Pada hakikatnya, tak ada manusia yang benar-benar bisa menguasai berbagai disiplin keilmuan sekaligus. Kalaupun kita menemukan segelintir orang memiliki kemampuan di atas rata-rata, dalam beberapa bidang keilmuan sekaligus, tentu saja mereka tidak akan benar-benar bisa menguasai semua bidang tersebut secara mendalam. Seorang ulama yang telah malang melintang menapaki proses intelektual dan pengembaraan spiritual tidak serta merta menjadi rujukan umat dalam seluruh persoalan hidup, termasuk juga seorang juru dakwah.
Alquran telah menegaskan “kullun ya’malu ‘ala syakilatih” bahwa setiap individu itu bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tak hanya manusia, ini juga berlaku bagi sistem alam semesta yang terjalin secara harmoni dan sangat teratur. Keniscayaan sunnatullah ini memberikan refleksi agar manusia sebagai hamba Allah harus selalu menjunjung dan mengutamakan sikap-sikap proporsional dan profesional dalam segala hal, terutama dalam aspek keberagaman umat dan cara mengekspresikan nilai-nilai keberagamaan yang ramah dan penuh kasih sayang.
Zaman disrupsi nyatanya juga telah menghantam pilar-pilar religiositas umat Islam saat ini. Ketika opsi keberagamaan nyaris semakin abai pada aspek otentik-eksistensial, dengan hanya menitikberatkan pada ekspresi keberagamaan yang diwujudkan dalam bentuk simbol dan atribut belaka. Di sinilah agama sebagai tuntunan sakral dan fungsional telah benar-benar tercerabut dari identitasnya. Agama sedang memasuki fase kelahirannya kembali, lahir sebagai entitas yang jauh lebih “rentan” atau bahkan prematur.
Kalau dilihat secara parsial, memang semangat keislaman sedang mengalami ledakan di mana-mana. Semangat ini pula yang pada gilirannya melahirkan banyak perkumpulan yang biasanya diisi dengan diskusi dan kajian rutin di berbagai lapisan masyarakat. Hanya saja, semangat keislaman ini harus seiring dan seirama dengan kesadaran kolektif membangun kedamaian dan perdamaian dalam ruang lingkup yang jauh lebih besar yaitu dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sehingga penekanan perjuangan tidak sebatas untuk kepentingan suatu golongan, tetapi lebih mengedepakan nilai-nilai kemanusian universal.
Pengajian atau ceramah agama, atau apa pun namanya dari waktu ke waktu terus membawa angin segar bagi wacana keislaman saat ini. Munculnya para ustad atau para dai dengan latar belakang yang cukup variatif dalam membingkai dan mengemas pesan-pesan agama menjadi daya tarik sendiri bagi andiens. Tak hanya itu, faktor elektoral yang melekat dalam sosok public figure menjadikan dakwah sebagai komoditas dalam bingkai budaya pop. Hal ini sebagaimana banyak disiarkan dalam berbagai stasiun televisi dan live streaming melalui media sosial dan beragam kanal youtube.
Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana dakwah mulai menembus sekat-sekat dunia virtual. Ia tidak hanya hadir sebagai pesan moral yang secara spesifik disampaikan dalam internal konteks itu ada, tetapi seringkali tanpa sadar atau justru dengan penuh kesadaran ia mampu melampaui konteks yang ada untuk terus mencari audiens dalam skala jangkauan yang lebih luas. Tentu akibatnya adalah hadirnya pemahaman dan resepsi audiens tidak pada konteks dan ruang lingkupnya. Sehingga dalam batas-batas inilah keseimbangan realitas yang dengan susah payah dibangun dan dirawat menghadapi situasi rapuh, karena meniscayakan adanya mispersepsi dari suatu kalangan untuk menghakimi kalangan yang lain.
