Membahas tentang perempuan memang tidak ada habisnya. Segala tindak tanduk, preferensi, perilaku, dan aktifitasnya baik pada ranah domestik maupun publik tak akan jauh dari perdebatan dan kajian.
Hal ini disebabkan karena kehadiran dan peran perempuan saat ini berbeda jauh dengan kondisi perempuan dalam sejarah peradaban dunia. Secara historis, dimulai dari peradaban Yunani, perempuan acapkali mendapat perlakukan yang tidak manusiawi. Berlanjut pada peradaban Romawi, dan sampai pada masa jahiliyah.
Fenomena historis tersebut merupakan sejarah kelam bagi perempuan, hingga datangnya agama Islam dengan menyuarakan kesetaraan. Mengeluarkan perempuan dari lembah kehinaan sebagai masyarakat kelas dua, dan memperjuangkan kediriannya sebagai manusia.
Lantas bagaimana sejarah perempuan dan peran Islam dalam upaya memanusiakan perempuan?
Menurut Quraish Shihab (1996), perempuan dalam peradaban Hindu harus mengakhiri hidupnya bersamaan dengan kematian suaminya. Ia dibakar hidup-hidup bersamaan dengan jasad suaminya yang meninggal. Sedangkan dalam peradaban China, ayah memiliki kekuasaan mutlak atas kehidupan keluarga termasuk memiliki hak untuk memperjualbelikan istri dan anaknya.
Pada masa peradaban Yunani menurut Syekh Mahmudunnasir (2006), perempuan hanya menjadi pelengkap kehidupan laki-laki. Hanya menjadi simpanan petinggi istana dan tempat pelampiasan hawa nafsu.
Perempuan bisa diperjualbelikan dan diserahkan kepemilikannya kepada orang lain menggunakan wasiat. Posisinya sebagai masyarakat kelas dua dianggap najis dan kotoran sehingga tidak memiliki kuasa atas kepemilikan harta dan pusaka.
Asmanidar dalam penelitiannya di tahun 2015 menjelaskan secara spesifik mengenai peran perempuan di masa Yunani kuno. Peran pertama yakni sebagai pelacur yang memuaskan nafsu laki-laki. Sebagai selir yang membantu memenuhi kebutuhan tuannya di kerajaan termasuk memijat, merawat, dan menjaga kesehatan raja atau tuannya. Kemudian peran sebagai istri yang dituntut untuk setia dan melahirkan keturunan sesuai dengan kemauan suami.
Marginalisasi perempuan di segala bidang ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir besar di masa Yunani kuno. Antara lain Plato dan Aristoteles. Di mana salah satu teorinya menyatakan bahwa idealitas laki-laki ditentukan dari kemampuannya dalam memerintah.
Semakin banyak negara yang ditaklukkan, semakin banyak perempuan yang ditundukkan. Dan semakin banyak penjajahan yang ia lakukan, maka akan semakin meneguhkan idealitas laki-laki.
Fatimah Umar Nasir dalam bukunya dijelaskan bahwa peradaban Romawi secara resmi mencabut dan menghilangkan hak sipil bagi kaum perempuan. Harta yang perempuan dapatkan adalah hak keluarga laki-laki, meskipun ia yang berkerja. Perempuan diberlakukan sebagai objek, maka sang ayah akan meminta sejumlah uang kepada laki-laki yang akan melamarnya sebagai uang pengganti.
Karena suami sudah merasa membeli, maka istri harus mengerjakan segala yang diminta suaminya. Dan setelah suami meninggal, istri juga tidak berhak atas harta yang ditinggalkan. Harta suami akan jatuh ke anak laki-laki. Jika tidak memiliki anak laki-laki, diberikan kepada saudara laki-laki ayah.
Berangkat dari peran perempuan pada peradaban sebelumnya, maka Arab pra Islam memberlakukan perempuan dengan cara yang sama. Perempuan tidak mendapat warisan, hanya menjadi budak seks, dan diberlakukan selayaknya hewan.
