkan alasan dilakukannya khitan perempuan itu dapat mencegah pada lembah kenistaan dan seks bebas sesungguhnya tidak sah.
Pertama, jika alasan hal yang seharusnya dilakukan untuk mencegah suatu kenistaan tersebut yakni dengan sebuah pendidikan. Jika tujuan khitan perempuan adalah menjaga kehormatan (iffah), berarti sama halnya bagi laki-laki dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan nista tersebut. Yakni dengan pendidikan (tarbiyah) yang baik dan tepat. Pendidikan merupakan fondasi dalam melindungi kehormatan.
Lebih lanjut, khitan pada perempuan justru akan menimbulkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu tujuan khitan bagi laki-laki adalah membangkitkan gairah seksual. Sementara itu, khitan yang dilakukan pada perempuan justru akan mengurangi gairah tersebut.
Argumennya dilanjutkan dengan menunjuk kelompok yang menghukumi khitan perempuan dengan dalil hadis sahih yang menyebutkan “jika dua kelamin yang telah dikhitan bertemu, maka mandilah”.
Maka hal ini dapat diselesaikan dengan kaidah taghlib, yakni memenangkan salah satu saja. Dengan demikian, kata khitanani di sini bukan dimaknai sebagai perempuan yang dikhitan, sebagaimana halnya laki-laki yang dikhitan. Akan tetapi maknanya kelamin laki-laki yang sudah dikhitan.
Baginya Kiai Faqih, khitan perempuan merupakan sebuah dorurat yang perlu dihindari. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh sebagian besar para ulama.
Di antaranya Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Muhammad Sayyid al-Thantawi, Syaikh Ali Jum’ah, al-Ustadz Jamal al-Bana, al-Ustadz Muhammad bin Luthfi al-Shobbagh, al-Ustadz al-Amin Daud, al-Ustadz Muhammad Salim al-‘Awa, al-Ustadz Muhammad Hamdi Zarzuq, dan lain sebagainya mengatakan bahwa khitan perempuan dilarang oleh syara’.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada sebuah tuntutan hukum yang bersifat wajib maupun sunah, Akan tetapi hanya sebuah adat. Adapun yang dimaksud adat itu sendiri, menurut Buya Husein Muhammad, sebagai bentuk dukungan terhadap perempuan saat itu untuk menjaga dirinya dengan baik.
Argumen ini turut menguatkan pendapat Kiai Faqih tentang perempuan lebih baik tidak dikhitan, sebab akan membahayakan dirinya.
Jika pendapat yang mengatakan bahwasanya khitan perempuan dapat mendatangkan mudarat, lalu bagaimana caranya mengetahui datangnya mudarat tersebut?
Muallif menyatakan bahwa tentu saja hal ini melibatkan tenaga medis atau ahli spesialis yang konsen terhadap bidang tersebut. Mereka menentukan bahwa khitan bagi perempuan itu membahayakan. Baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis dan berpengaruh negatif bagi kehidupan perempuan kelak.
Langkah inilah yang disebut Syadd al-Dzari’ah, yakni dalam rangka menempuh jalan kemafsadatan atau terjadinya kerusakan dan bahaya.
Pada akhrinya, dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, muallif kitab lebih memilih untuk berbeda dari pendapat ulama yang membolehkan khitan perempuan. Hal ini dapat dimaklumi sebab pada masa mereka belum ditemukan data-data yang sampai pada masa kini. Ia menambahkan bahwas sebuah fatwa dapat berubah dengan seiring berubahnya waktu dan zaman.
Setelah mengetahui perihal khitan dalam kitab Manba’us Sa’adah, lalu bagaimana sebenarnya landasan hukum di Indonesia yang mengatur mengenai khitan perempuan?
Di Indonesia sendiri pada awalnya telah melarang terkait sunat atau khitan perempuan melalui sunat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Bina Kesehatan bahwa tenaga medis dilarang untuk melakukan khitan perempuan. Hal ini disebabkan khitan tidak memiliki kemanfaatan.
Di sisi lain, MUI mengatakan jika hal ini merupakan bagian dari syi’ar, maka jangan dihilangkan sepenuhnya. Dengan kata lain, jika ingin melakukan khitan perempuan maka harus dengan pengawasan tenaga medis. Berupa menyayat tutup klitoris bukan memotong atau bahkan mempersempit bagian vagina.
Atas usulan MUI tersebut, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes (Peraturan menteri Kesehatan) tahun 2010 yang memberi himbauan terkait khitan untuk dilakukannya oleh tenaga medis.
Selanjutnya, melalui Permenkes No. 6, tahun 2014, Kemenkes melarang kembali sebab tidak ada materi atau pedoman dilakukannya khitan perempuan. Namun, menurut Nyai Farida Ulvi Na’imah, Permenkes ini juga masih bersifat ambigu, sebab tidak ada keterangan jelas mengenai larangan terhadap bentuk-bentuk khitan. Wallahu a’lam.