Bagaimana rasanya dikucilkan masyarakat selama 50 hari? Pengalaman ini pernah dirasakan salah seorang sahabat, Ka’ab bin Malik gara-gara dia absen dalam perang Tabuk yang terjadi pada tahun 9 Hijriyah.
Pertempuran ini dirasakan paling berat di jaman Rasulullah, sebab terjadi saat musim kering, musim panen kurma sebentar lagi tiba, dan utamanya lokasinya agak jauh dari Madinah. Di saat sahabat Nabi berbaris siap menghadapi musuh ada 3 orang yang tidak menampakkan batang hidungnya. Mereka adalah Murarah bin al-Rabi’, Hilal bin Umayah, dan Ka’ab bin Malik.
Rasulullah bertanya kepada sahabat lainnya; ke mana ketiga orang itu? Utamanya pertanyaan itu ditujukan kepada Ka’ab bin Malik sebab selama pertempuran di jaman Rasulullah, ia selalu ikut terlibat. Bahkan Ka’ab juga hadir menyaksikan peristiwa baiat Aqabah kedua.
Ada di antara sahabat yang membuat keterangan bahwa Ka’ab berhalangan perang karena takut pada istrinya. Walaupun keterangan ini sempat ditolak oleh Thalhah bin Ubaidillah, tapi “nasi sudah menjadi bubur” di mana hingga pertempuran usai Ka’ab bin Malik tercatat tidak ikut serta bertempur.
Akibatnya sesudah semua sahabat kembali ke Madinah, Ka’ab bin Malik dikenai sanksi sosial yakni dikucilkan selama 50 hari. Termasuk dia sendiri tidak bisa menemui Rasulullah untuk memberikan klarifikasi tentang masalah sebenarnya. Sebab Rasulullah saat itu sedang banyak tamunya hingga beliau sendiri susah menentukan waktu beristirahat. Semata-mata agar yang bertamu datang teratur maka dibuat aturan yaitu terlebih dulu mereka harus berinfaq untuk dapat bertemu Rasulullah.
Ka’ab bin Malik yang dari mulanya sedang menghadapi problem ekonomi hanya bisa meratapi nasibnya sebab semua anggota masyarakat Madinah terlanjur tidak mau bertegur sapa dengannya. Konon, yang mau bertegur sapa dengannya hanya satu orang beragama Nasrani, yang simpatik terhadapnya dengan iming-iming pindah agama. Tentu saja ajakan itu dia tolak.
Ka’ab bin Malik berhasil menemui Rasulullah untuk membuat klarifikasi pada hari ke-50 setelah ia memetik hasil panenan kurmanya. Dia ingin menyedekahkan seluruh hasil panenannya itu, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar dan Utsman, tapi ditolak Rasulullah. Beliau menyarankan agar Ka’ab menyedekahkan 1/3-nya saja dari hasil panennya.
Di hadapan pemimpin yang sangat dihormatinya itu Ka’ab menjelaskan alasan sesungguhnya kenapa dia tidak hadir dalam perang Tabuk. Setelah Rasulullah menyimak dan mempertimbangkan alasannya beliau memerintahkan Ka’ab untuk bertaubat. Beliau juga memerintahkan Ka’ab untuk sujud syukur karena taubatnya diterima Allah Swt.
Di dalam kitab al-Muwafaqat juz III halaman 270, Imam al-Syathibi berkomentar bahwa hanya sekali-kalinya Rasulullah mewajibkan sujud syukur kepada umatnya, yakni khusus kepada Ka’ab bin Malik. Hal ini bukan berarti Rasulullah ingin memberi beban lebih kepada Ka’ab tetapi semata-mata karena beliau sayang kepada sahabatnya itu.
Hal ini tergambar dari sikap Thalhah bin Ubaidillah, sahabat yang memfasilitasi pertemuan antara Rasulullah dengan Ka’ab. Melihat sahabatnya dimaafkan Rasulullah maka Thalhah langsung bangkit dari tempat duduknya untuk bergegas menyalaminya sembari mengucapkan selamat atas kejujuran dan keterus-terangan Ka’ab.
Kehidupan Ka’ab seketika itu pun kembali pulih normal. Ia merasakan hidup nyaman karena mau berterus-terang. Tak diam yang menyebabkan timbulnya kecurigaan. Sahabat-sahabat lain ikut senang dan tetap mendorong dia agar dalam situasi apa pun berterus-terang, sebab umat Islam lebih menyukai kejujuran.