Istilah Kafir Dalam Konteks Negara Bangsa dan Upaya Menjaga Harmonisasi Antar Umat Beragama
Kata kafir dalam Alquran disebutkan begitu banyak, ada sekitar kurang lebih 525 kata kafir dalam Alquran. Akan tetapi, kata kafir tersebut tidak bermakna tunggal dalam artian tidak semua kata tersebut merujuk pada makna yang bersifat aqidah saja, tetapi juga merujuk pada makna yang bersifat budaya, politik, dan lainnya.
Dalam fikih, konteks negara bangsa masuk dalam bidang kajian fikih siyasah atau fikih politik. Sedangkan bidang kajian fikih siyasah, dalam fikih masuk dalam ruang lingkup fikih muamalah. Sedangkan dalam hal mua’malah, ada sebuah kaidah yaitu Al-Ashlu Fi Mu’amalah Al-Ibahah. Sehingga, negara bangsa atau Nation State yang dianggap sebagai bagian dari modernitas. Jika mengacu pada kaidah fikih di atas adalah boleh, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Walaupun dianggap sebagai bagian dari produk modernitas, karena konsep negara bangsa muncul setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan besar dunia, baik yang berasal dari Islam maupun lainnya. Akan tetapi jika dicermati, konsep negara bangsa sejatinya sudah dikenalkan oleh Rasulullah saw. ketika membangun masyarakat Madinah, dengan menyatukan berbagai suku yang ada waktu itu, baik yang muslim maupun non muslim.
Berbagai suku yang ada di Madinah, dan tidak percaya dengan ajaran Islam tidak dipanggil dengan kata “Wahai Kafir”, ketika Rasulullah saw. merumuskan piagam Madinah. Yang merupakan titik temu, untuk mempersatukan dan melindungi antar suku yang berbeda keyakinan pada waktu itu.
Sejatinya, penggunaan istilah non muslim untuk orang kafir dalam konteks negara bangsa juga bukan suatu pembahasan baru yang layak untuk diperdebatkan. Dalam hal ini, Yusuf Al-Qaradhawi dan Hasan Turobi sudah mengemukakan pendapatnya, tentang penyebutan kafir dalam konteks negara bangsa. Dan juga status kewarganegaraan non muslim, dalam konteks negara yang berlandaskan hukum Islam.
Yusuf Al-Qaradhawi adalah salah satu ulama yang mempunyai pandangan progresif tentang hukum Islam, khususnya dalam isu-isu pembaharuan terhadap pemahaman fikih. Pandangannya dianggap progresif, walaupun dia dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Salah satu pandangannya yang relevan untuk menjawab tentang penggunaan istilah non muslim, untuk orang kafir yang hidup di sebuah negara bisa kita temukan di bukunya yang berjudul “Khitobuna Al-Islami Fi Ishri Al-Aulamah”.
Dalam bukunya tersebut, Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa; “Di antara ajaran Islam yang penuh hikmah dan nasihat baik dan ditunjukkan kepada umat Islam, khususnya di era globalisasi seperti ini adalah; hendaknya tidak memanggil orang-orang yang berbeda keyakinan dengan sebutan kafir, atau kuffar. Walaupun kita memang meyakini kekufurannya secara aqidah. Apalagi jika mereka adalah ahli kitab (Nasrani dan Yahudi). Kemudian, Al-Qaradhawi menyebutkan dua alasan untuk argumennya di atas. Pertama; kata kafir punya banyak makna, salah satunya “orang yang berbeda keyakinan dengan kita”. Termasuk didalamnya adalah orang-orang yang sama sekali tidak mau mengimani apa-apa yang tidak tertangkap dengan panca indra. Kedua; sesungguhnya Alquran mengajarkan pada kita, supaya tidak memanggil manusia walaupun dia kafir dengan panggilan kafir”.
Karena dalam Alquran sendiri, Allah swt. memilih memanggil orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya dengan kalimat “wahai manusia, wahai bani adam, dan wahai ahli kitab”. Bahkan dalam Alquran sendiri, hanya ada dua ayat yang menyebutkan bahwa Allah swt. memanggil menggunakan “wahai orang-orang kafir”. Ayat tersebut adalah ayat ke-7 Surah at-Tahrim, dan ayat ke-1 Surah al-Kafirun.
