Di antara bunga beraneka warna yang menari di taman istana, dia duduk dengan anggun. Kepalanya menunduk. Tubuhnya menunjukkan keseriusan hingga nyaris tak bergerak seperti patung. Matanya menatap lurus ke lembaran-lembaran buku. Di sampul buku itu terukir gambar dua ular meliuk membentuk angka delapan yang mengapit sebuah medalion dengan dua belas iris bagian. Kedua belas bagian itu konon menyimbolkan dua belas bulan dalam setahun. Gambar ular meliuk itu mirip dengan logo apotek saat ini.
Bedanya, di cover buku itu si ular berpasangan, sedang di logo apotek saat ini si ular sendirian meratapi kesunyian. Mungkin karena mematuhi aturan untuk selalu menjaga jarak agar terhindar dari Corona [ini bayangan ngawur saya yang sudah terlalu lama tidak ke mana-mana]. Ular berpasangan yang mengapit medalion itu adalah lambang kesehatan dan ilmu medis era Dinasti Seljuk yang berkuasa pada abad ketiga belas (Ahmed Hulusi Kӧker: 2007).
Sutera biru lembut berhiaskan bordir halus menandakan perempuan itu bukan orang biasa. Hal itu dikuatkan dengan tiara berkilau yang bertahta di atas rambut ikalnya. Selendang tipis yang menutup sebagian kepalanya tidak dapat menyembunyikan setengah rambut belakangnya yang tergerai. Sedang setengah yang depan dipilin rapi membingkai pipi tirus dan dagu lancip wajahnya. Dia begitu sempurna sebagai perempuan dan juga sebagai manusia. Pengetahuannya tentang dunia kedokteran diakui oleh tabib dan tabiba istana. Dia adalah Gevher Nesibe Sultan, putri Kiliçharslan II.
Sebagai perempuan berdarah biru yang terpelajar, Gevher mempelajari berbagai disiplin ilmu selain bidang medis. Idealisme tentang kesetaraan dan egalitarianisme adalah salah satunya. Keduanya tidak hanya dipelajari dan dihapal di luar kepala. Gevher menerapkannya pada kisah cintanya.
Dalam The Oldest Medical Center of the Anatolia (Benek S et al.: 2015) dikisahkan bahwa Gevher mencintai seorang perwira kavaleri istana dinasti Seljuk. Perwira kavaleri bukanlah jabatan tinggi, apalagi setara dengan seorang putri dinasti besar. Namun perbedaan itu tidak menjadi masalah bagi kedua manusia yang saling jatuh cinta. Cinta Gevher bersambut. Perwira kavaleri itu mencintainya dengan segala kelebihan sebagaimana Gevher juga jatuh hati padanya dengan semua kekurangan yang ada.
Sayangnya, tidak ada sumber sejarah yang menyebutkan siapa nama perwira tersebut. Bisa jadi, hal itu untuk menunjukkan betapa sang perwira tak layak untuk Gevher apalagi untuk dikenang dunia. Setidaknya, seperti itulah yang dipikirkan oleh Giyaseddin Keykhusrev I, kakak Gevher yang juga pemegang kekuasaan tertinggi dinasti Seljuk kala itu.
Giyaseddin tidak merestui hubungan itu. Bukan lantaran sang perwira tidak memiliki keahlian, tapi karena dia dilahirkan bukan dari darah bangsawan. Untuk menutupinya, Giyaseddin mengutus sang perwira ke berbagai pertempuran berbahaya. Setiap kali sang perwira pulang membawa kemenangan, setiap kali itu pula hati Giyaseddin berdegup kalut. Ia khawatir tidak menemukan alasan untuk menolak pernikahan adiknya dan perwira itu.
Maka, tugas-tugas penaklukan dengan dalih mengibarkan kebesaran nama dinasti Seljuk menjadi satu-satunya alasan yang terlihat manusiawi. Kemenangan bukanlah harapan Giyaseddin. Keinginan terdalamnya adalah agar perwira kavaleri itu gugur hingga tak perlu menikahi adik perempuannya. Bagi Giyaseddin, Gevher terlalu berharga untuk dinikahkan dengan seorang perwira kavaleri rendahan.
Bertahun-tahun, harapan Giyaseddin tak disetujui Tuhan, hingga suatu siang datanglah seorang kurir membawa sepucuk berita. Giyaseddin membuka lembaran kulit yang dibawa oleh sang kurir. Suara gesekan gulungan kulit yang dibuka terdengar tajam di tengah degup jantung Giyaseddin yang bertalu. Ia membaca dalam diam. Wajahnya dingin dan beku. Tiba di tengah paragraf, ujung mulutnya tiba-tiba ditarik ke samping kanan dan kiri.
Giyaseddin menyunggingkan senyum lega. Harapannya terkabul. Hatinya melonjak girang. Nama perwira incarannya ada dalam daftar mereka yang gugur pada pertempuran kali itu. Kembang api seperti bersautan merayakan kebahagiaan sang Sultan.