Identifikasi Al-Ghazali terhadap Kualifikasi Ulama
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, pada bagian Afatul ‘Ilmi wa Bayanu ‘Ulama Al-Akhirah wa ‘Ulama Al-Su’, Al-Ghazali mengurai panjang lebar tentang kepakaran seseorang sebagai ulama. Secara tegas ia membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, yang tentunnya kategorisasi ini berinplikasi pada orientasi dan esensi dakwah serta proses menyampaikan pesan keagamaan kepada masyarakat, sebagaimana hal itu bisa kita indetifikasi berdasarkan penjabaran dan indikasi-indikasi yang mudah ditemukan di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu bagian penting penjelasan Al-Ghazali adalah seorang ulama jangan sampai mengeluarkan fatwa atas suatu persoalan yang tidak benar-benar ia ketahui menurut syariah. Tidak perlu tergesa-gesa apalagi secara sembrono menyampaikan pesan-pesan agama di luar kualifikasi keilmuan. Atau jika ditanya suatu problem yang meragukan, sebaiknya mengatakan secara terus terang “tidak tahu”. Karena tidak tahu adalah ilmu. Tidak tahu mengajarkan kepada kita arti penting keilmuan yang harus disertai moral tanggung jawab atas setiap ilmu yang kita miliki untuk senantiasa diamalkan dan agar menjaga kita dalam kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam kesesatan yang menyesatkan.
Lebih jauh, Al-Ghazali menguraikan kisah-kisah teladan dari al-salaf al-shalih bagaimana mereka mengimbangi kedalaman ilmu mereka dengan moralitas yang luar biasa. Ia mengutip Al-Sya’bi yang mengatakan:
لا أدري نصف العلم فمن سكت حيث لا يدري لله تعالى فليس بأقل أجرا ممن نطق لأن الاعتراف بالجهل أشد على النفس
“Tidak tahu adalah separuh ilmu. Barang siapa yang diam karena tidak tahu demi Allah Swt. maka tidak berarti pahalanya lebih sedikit dari pada yang berbicara. Karena sikap sok tahu sangat membahayakan bagi jiwa.”
Menarik ketika Al-Sya’bi menyatakan tidak tahu adalah separuh ilmu. Ini merupakan pencapaian intelektual dalam kepakaran seorang ulama yang sudah pasti bersinergi dengan pencapaian spiritual. Antara akal dan batin telah memiliki relasi yang fondasinya sama-sama kokoh dan saling integral. Tak ada sisi yang dominan, melainkan keduanya berpadu melengkapi dan saling menyokong. Maka ketika “tidak tahu” dieskpresikan sebagai “separuh ilmu”, artinya sebuah ketidaktahuan (baca: tidak adanya pengetahuan) telah mengisi kekosongan dalam diri seseorang dengan sikap kesadaran akan pengatuan yang transenden.
Dengan landasan ini, maka orang yang diam karena tidak tahu tidak berarti lebih rendah dari pada orang yang berbicara. Karena dengan menahan diri untuk tidak berbicara, ia telah mencoba menyelamatkan banyak orang (baca: audiens) dari ucapannya yang bisa jadi akan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesesatan.
Hal serupa juga tercermin dalam sikap kepakaran Abdullah Ibnu Umar yang pernah menyatakan:
العلم ثلاثة: كتاب ناطق وسنة قائمة ولا أدري
“Ilmu itu (bersumber dari) tiga hal: kitab yang berbicara (Alquran), mengamalkan sunnah Nabi dan tidak tahu.”
Bagi Ibnu Umar, tidak tahu bukan perkara yang sepele. Karena perkataan tidak tahu akan membawa seseorang pada kesadaran terdalam untuk terus membuka diri pada setiap kemungkinan dari jawaban yang ada. Tidak tahu akan senantiasa membimbing seseorang untuk tidak sembarang ngomong persoalan yang tidak dia kuasai, terlebih persoalan agama. Dan saat seseorang menyatakan tidak tahu, ia telah membuka sumber pengetahuan yang ketiga setelah Alquran dan hadis Nabi.
Dalam kesempatan lain, diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah diminta pendapat tentang suatu persoalan, lantas ia menyarankan untuk menemui orang lain yang menurutnya memiliki kapasitas jauh di atasnya. Ia selalu merasa tidak pantas ketika banyak orang mengerumuninya untuk meminta fatwa. Dan sikap-sikap ini memang menjadi tradisi al-salaf al-shalih dalam menjaga umat dari fitnah dan malapetaka yang ditimbulkan dari provokasi untuk memecah belah kesatuan dan persatuan.
Jika tradisi al-salaf al-shalih selalu mengedepankan kualitas seseorang untuk diminta fatwa dan kebanyakan dari mereka memilih diam dengan alasan masih ada yang lebih pakar, maka mungkinkan saat ini kita akan diam dan membiarkan ruang-ruang publik diisi oleh orang-orang dengan tingkat kepakaran yang sangat meragukan dan justru malah menimbulkan perpecahan? Wallahua’lam.