Para ulama sependapat bahwa ayat Alquran yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat Iqra atau tepatnya surah al-‘Alaq ayat 1-3. Namun perlu diingat, ayat tersebut bukan merupakan wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Imam Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam kitabnya Fath al-Bary menjelaskan bahwa wahyu adalah segala petunjuk atau pemahaman yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Hal tersebut bisa berupa kalam, tulisan, ataupun isyarat, baik dalam keadaan terjaga atau mimpi.
Kemudian, Imam al-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Fath al-Qadir berpendapat bahwa Nabi adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah melalui mimpi atau ilham, sementara Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah melalui Malaikat Jibril, maka Nabi Muhammad saw. ketika menerima surah al-‘Alaq itu sudah menjadi Nabi, dan sejak turunnya surah al-‘Alaq , beliau menjadi Rasul.
Pendapat ini diperkuat oleh keterangan Imam al-Baihaqi dan lain-lain bahwa Nabi Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi pada bulan Rabiul Awwal berdasarkan wahyu dalam mimpi. Enam bulan kemudian diberi wahyu dalam keadaan terjaga (tidak tidur).
Maka dari itu, seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, bahwa istri Nabi saw., Aisyah r.a. menuturkan bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Saw adalah al-ru’ya al-shalihah (mimpi yang baik) ketika beliau tidur.
Kemudian beliau diberi kesenangan untuk melakukan tahannus (meditasi) di Gua Hira, sampai kemudian Malaikat Jibril datang dengan membawa tiga ayat dari awal surah al-‘Alaq itu.
Menurut Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. berupa mimpi-mimpi ini berfungsi sebagai persiapan mental beliau untuk menerima wahyu-wahyu berikutnya yang akan diterimanya dalam keadaan terjaga. Bahkan sebelum beliau melihat Malaikat Jibril langsung, beliau telah dikondisikan lebih dahulu oleh Allah dengan melihat sinar yang terang benderang, mendengar suara tanpa diketahui siapa yang bersuara, dan diberi salam oleh sebuah batu.
Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, hikmah yang dapat dipetik dari kejadian itu adalah bahwa dalam menerapkan kebijakan dalam masyarakat, perlu diciptakan pra-kondisi dulu, sehingga ketika kebijakan itu diberlakukan, masyarakat tidak mengalami keterkejutan dan gejolak sosial.