“Siapapun yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.” Jika merujuk pada hadis tersebut, maka mengetahui kapasitas dan potensi diri merupakan syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin mengenal dan lebih dekat kepada Allah Swt. Terlepas apakah hadis itu shahih, hasan, dhaif atau bahkan palsu.
Pada tahap lebih lanjut, pengenalan akan potensi dan kapasitas diri dapat membawa kita pada reaksi yang beragam. Ada yang mengetahui dirinya bodoh, tak berilmu namun memiliki waktu luang untuk belajar memilih diam dan menikmati kebodohan. Tetapi ada juga yang bereaksi sebaliknya.
Tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan. Siapa pun wajib mengenal dirinya dan menuntut ilmu tanpa batasan apapun seperti yang dilakukan oleh Mariam al-Astrulabi.
Bagi sebagian masyarakat, nama Mariam al-Ijliya atau Mariam al-Astrulabi mungkin terdengar asing. Terbatasnya referensi yang menceritakan muslimah satu ini membuat nama dan karyanya tidak begitu dikenal.
Banyak alat modern yang kita gunakan hari ini, seperti kompas, telah ditemukan olehnya pada masa sebelum renaisan Eropa, yaitu pada abad ke 10 M. Pengaruh penemuannya saat ini menggambarkan kebesaran jasanya, bahkan hingga kelak pada masa yang akan datang.
Dalam bibliografi yang ditulis oleh al-Fihrits ibnu al-Nadim, nama al-Ijliya menggambarkan bahwa dia berasal dari Bani Ijli, sebuah suku yang merupakan bagian dari Bani Bakr salah satu kelompok suku Badui. Sedangkan nama al-Astrulabi didapatkan berkat keberanian, kecanggihan, kecerdasan dan keahliannya membuat alat yang disebut astrolabe.
Mariam al-Astrulabi tinggal di Aleppo (Suriah) bersama ayahnya. Keahlian membuat astrolabe didapatkan dari ayahnya yang kebetulan merupakan pembuat astrolabe terkenal di Baghdad. Karena keahlian mereka yang terkenal, penguasa Aleppo pada waktu itu –Sayf al-Dawla (944-967 M)– memperkerjakan mereka.
Teknik membuat astrolabe adalah teknik yang diajarkan turun-temurun sehingga tidak semua orang mampu membuatnya. Meskipun keahlian membuat astrolabe diturunkan dan diajarkan oleh ayahnya, namun astrolabe yang diciptakan Mariam jauh lebih kompleks dan rumit. Desain serta teknik pembuatan alatnya sangat rumit, kompleks dan inovatif.
Ilmuwan perempuan seperti Mariam al-Astrulabi membuktikan bahwa keterbatasan gender tidak pernah ada. Allah Swt. tidak membatasi siapa pun untuk menimba ilmu, memiliki pengetahuan dan kontribusi. Kehadiran Mariam tentu saja dapat menjadi inspirasi dan contoh bagi siapa pun, terutama kaum perempuan yang masih menganggap diri mereka inferior.
Astrolabe, yang merupakan karya seorang Mariam, adalah alat yang begitu canggih di masanya. Masa yang demikian berkilau bagi dunia Islam telah melahirkan ilmu astronomi yang luar biasa mewah dengan astrolabe menjadi ujung kemilaunya. Masa ini adalah masa kegelapan di dunia Barat, sekaligus masa keemasan dunia Islam.
Di dunia Islam, astrolabe merupakan alat yang memiliki kontribusi besar. Sebuah alat yang dapat menunjukkan arah kiblat (Makkah) dan mampu menentukan waktu salat dengan prinsip astronomis yang begitu ketat dan tepat. Selain itu, astrolabe juga digunakan untuk menentukan awal bulan Ramadan dan dua hari raya dalam tradisi keislaman serta menentukan awal bulan-bulan Hijriyah.
Astrolabe merupakan prototipe dari Global Positioning System (GPS) yang setiap hari kita genggam dalam smartphone atau gadget. Prinsip penentuan waktu dan letak geografis suatu tempat menggunakan astrolabe ditentukan berdasarkan lintang dan bujur.
Astrolabe juga mampu mengukur letak matahari, bulan, planet dan bintang serta waktu lokal dengan mengukur letak lintang dan letak bujur, survei dan dengan rumus triangulasi. Selain berfungsi secara instan, astrolabe juga digunakan sebagai media pembelajaran astronomi, navigasi, survei dan penentu waktu shalat bagi umat Islam.
Astrolabe telah menyebar dan digunakan di Timur Tengah, Asia Timur, Andalusia, Afrika Utara hingga India. Ilmu astronomi Islam ini ikut mempengaruhi ilmu astronomi beberap wilayah seperti astronomi India, astronomi China, astronomi Mali, astronomi Bizantium dan Eropa. Di Eropa dan beberapa negara menggunakan astrolabe di lautan sebagai penunjuk arah untuk menjelajah wilayah-wilayah lain serta menggunakannya untuk keilmuan horoskop.
Sejarah perempuan muslim satu ini menjadi inspirasi. Membuka tabir betapa lentur dan lembutnya ilmu pengetahuan bagi siap apun. Ia dapat dipelajari dan dapat dikuasai oleh siapapun, laki-laki atau perempuan.
Jenis kelamin bukanlah penyebab orang menjadi bodoh, tetapi tiadak adanya keinginan dan tekad untuk menggali ilmu dengan keras. Begitu pula pengetahuan tentang Allah Swt., dapat diperoleh oleh siapa pun tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan.