KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam sebuah pengajian kitab bersama para santri, menceritakan alasannya pernah menolak untuk diberi gelar Doktor Honoris Causa dari perguruan tinggi.
Berikut pengakuan dari Gus Baha:
Orang kayak saya itu beberapa kali ditawari gelar Doktor Honoris Causa. Kekhawatiran saya cuma satu, yaitu takut ketika tidak punya uang.
“Doktor kok tidak punya uang, kan nggak pantes.”
Jadi repot. Daripada beban, sudahlah tidak usah doktor. Jadi, kalau tidak punya uang ya pantes, terus kalau naik bis ya pantes. Suatu saat kalau sudah mati, tidak ada yang hadir ya pantes.
Kalau sudah doktor pas masuk neraka, doktor kok masuk neraka. Apalagi rektor kampus Islam kok masuk neraka, kok kayak tidak pas gitu.
Makanya, harus sering ngaji sama saya, supaya tidak malu di depan malaikat Munkar-Nakir. Masak rektor ditanya Munkar-Nakir tidak bisa. Kan malu.
Harus berani bentak, “Saya rektor lho pak Munkar Nakir!”
Kalau wali-wali dulu itu berani. Masyhur dalam cerita wali-wali, ditanya, “Man rabbuka man nabiyyuka?”
Mereka menjawab, “Saya ini guru tauhid, kok kamu tanya Man rabbuka man nabiyyuka, ya nglotok (bisa luar kepala). Kamu ndak pernah ngaji enak aja tanya!”
Jadi wali-wali itu rileks ngadepi (menghadapi) Munkar-Nakir. Saya yakin lebih rileks wali daripada pak rektor. Karena wali itu lebih dekat kepada Allah.
Sehingga orang zaman dahulu ada satu kearifan. Hidup itu apa? Hidup itu adalah cari sebanyak mungkin supaya hidup itu tidak bergantung kepada banyak hal.
Sehingga misalnya cara berpikir orang-orang modern itu, sebenarnya banyak orang ilmuwan yang tidak kagum sama Amerika, bukan karena angkuh.
Untuk mempertahankan kebesaran Negara sebesar itu. Kebutuhan listriknya besar, kebutuhan tentaranya besar. Sementara negara seperti Venezuela atau Swiss, kebutuhannya tidak banyak.
Pertanyaannya, yang tergantung dengan banyak hal dengan yang tidak tergantung dengan banyak hal, lebih pintar mana? Kalau dibalik pertanyaannya gitu, negara-negara maju itu tidak keren.
Orang yang untuk mempertahankan eksistensinya membutuhkan banyak hal dengan yang tidak butuh banyak hal, itu pintar mana?
Orang yang bahagianya menunggu menjadi doktor, kiai besar, kiai viral, dengan orang yang bahagia cukup dengan ngopi itu pinter mana?
Tapi, kalau dibalik pertanyaannya, “orang yang tahunya nikmat hanya kopi dengan nikmat butuh hal banyak, pinter mana?”
Makanya, Mbah Moen kalau guyon itu lucu. “Aku sa’ake ha’ karo wong ndeso seng mlebu suargo (Aku kasihan sama orang desa yang masuk surga).”
Saya dulu isykal (janggal), kenapa masuk surga kok dikasihani. Akhirnya beliau (Mbah Moen) memberi penjelasan:
“Wong ndeso weruh pakanan enak iku mok kopi mbek udud, lha suargo iku mok nuruti seng dikarepno (Orang desa tahu makanan enak itu hanya kopi dan rokok, padahal di surga itu hanya menuruti yang diinginkan).”
Jadi, surga itu kan menurut apa yang diinginkan. Kira-kira orang kampung kalau di surga menginginkan makanan apa coba? Artinya, malaikat lebih suka menangani surganya orang-orang kampung dibanding pak rektor.
Enak mana kalau sampean jadi malaikat pelayan surga? Suka melayani orang kampung apa orang kota? Orang kampung kan?!
Itu guyon, tapi itu menjadi pikiran kita bahwa orang yang banyak kebutuhan itu sebetulnya banyak kebodohannya, karena menggantungkan kebahagiannya dengan banyak hal. Makanya Imam Syafi’i mengatakan:
الإستغناء عن الشيء لا به
(al-istighnāu ’anis-syai lā bih)
Kecukupan adalah berusaha sebanyak mungkin supaya banyak hal tidak kamu butuhkan. Bukan memenuhi semua kebutuhan kamu. Hal ini karena nafsu kamu tidak ada batasnya. Kalau kamu penuhi, tidak akan selesai. (Riski Maulana Fadli)
Simak sumber pengajian ini pada link berikut: (Gus Baha)