Sebagai salah satu daerah mayoritas muslim di Indonesia, Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, tentunya menyimpan banyak khazanah pengetahuan Islam Nusantara.
Berbagai budaya dan tradisi Islam bisa dijumpai di wilayah ini. Misalnya, Monginbalu Konbulan–tradisi mandi massal dalam menyambut puasa Ramadan, Monuntul–tradisi pasang lampu di tiga malam terakhir Ramadan, dan lainnya.
Hal itu menggambarkan kalau Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya terjadi secara masif. Sehingga masyarakatnya menjadi komunitas muslim yang punya banyak budaya serta tradisi Islam.
Proses awal penyebaran Islam di wilayah ini cenderung dimulai dengan cerita yang rada bernada romantisme Islami. Di mana, diketahui bahwa terjadi pernikahan antara Raja Jakobus Manuel Manoppo dengan Boki (Putri) Kilingo. Dari pernikahan itu raja masuk Islam, dan kemudian meresmikan Islam sebagai agama kerajaan.
Kisah semacam ini juga terjadi di Gorontalo, tetangga Bolaang Mongondow. Yaitu, pernikahan Sultan Amai (Raja Gorontalo) dengan Boki Owutango (Penguasa Tamalate), yang menjadi awal mula Gorontalo sebagai kerajaan bersendikan Islam.
Dari sini diketahui kalau the power of love juga memainkan peran penting dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu algoritma penyebaran Islam di daerah ini tidak sesederhana itu. Pastinya banyak aspek selain dari pernikahan raja, yang membuat Islam bisa berkembang begitu masif di Bolaang Mongondow Raya.
Namun yang menarik dari kisah Kilingo adalah, kita jadi tahu bahwa dalam jaringan ulama Gorontalo, yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow, juga terdapat perempuan. Ini tentu menggambarkan kalau perempuan punya kiprah dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Dalam buku Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, Abad ke-17-20, disusun Hamri Manoppo, dkk., dijelaskan. Bahwa salah satu dari rombongan Tim 9, para ulama dari Gorontalo yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow adalah Kilingo. Ia merupakan putri Imam Tueko–pemimpin Tim 9.
Ini juga bisa dibaca dalam buku Mengenal Bolaang Mongondow yang disusun Tim Litbang Amabon (Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow). Dan masih banyak lagi tulisan-tulisan yang menyebutkan nama Kilingo dalam kelompok dakwah itu.
Belum banyak penjelasan yang ditulis tentang Boki Kilingo. Namun, digambarkan bahwa dirinya adalah seorang muslimah yang sangat fasih membaca Alquran. Suaranya terdengar merdu ketika melantunkan kasidah–lagu religi khas Gorontalo.
Tentu pengembaraannya yang jauh-jauh dari Gorontalo ke Bolaang Mongondow tidak hanya sekadar untuk ikut dengan ayahnya. Tapi lebih dari itu, kehadirannya sangat dibutuhkan dalam Tim 9. Sebab dengan hadirnya seorang ulama perempuan akan lebih memasifkan pembinaan Islam khususnya dalam lingkungan sesama perempuan dan anak-anak.
Selain itu, kehadirannya juga sangat penting dalam melakukan dakwah lewat pagelaran seni-seni keislaman. Diketahui kalau salah satu metode dakwah Tim 9 adalah lewat pertunjukan seni keislaman, seperti tilawah Alquran, salawatan, kasidah, dan lainnya.
Karena Boki Kilingo merupakan seorang ulama perempuan yang fasih membaca Alquran dan merdu suaranya dalam melantunkan ayat suci, salawatan, dan kasidah, maka di sini dirinya memainkan peran dalam mengisi pagelaran seni keislaman. Lewat keindahan lantunan ayat-ayat suci dan kasidahnya dapat menarik minat masyarakat Bolaang untuk lebih mengenal dan mendalami Islam.
Selain Boki Kilingo, puluhan tahun sebelumnya, juga ada Bua’ Hontinimbang (Bua’ adalah sebutan untuk putri Raja Bolaang Mongondow) yang turut berkiprah dalam islamisasi awal di istana Bolaang Mongondow.
Bua’ Hontinimbang merupakan putri dari Raja Eugenius Manoppo yang memerintah Bolaang Mongondow sekitar 1764 pasca meninggalnya Raja Salomon Manoppo–ayah dari Raja Eugenius–hingga tahun 1770.
Dalam tulisan W. Dunnebier: Over de Vorsten van Bolaang Mongondow dijelaskan kalau awal pengangkatan Raja Eugenius adalah pada 31 Januari 1767. Kalau mengikuti penjelasan W. Dunnebier ini, maka periode Raja Eugenius Manoppo adalah 1767-1770.
Ceritanya bermula dari seorang pedagang Bugis bernama Andi Latai yang jatuh cinta kepada Bua’ Hontinimbang. Andi Latai kemudian melamar putri Raja Eugenius. Lamarannya diterima, sebab dikatakan kalau Andi Latai mampu memenuhi mahar yang sangat besar untuk menikahi putri raja.
Dari pernikahan ini Bua’ Hontinimbang kemudian masuk Islam. Meski raja dan keluarganya saat itu bukan beragama Islam, namun Andi Latai dan Bua’ Hontinimbang mendapat kebebasan untuk menjalankan agama yang mereka yakini. Saat itu, dakwah Islam di istana terus berjalan dalam lingkungan keturunan mereka.
Di sini Bua’ Hontinimbang memainkan perannya. Meski kebanyakan kajian-kajian sejarah Bolaang Mongondow sering menyoroti peran Andi Latai dalam melakukan dakwah di lingkungan istana. Namun, sebenarnya secara tak langsung Bua’ Hontinimbang juga punya peran besar dalam hal ini.
Di mana bersama suaminya, Bua’ Hontinimbang membimbing anak-cucu mereka dalam ajaran Islam. Terlebih Andi Latai termasuk pedagang yang sibuk. Sehingga Bua’ Hontinimbang yang punya banyak waktu dalam menjalankan pendidikan bagi anak-cucu mereka.
Meski saat itu Bua’ Hontinimbang terbilang sebagai muslimah baru, namun pendidikan Islam yang dilakukannya bersama Andi Latai terhadap anak-cucu mereka terbilang sukses. Di kemudian hari, salah satu cucu mereka, Abraham Sugeha (1880-1893), diketahui menjadi ulama dan juga Raja Bolaang Mongondow yang memainkan peran dalam memajukan Islam di sana.
Dari Bua’ Hontinimbang dan Boki Kilingo diketahui bahwa perempuan juga punya kiprah dalam proses penyebaran Islam di Bolaang Mongondow. Ini tentu semakin menjelaskan bahwa baik ulama laki-laki maupun perempuan sama-sama memainkan perannya dalam upaya Islamisasi Nusantara.