Di bagian lain istana Kayseri, Gevher tersedu karena duka. Punggungnya berguncang menelungkup di atas meja baca yang dipenuhi setumpuk buku tebal. Kucuran air matanya mengaburkan tinta tulisan di lembaran buku yang tengah terbuka. Hatinya menjerit. Belahan hatinya dipaksa pergi tanpa pamit.
Gevher sepenuhnya sadar bahwa kematian kekasihnya adalah taktik kakak kandungnya, Giyaseddin. Hati kecil Gevher berteriak, ingin membalas dan berontak, namun logika dan keimanannya tidak menyetujui hal itu demi keutuhan kerajaan dan rakyat banyak. Gevher memendam luka itu jauh, sangat jauh hingga ke dasar kalbunya.
Hari demi hari, Gevher tidak bisa mengelabuhi hatinya. Psikologinya yang terluka menurunkan imunitas fisiknya. Tubuh Gevher yang dulunya proporsional, kini tinggal tulang berbalut kulit. Ibrahim Shaikh dalam A Visit to Gevher Nesibe Medical Museum in Kayseri (2003) menjelaskan bahwa putri Gevher terserang Tuberculosis (TBC). Gevher menyembunyikan sakitnya hingga beberapa lama. Berita tentang sakit Gevher yang semakin hari semakin parah akhirnya sampai ke telinga sang kakak, Giyaseddin.
Giyaseddin mengunjungi adiknya yang sekarat. Benteng ego Giyaseddin runtuh demi melihat keadaan adik perempuan kesayangannya. Giyaseddin mulai sadar bahwa obsesi kebangsawanannya secara tidak langsung telah menggali kuburan Gevher. Giyaseddin meminta maaf dan berjanji untuk memenuhi apa pun keinginan Gevher sebagai penebus kesalahannya.
Seandainya Gevher meminta nyawanya sekalipun, pasti ia berikan saat itu juga. Gevher memegang kendali penuh atas nasib Giyaseddin. Namun, bukan Gevher jika tidak dapat mengendalikan emosi. Gevher memaafkan kakaknya ketika mampu dan berkesempatan untuk membalas. Wasiat Gevher kepada Giyaseddin menjelang ajalnya terukir indah di berbagai buku sejarah:
“Aku tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Tidak mungkin bagiku untuk bertahan lebih lama. Tidak ada seorang dokter pun yang bisa menyembuhkanku. Aku merasa sebentar lagi akan mati dan pergi ke akhirat. Jika kau berkenan, bangunlah sebuah rumah sakit dengan menggunakan semua harta milikku. Rumah sakit itu akan mengobati penyakit dan meneliti penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Dengan begitu, rumah sakit itu dapat menyembuhkan penyakit seperti yang diderita oleh orang-orang yang aku cintai dan juga seperti penyakitku. Rumah sakit ini harus dapat mendidik pakar-pakar dokter dan para ahli bedah. Pasien yang dirawat tidak boleh dimintai bayaran. Bangunlah rumah sakit ini, atas namaku dan dengan namaku” (Їhsan Işık: 2013).
Tak lama setelah itu, Gevher menghembuskan nafas terakhirnya. Giyaseddin segera menjalankan wasiat terakhir adik kesayangannya: membangun sebuah rumah sakit yang terintegrasi dengan fakultas kedokteran dan dinamai dengan nama Gevher Nesibe. Ide Gevher untuk menyatukan antara rumah sakit dan fakultas kedokteran adalah hal baru kala itu.
Sebagai mana dituliskan dalam Islamic Heritage Architecture and Art II, rumah sakit Gevher Nesibe merupakan gagasan yang belum terpikirkan sebelumnya di dunia medis. Ditambah dengan perlengkapan medis lain seperti alat panggil pasien, wastafel untuk mencuci tangan, lampu penerangan di sebelah tempat tidur, dan beberapa furnitur lain yang menjadi inspirasi rumah sakit modern (G. Passerini: 2018).
Dalam kepahitannya, Gevher mengajarkan pada kita banyak hal. Ia mampu menundukkan emosi di bawah logika realistis hingga mengubah deritanya sebagai jalan untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia. Setiap emosi memiliki dua wajah yang saling berlawanan.
Patah hati dan kekecewaan adalah sebuah emosi yang buruk bagi sebagian orang. Akan tetapi bagi mereka yang matang, patah hati dan kekecewaan adalah alat untuk mengasah kilau berlian yang tersembunyi di dalam diri. Semuanya tergantung pilihan yang diambil.
Jika Sartre mengatakan bahwa kebebasan manusia adalah sebuah kutukan, maka pada saat yang sama dapat dikatakan bahwa kebebasan manusia adalah anugerah yang tidak dimiliki oleh malaikat sekalipun. Karena kebebasan itulah manusia tidak harus berubah buruk meski dihempas oleh nasib teruk. Kita selalu punya pilihan: untuk mengutuk atau terus bangkit mendayung biduk, bahkan kala Corona membuat banyak orang terpuruk.