IQRA.ID, Bekasi – Belum lama ini di Cibitung, Bekasi, ada orang yang mengaku dirinya sebagai habib, namun ketika dicek oleh para habib ternyata mereka tidak ada yang mengenalinya. Padahal, biasanya seorang habib saling mengenal satu sama lain karena mereka masih punya pertalian nasab.
Bagi sebagian masyarakat awam mungkin akan merasa sulit untuk membedakan antara habib asli dan palsu karena masih melihat dari sisi fisik, tampilan luar seperti penggunaan jubah, gamis, imamah serta memiliki tampang Timur Tengah.
Menurut Direktur Aswaja NU Center Kabupaten Bekasi Kiai Usamah Zahid, ada sebuah cara yang bisa digunakan untuk memastikan seseorang bergelar habib.
“Cara paling tepat atau valid untuk cek kebenaran habib asli atau palsu adalah dengan mendatangi Rabithah Alawiyah yaitu organisasi yang menghimpun WNI yang memiliki keturunan langsung dengan Rasulullah SAW,” kata Wakil Ketua PCNU Kabupaten Bekasi itu, sebagaimana dilansir situs NU Online.
“Pada dasarnya habib adalah dzuriyyah rasul atau keturunan Rasulullah saw melalui jalur Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fatimatuh, kemudian putra Sayyidina Hasan dan Husen lalu menurunkan generasi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia,” ujar alumni Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur itu.
Ia menerangkan, istilah “Habib” bermakna orang yang dicintai dan mencintai, habib juga bisa jadi isim fa’il (pelaku) atau isim maf’ul (objek), artinya ketika seorang habib memiliki sifat dasar cinta dalam hatinya maka perilaku dan ahlaknya harus sesuai dengan gelar yang disandangnya apalagi di belakang nama habib ada nama besar Rasulullah SAW di belakangnya.
Istilah Habib mempunyai tiga kategori. Pertama, habib asli dan alim. Habib yang semacam itu, menurutnya, harus dihormati serta dimuliakan karena di dalam dirinya mengalir darah Rasulullah SAW. Oleh karena itu masyarakat perlu tunduk terhadap pendapat habib tersebut karena keilmuan yang ia miliki.
Kedua, habib asli tapi tidak alim, yaitu habib yang kurang memahami ilmu agama karena tidak pernah mengenyam pendidikan baik di sekolah maupun pesantren. Kepada habib golongan kedua ini, kita harus tetap takzim dan menghormatinya.
“Terhadap orang yang mengaku habib tetap harus husnudhan meskipun ahlaknya tidak bagus dan masyarakat tidak perlu tunduk terhadap perintahnya apalagi kalau mengajak maksiat, jangan diikuti,” ajak Kiai Usamah.
Ketiga, habib palsu. Kiai Usamah menilai orang yang sekadar mengaku dirinya habib, akhlaknya tidak baik dan setelah dicek kebenarannya ternyata bukan habib asli, maka tinggalkan saja tanpa perlu menghina, mem-bully karena dia tetaplah manusia yang harus dihormati.
“Tiga hal itu bisa menjadi landasan menghadapi habib atau orang yang mengaku habib agar tidak salah dalam mengambil suri teladan, sebab masih banyak habib yang ahlaknya luhur dan mulia, ilmunya tinggi, dan habib yang sudah jelas keasliannya,” pungkasnya. (Suci Amaliyah/Aiz Luthfi)