Mewakili kaum wanita, Asmâ suatu hari tampil menghadap kepada Rasulullah saw. yang sedang duduk bersama para sahabat. Wanita ini lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku delegasi kaum wanita ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Engkau diutus Allah kepada kaum laki-laki dan kaum wanita tanpa kecuali. Kami lalu beriman kepadamu dan kepada Tuhanmu. Tetapi, mengapa kami, kaum wanita, hanya menjadi penunggu dan penjaga rumah kalian, melayani hasrat seksual kalian, dan mengandung anak-anak kalian.”
“Mengapa Engkau, wahai Rasulullah, lebih memihak kaum laki-laki? Kalian, kaum laki-laki, bebas bergaul dan berkumpul, menjenguk orang sakit, melayat jenazah, dan haji berulang-ulang. Lebih dari itu, kalian boleh berperang di jalan Allah, padahal, jika kalian sedang pergi haji atau berperang, kamilah yang menjaga harta kalian, mengurus pakaian kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Apakah kami tidak memperoleh pahala yang sama dengan kalian?”
Belum selesai Asmâ’ berbicara, Rasulullah saw. menoleh kepada para sahabat seraya bertanya, “Apakah kalian pernah mendengar seorang wanita bertanya masalah agama sebaik ini?”
“Ya, wahai Rasulullah?”
“Pergilah, wahai Asmâ’! Katakan kepada semua kaum wanita, jika kalian patuh kepada suami, mencari rida dan mengikuti petunjuknya, maka kalian memperoleh pahala seperti pahala kaum laki-laki yang kausebutkan tadi.”
Asmâ’ pergi sambil mengucap “Lâilâha illallâh dan bertakbir sebagai luapan kebahagian atas sabda yang didengarnya dari Rasulullah itu.
Nama lengkapnya Asmâ’ bint Yazîd ibn al-Sakan ibn Râfi‘ ibn Umru’ al-Qays ibn ‘Abd al-Asyhal ibn al-Hârits al-Anshâriyyah, al-Awsiyyah al-Asyhaliyyah. Ia biasa dipanggil Ummu Salamah dan Ummu ‘Âmir al-Awsiyyah. Pertama kali ia datang menemui Rasulullah saw. pada tahun pertama Hijriyah lalu berbaiat.
Banyak hadis yang ia dengarkan langsung dari Rasulullah, dan itu membuat dirinya masuk dalam jajaran ahli hadis wanita terkemuka. Selain sebagai pejuang, wanita ini juga dikenal kuat agamanya, memiliki kemampuan intelektual tinggi, dan ahli dalam berbicara. Tak heran bila Ummu Salamah kemudian diberi julukan ‘Juru Bicara Kaum wanita.’ (Ibn Abd al-Barr, “Al-Istî’âb, 4/223–diterjemah oleh KH Asy’ari Khatib).
Terbukti dalam sejarah, ketika wanita diberi kesempatan emas, mereka sanggup menjadi pempimpin di berbagai bidang yang digelutinya, baik ketika masih berjuang bersama Nabi maupun setelah wafatnya.
Wanita tampil di medan jihad, baik dengan senjata, jiwa, harta maupun anak. Di bidang keilmuan, mereka tampil meriwayatkan hadis dan menyampaikan fatwa. Sebagian menggubah syair, dan syair itu diperdengarkan kepada Nabi sehingga Nabi mengapresiasinya dengan baik dan senang dengan syair tersebut. Misalnya, syair yang digubah al-Khansa, dll.
Islam telah menghormati wanita dengan memberikan haknya secara utuh, baik di lingkungan keluarga kecil maupun keluarga besar. Juga berkiprah di tengah masyarakat (Samiah Menissi, “Muhammad wal Mar’ah”, 131).