Dan jika dilihat dari Asbabun Nuzulnya, kenapa Allah swt. menggunakan panggilan tersebut, karena Allah swt. menegur kaum musyrik penyembah berhala, yang menawarkan kepada Nabi Muhammad saw., supaya beliau menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun, lalu mereka akan menyembah tuhan Nabi Muhammad saw. selama satu tahun juga.
Sehingga Surah Al-Kafirun menjadi perintah dari Allah swt. langsung untuk menolak tegas tawaran keji tersebut. Sehingga dalam Surah al-Kafirun, Allah swt. memilih dan menggunakan kata-kata yang sangat keras, dan sarkastis untuk menolak tawaran mereka yang sangat keji tersebut. Walaupun di akhir ayatnya, Allah swt. tetap berbelas kasihan kepada mereka dengan menggunakan penutup kata “Lakum Dinukum Waliyaddin/bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.
Konteks negara bangsa tidak selamanya menerapkan produk demokrasi seutuhnya baik dalam sistem negara maupun tatanan hukumnya, ada juga negara bangsa yang menerapkan sistem demokrasi akan tetapi dalam sistem hukumnya menerapkan sistem syariat Islam. Sehingga dalam sistem negara yang berlandaskan syariat Islam, cenderung membedakan antara muslim dan kafir (sebut non muslim). Hal konkrit yang bisa dijadikan contoh adalah kebijakan zakat bagi muslim dan pajak bagi non muslim. Kebijakan tersebut tentu sangat tidak relevan dalam konteks sistem negara modern.
Dalam hal ini, Hasan Al-Turobi salah satu pemikir kontemporer dari Sudan, mempunyai sebuah pandangan yang sangat progresif. Hasan Al-Turobi dalam bukunya yang berjudul Fiqh as-Siyasi, pernah mengemukakan bahwa membangun konsep negara Islam yang demokratis memang tidak mudah. Karena banyak tantangan, baik secara teori maupun praktik. Karena secara teoritis, belum ada konsep yang baku untuk sistem negara Islam yang ideal. Sedangkan secara praktik, justru agama sering dijadikan alat untuk tujuan-tujuan politik yang kotor.
Hasan Al-Turobi meyakini Islam adalah agama yang fitri, dan ajaran yang mengesakan Tuhan. Semua aspek kehidupan yang ada di dunia ini akan kembali kepada Allah swt., termasuk urusan bernegara dan berpolitik (Kulluha Lillah Wa Ibadatun Lillah). Oleh karena itulah, umat Islam harus menelaah kembali mana ajaran Islam yang masih relevan untuk diterapkan, dan mana yang sudah tidak relevan untuk diterapkan di era modern seperti ini.
Merunut dari apa yang dikatakan oleh Yusuf Al-Qaradhawi dan Hasan Al-Turobi, pengucapan kafir bagi orang-orang yang tidak satu keyakinan dengan kita yang muslim, sudah tidak relevan dalam konteks negara bangsa di era modern saat ini. Karena mereka merupakan bagian dari warga Negara (Al-Muwathinin) dan anak bangsa yang mempunyai hak yang sama, dan juga Islam dalam ajarannya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Rekomendasi untuk menyebut kafir dengan non muslim adalah bagian dari kaidah fikih “Dar’ul Mafasid Muqoddamun Ala Jalbul Masolih”. Konteks Dar’ul Mafasid atau mencegah kerusakan dalam pandangan penulis terdapat pada upaya tetap menjaga nilai-nilai persaudaraan antar anak bangsa, dan nilai-nilai persaudaraan antar umat manusia, di era post truth dan di tengah polarisasi akhir-akhir ini yang begitu kencang.
Di tengah polarisasi yang begitu kencang di era post truth, serta menguatnya politik identitas. Maka perlu dimunculkan sebuah alternatif baru, agar sesama anak bangsa yang mempunyai kultur sangat plural dan berbeda-beda, tetap harmonis dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun Indonesia bukan negara yang belandaskan kepada syariat Islam, akan tetapi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sehingga dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak bersinggungan dengan nilai-nilai Islam. dimana nilai-nilai Islam tersebut sudah teradopsi dalam landasan bernegara yaitu Pancasila.