Sependek bacaan dan pengetahuan penulis, Ibnu Rusyd merupakan sosok filosof Muslim pertama yang membela hak dan kesetaraan bagi perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari karya politiknya yaitu Ad-Daruri fi as-Siyasah Mukhtasar Kitab as-Siyasah li Aflatan.
Karya Ibnu Rusyd tersebut merupakan komentarnya terhadap karya Plato yaitu Republic. Naskah dari karya ini pertama kali ditemukan dalam bahasa Ibrani yang merupakan terjemahan seorang intelektual Yahudi abad 14 dari Marseille Prancis, untuk versi aslinya sendiri dalam bahasa Arab tidak pernah ditemukan.
Barulah di tangan Abid al-Jabiri yang bekerjasama dengan Ahmad Syahlan, seorang ahli semantik dari Maroko, menerjamahkan karya tersebut dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Arab.
Ibnu Rusyd memberikan pemahaman yang berbeda atas perempuan dengan sebagian para filosof pendahulunya, salah satuya di antaranya adalah Ibnu Sina. Sebagian para filosof sebelum Ibnu Rusyd memberikan pemaparannya terhadap perempuan dengan pemaparan yang tidak adil.
Salah satu dari bentuk ketidakadilannya adalah seperti tidak diperbolehkannya para perempuan untuk tampil dalam ruang publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang filosof yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sehingga ia berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk berkontribusi di dalam ruang publik.
Kita dapat merangkum tiga poin penting yang ditekankan oleh Ibnu Rusyd dalam membela hak dan kesetaraan bagi perempuan
Pertama, sisi persamaan yaitu segi akal. Baik laki-laki maupun perempuan keduanya diberikan akal pikiran yang berfungsi untuk berpikir. Sehingga menurut Ibnu Rusyd daya pikir tersebut dapat menghantarkan seorang perempuan menjadi filosof. Dengan adanya daya pikir akal ini pula bisa jadi kemampuan seorang perempuan dalam hal memimpin lebih unggul dari laki-laki.
Kedua, maqasid al-Syariah yaitu tujuan yang ingin dicapai syariat untuk merealisasikan kemaslahatan seorang hamba. Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa tujuan syariat adalah untuk kemaslahatan umat manusia tanpa membedakan jenis perempuan maupun laki-laki.
Maqasid al-Syari’ah sendiri mencakup lima hal yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan nasab. Sehingga dapat diketahui bahwa baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk menjaga lima hal tersebut. Memang secara langsung Ibnu Rusyd tidak mengungkapkan istilah maqasid al-Syari’ah, namun hal tersebut secara tidak langsung dapat dipahami dalam pemaparannya.
Ketiga, sisi kehidupan manusia. Karena baik perempuan maupun laki-laki keduanya merupakan manusia, sebab itu laki-laki maupun perempuan dituntut untuk mengelola kehidupan keduanya dalam rangka menjaga kelestarian hidup mereka. Sebab itulah Ibnu Rusyd memperbolehkan perempuan untuk tampil dalam ruang publik dan bebas dalam beraktifitas sesuai dengan daya kemampuan manusia.
Dengan adanya ketiga segi di atas, baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk menjalin adanya kerja sama tanpa mengunggulkan satu sama lainnya dalam menjalankan kehidupan mereka, baik dalam ruang domestik maupun publik. Oleh karenanya bagi Ibnu Rusyd laki-laki maupun perempuan tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin melainkan berdasarkan potensi kemampuan mereka.
Ibnu Rusyd memberikan kritikan tajam atas perilaku masyarakat Andalusia terhadap perempuan yang pada saat itu menjadikan perempuan hanya untuk melahirkan, dan memenuhi hasrat seks suami.
Menurut Ibnu Rusyd, perilaku masyarakat Andalusia yang membatasi ruang gerak perempuan, yang membuat mereka hanya sebatas sebagai the second sex, menjadikan salah satu penyebab Kota Andalusia ditimpa kemiskinan.
Perihal tersebut didasari dari terjebaknya aktivitas-aktivitas perempuan yang hanya menghasilkan produksi-produksi terbatas, seperti menenun dan meminta. Padahal menurut Ibnu Rusyd, apabila aktivitas-aktivitas perempuan dikerahkan tidak sebatas menenun dan memintal, tentunya akan menjadikan produksi yang melimpah.
Pendapat dan kritik Ibnu Rusyd ini sejalan dengan dengan pendapat dan kritik Plato yang berpendapat bahwa Athena pada zamannya telah menyia-nyiakan bakat dari separuh penduduknya. Bagi Plato, negara ideal akan memberi kaum perempuan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam pekerjaan di bidang militer maupun dalam bidang pemerintahan.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa laki-laki maupun perempuan keduanya merupakan manusia. Sebab itu laki-laki maupun perempuan dituntut untuk mengelola kehidupan keduanya dalam rangka menjaga kelestarian hidup mereka.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mengharuskan perempuan untuk mengembangkan dakwah, menuntut ilmu pengetahuan, serta berperan dalam berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, pertanian, bahkan politik, sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.
WaAllahu ‘Alam