Para ulama terdahulu tidak pernah malu untuk berterus terang, jika mereka benar-benar tidak tahu. Karena mereka tahu, bahwa konsekuensi berfatwa tanpa didasari ilmu itu berat dan bahaya. Kehati-hatian para ulama terdahulu inilah yang menandakan, bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang berilmu dan diantara salah satu ulama tersebut adalah Imam Malik pendiri madzhab fikih Maliki.
Imam Ibnu Jauzi dalam kitab Shifat al-Shafwah menjelaskan, ada sebuah riwayat yang menceritakan seorang laki-laki yang bertanya kepada Imam Malik. Laki-laki tersebut bertanya tentang suatu masalah, akan tetapi Imam Malik menjawab bahwa beliau tidak tahu dengan masalah yang ditanyakan oleh laki-laki tersebut dengan baik.
Kemudian laki-laki tersebut berkata; ”Tolonglah, aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini”. Kemudian Imam Malik berkata kepadanya; “Ketika kau kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan kepada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu; la Uhsinuha, aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik”.
Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Faqiih Wa al-Mutafaqqih menjelaskan bahwa Imam Malik ditanya berbagai masalah sampai berjumlah 48, tetapi hanya dua yang dijawab dan yang 30 beliau jawab dengan la-adri (aku tidak tahu).
Imam Malik adalah sebuah teladan bahwa ketika kita tidak tahu dan tidak pakar dalam bidang tersebut, maka tidak usah memaksakan untuk menjawabnya. Sebagaimana Imam Malik yang tidak malu, mengatakan dirinya tidak tahu dan juga tidak takut dianggap bodoh oleh orang-orang karena tidak bisa menjawab pertanyaan mereka.
Mungkin saja bagi sebagian orang pintar saat ini, pernyataan Imam Malik yang mengatakan dirinya tidak tahu tentang hal tersebut bisa menjatuhkan harga diri, karena akan diaggap bodoh. Bahkan, untuk menghindari agar tidak sebut orang bodoh akan berusaha menjawab tanpa memedulikan jawabannya bisa dipertanggung jawabkan atau tidak.
Walaupun Imam Malik beberapa kali mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan yang ditanyakan kepadanya, justru beliau mendapat banyak pujian dari ulama-ulama besar Islam. Misalnya An-Nasa’i yang mengatakan “Saya tidak melihat orang yang pintar, mulia, jujur, terpercaya periwayatan hadisnya melebihi Imam Malik. Kami tidak tahu dia meriwayatkan hadis dari rawi yang matruk, kecuali Abdul Karim”.
Imam Syaf’i dan Ibnu Hayyan juga memberikan pujian kepada Imam Malik. Imam syafi’i pernah mengatakan; “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para tabi’in”. Sedangkan Ibnu Hayyan juga pernah mengatakan; “Imam Malik adalah orang pertama yang menyeleksi para tokoh ahli fikih di Madinah, dengan fikih, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam Malik adalah sosok ulama yang rendah hati, meskipun beliau selalu belajar dan menimba ilmu dari 900 orang guru lebih. Beliau tidak pernah merasa dirinya paling pintar, bahkan beliau pernah mengatakan; “Seringkali aku tidak tidur semalam suntuk, hanya untuk memikirkan jawaban-jawaban atas permasalahan yang diajukan kepadaku”.
Akan tetapi di zaman ini, banyak orang yang baru belajar agama sedikit, tapi ketika ditanya apapun selalu dan semua akan dijawab, entah jawabannya benar atau salah. Mereka bukan lagi takut dianggap bodoh, tetapi sudah menganggap dirinya yang paling tahu. Oleh karena itu tidak usah malu mengatakan tidak tahu jika benar-benar tidak tahu, karena kedudukan orang alim dan berilmu tidak akan jatuh dengan mengatakan “saya tidak tahu”.
Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English