Kemunculan “Islam Nusantara” sebagai wacana baru pemikiran Islam di Indonesia telah menuai tanggapan pro-kontra umat Islam. Wacana yang diangkat oleh para kiai dan cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) ini cenderung dicibir dan dikritik oleh pihak-pihak di luar NU. Meskipun begitu, tidak sedikit kalangan NU yang juga melakukan hal yang sama. Terlepas dari itu, yang jelas term Islam Nusantara kini menjadi topik yang dipandang ‘seksi’ untuk diteliti lebih lanjut khususnya di lingkungan perguruan tinggi dan instansi pemerintahan.
Istilah Islam Nusantara sendiri memang muncul kemudian menjadi ramai di permukaan, paling tidak dalam kurun waktu 1 dekade ke belakang. Apabila ditinjau secara holistik, ia bisa disebut semacam “De javu”. Artinya, peristiwa atau pengalaman umat Islam Indonesia saat ini sudah pernah dialami pada zaman dahulu. Dalam hal ini, ajaran keislaman yang diwariskan Wali Songo—yang menurut Michael Laffan (2015: 7-8) melakukan Islamisasi pada kisaran abad 15-16 Masehi silam—perlahan-perlahan mengkristal menjadi corak Islam yang khas di kepulauan Nusantara.
Dalam konteks ini, Islam dan Nusantara itu seperti isi dan wadah. Keduanya saling membutuhkan dan bisa saling mempengaruhi. Dalam bahasa pesantren, susunan “Islam Nusantara” berbentuk idhafah. Biasanya mengandung sisipan kata ‘an atau fi, sehingga maknanya bisa menjadi Islam (di) Nusantara. Oleh karenanya, Islam bersinergi dengan masyarakat dan budaya lokal. Di sisi lain, lokalitas Nusantara juga berperan untuk memperkuat pengkhayatan dan ekspresi berislam. Tujuan tidak lain demi membumikan Islam tanpa harus meninggalkan atau memberangus unsur-unsur lokalitas.
Makanya Islam Nusantara tidak bisa disebut sebagai suatu aliran atau madzhab baru dalam Islam. Ia hanya sebatas istilah baru namun masih menggunakan konten-konten lama. Apa maksudnya konten lama? Diskursus ini tidak bisa lepas dari pembicaran sejarah proses Islamisasi beserta proses, strategi dan ijtihad yang terjadi di masa silam hingga dewasa ini.
Banyak yang mengakui hasil ijtihad Wali Songo dan generasi ulama setelahnya berhasil menciptakan tatanan dan konsepsi berislam yang unik. Anggapan demikian jika dibandingkan dengan Islam yang lazim di kawasan semenanjung Arab misalnya. Ijtihad Islam Nusantara yang dimaksudkan adalah produk hukum yang dihasilkan dari daya nalar atas teks-teks agama. Prinsip maqashid al-syari’ah dan mashlahah memposisikan kearifan lokal (‘urf) sebagai unsur penting yang dipertimbangkan.
Sebagaimana jamak diketahui, Wali Songo sebagai pendakwah Islam berhasil melakukan pendekatan budaya lewat proses asimilasi dan sinkretisasi. Pendekatan itu dikemas dengan sederhana serta dikaitkan dengan pemahaman masyarakat atau Islam yang “dibumikan” sesuai adat dan budaya setempat. Sehingga Islam berkembang dengan cepat dan massif dari Pulau Jawa menyebar hingga ke pulau-pulau lainnya (Sunyoto, 2016: 159).
Hasil ijtihad yang dimaksud bisa dilihat dari hal-hal yang berkaitan ibadah mahdhah. Misalnya zakat fitrah menggunakan beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Ada juga tradisi imsak sebagai peringatan batas aman (sekitar 10 menit menjelang subuh). Faedah imsak bisa menjadi rambu-rambu agar seseorang segera menghentikan aktivitas sahurnya. Contoh-contoh ini belum termasuk pernah-pernak khas lainnya, seperti penggunaan bedug di masjid, puji-pujian sebelum adzan shalat, pemakaian sarung ketika shalat.
Dalam bidang pernikahan, di Indonesia dikenal ta‘liq talaq. Istilah ini semacam ikrar atau shighat pakta integritas yang diucapkan setelah ijab qobul oleh mempelai laki-laki. Tujuan sebagai ucapan komitmen menjaga keutuhan keluarga dan kehormatan perempuan. Ijtihad ini diyakini sebagai ijtihad dari Sunan Giri, dan kawasan Madura menjadi daerah pertama diberlakukan ta’liq talaq secara resmi (Ahmad Baso, 2015: 135).
Selain itu, ada juga berupa tradisi yang memang khas Nusantara seperti halal bihalal pada bulan syawal, kenduri, selametan, hajatan, dan sejenisnya. Tradisi-tradisi ini merupakan ekspresi keagamaan kepada Sang Pencipta yang pengaruhnya sangat berperan juga dalam kehidupan sosial terutama soal relasi dan interaksi antarmasyarakat.
Penjelasan Islam Nusantara yang dipaparkan di atas nampaknya memang terlihat jelas dan mengerucut. Namun bagi Azis Anwar (2015: 261-262), konsep ini memang masih dalam tahap dibangun, dan secara status ontologis ia rada buram. Sehingga masih menyisakan pertanyaan apakah diperlukan sebagai suatu deskripsi atau ideologi? Jika deskripsi, berarti Islam yang diamalkan orang di kawasan Nusantara dengan berbagai varian tafsirnya.
Banyak juga mendefinisikan Islam Nusantara ialah—memakai istilah khas NU—Islam yang bercirikan tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal; atau ajaran Islam yang diasosiakan terwujud dalam seremoni semacam tahlilan, peringatan haul, ziarah kubur, maulid nabi, nyadran, selametan, suatu penjelasan yang menyiratkan implikasi seolah-olah Islam Nusantara adalah sama belaka dengan Islam-NU. Dan menyisakan pertanyaan bagaimana dengan Islam-Muhammadiyah yang justru lebih tua dan tidak kalah eksis sampai sekarang?
Atau, boleh jadi, Islam Nusantara memang dimaksudkan sedari awal tak kurang dan tak lebih adalah Islam-NU itu sendiri. Kalau memang demikian, terma Islam Nusantara bisa dikatakan ’bungkus baru’ dengan ’konten lama’. Artinya, ya hanya permainan kata saja (Azis Anwar, 2015: 263).
Jika makna Islam Nusantara dipersempit seperti itu, corak Islam yang berkembang di Indonesia saat ini—misalnya Muhammadiyah, Persis, Salafi, dan lainnya—bukan atau kurang Nusantarawi. Dalam hal ini, NU seolah-olah hendak menjadikan Islam-Nusantara sebagai ideologi eksklusif serta memonopoli tafsirnya. Pertanyaan lainnya adalah apakah Islam-Nusantara itu mewadahi Islam non-NU? Terlepas dari jawaban atas pertanyaan ini, perdebatan istilah demikian akan terus berlanjut berkutat pada kata maupun istilah, dan malah bisa menjauhkan dari subtansi dan tujuannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah “Nusantara” apakah lebih merupakan kategori wilayah geografis dan/atau budaya, bukan kategori kata sifat dan berkategori nilai (value). Bila merujuk pada ilmu manthiq, suatu definisi bisa menjadi tashdiq ketika sudah tashawwur, sehingga suatu definisi itu mencapai jami’-mani’.
Tulisan ini bukan hendak menolak gagasan Islam Nusantara. Justru, adanya keinginan untuk memperkuat pentingnya kehadiran gagasan itu di tengah pergulatan pemikiran dan ekspresi keislaman yang kian hari kian kabur dari intisari Islam itu sendiri. Apalagi, sejak Muktamar ke-33 hingga kini pihak NU secara struktural dan sebagian besar tokohnya telah ’mempromosikan’ Islam ke penjuru dunia.
Masih banyak persoalan lokalitas yang belum “diselesaikan” perihal relasinya dengan berbagai aliran atau ormas di Indonesia. Belum lagi soal metodologinya yang sampai hari ini belum matang baik itu secara kerangka teoritis maupun praksisnya di era sekarang. Karena diakui atau tidak, kajian Islam Nusantara cenderung masih berkutat pada ulasan tentang masa keemasan sejarah dan ekspresi-ekspresi keagamaannya yang bernuansa tradisional.
Masih ada masalah-masalah dalam negeri yang di depan mata seperti krisis perdamaian, propaganda hoaks di media, radikalisme-terorisme, ketimpangan kesejahteraaan sosial, stabilitas politik, tentu membutuhkan ’sentuhan’ terlebih dahulu sebelum Islam Nusantara digadang-gadang menjadi alternatif dan inspirasi bagi peradaban dunia.
Tentunya banyak yang berharap ijtihad-ijtihad ulama hari ini bisa menawarkan jawaban yang solutif atas berbagai tantangan zaman. Oleh sebab itu, kalangan pesantren sebagai basis utama baik itu kiai maupun santri-santri mudanya sangat berhak untuk memulai lebih dini pengembangan ijtihad ala Islam Nusantara di lingkungan pesantren, bukan hanya jebolan pesantren yang menjadi akademisi di perguruan tinggi maupun lembaga kajian lainnya.
Dengan proses begitu, penulis yakin Islam Nusantara muncul tidak hanya menjadi kajian sejarah dan wacana semata. Lebih dari itu, ia benar-benar mampu menjadi metodologi baru di tengah gejolak perang ideologi dan pemikiran keagamaan yang kian hari semakin tercerabut dari akar sejarah dan budaya Nusantara. Wallahu a’lam.