Perempuan dianggap kehinaan dan malapetaka karena dianggap lemah, tidak mampu berperang, dan hanya bisa menambah beban keluarga. Maka kelahirannya tidak diharapkan dan membunuhnya pun di dianggap sebuah kewajaran.
Salah satu misi yang dibawa Islam adalah kesetaraan di depan Tuhan. Maka perempuan yang tadinya tertindas secara fisik, psikis, dan peranya dikaburkan pelan-pelan mulai diakui eksistensinya. Diberi hak atas warisan, dan diberi hak untuk ikut serta dalam perang, dalam membangun perekonomian, dan dilibatkan dalam pengasuhan anak dan pengambilan keputusan keluarga.
Maka berbagai statement yang menyatakan bahwa gerakan feminis dan emansipasi yang saat ini diperjuangkan oleh ulama-ulama perempuan adalah warisan dari Barat merupakan asumsi yang salah kaprah. Islam adalah agama yang sangat ramah perempuan dan mengakui posisi dan perannya sebagai khalifah di muka bumi. Sama dengan hak yang diperoleh laki-laki dalam berbagai bidang.
Islam membawa misi memanusiakan perempuan, maka perempuan harus diberlakukan selayaknya manusia. Ketaatannya pada Allah adalah satu-satunya idealitas muslim. Bukan karena jenis kelaminnya, sukunya, ataupun rasnya. Segala diskriminasi berbasis gender sebagaimana dialami perempuan di masa pra Islam maupun di masa-masa sebelumnya harus dihilangkan.
Nabi melalui aktifitasnya sehari-sehari selalu mencontohkan bagaimana beliau memberlakukan istri-istri dan anak perempuannya. Tanpa malu beliau menggendong anak perempuannya di depan khalayak umum. Suatu hal yang amat langka di zaman tersebut. Nabi ingin memberikan petunjuk dan mengajarkan bahwa kepengurusan anak juga tanggungjawab laki-laki sebagai ayah.
Nabi juga tidak pernah membangun relasi penghambaan dengan istri-istri beliau. Penghambaan perempuan mutlak dilakukan kepada Allah sebagai Sang Khaliq. Bukan menghamba pada makhluk. Karena penghambaan pada Allah tidak akan menambah superioritas-Nya. Sedangkan penghambaan pada manusia akan membangun relasi yang superior dan inferior.
Pun demikian dengan cara beliau memberikan kebebasan pada Khadijah untuk terus melanjutkan aktifitasnya sebagai saudagar kaya yang menjalankan usaha perdagangan.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga harus memiliki kemandirian secara ekonomi. Karena jika perempuan sudah mandiri secara ekonomi, maka ia akan mampu berdakwah dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya bersama dengan suaminya.
Namun upaya Islam dalam memanusiakan perempuan belum sampai pada garis finish. Perjuangan untuk menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai lini harus tetap dilakukan. Tafsir al-Quran yang bernuansa patriarki dan didasarkan atas pengalaman laki-laki acapkali mengembalikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.
Naskah-naskah yang berperspektif perempuan masih sangat jarang ditemui dalam khazanah pemikiran Islam. Sehingga revolusi kemanusiaan perempuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad pun kian memudar. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses perempuan di bidang penafsiran al-Quran dan penetapan hukum (fiqh).
Maka yang perlu dilakukan adalah sinergitas perempuan untuk memperjuangkan kembali misi pemanusiaan perempuan sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad. Perempuan harus banyak menyuarakan pendapatnya di wilayah publik dan meningkatkan kehambaannya kepada Allah Sang Khaliq. Sehingga apa yang diperjuangkan akan berdampak besar pada perjuangan kesetaraan perempuan.
Sebagaimana terpenuhinya hak kemandirian ekonomi seperti Khadijah dan hak politik seperti Sayyidah Aisyah. Serta memperoleh derajat yang mulia sebagai manusia karena ketakwaannya pada Allah Swt.