“Anggur-anggur, badan-badan, nasihat-nasihat,” ucap Arash Arabasadi dan Nabila saling bersahutan. Dalam video berdurasi semenit itu, Arabasadi yang merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan Persia, dan Nabila warga asli Indonesia, saling berbalas melafalkan 8 kata dari bahasa Indonesia dan bahasa Persia yang ternyata memiliki kemiripan.
Sejak diunggah VoA Indonesia di Twitter akhir Maret lalu. Video dengan judul “Wah Mirip! Bahasa Indonesia dan Bahasa Persia” itu, sudah ditonton lebih dari 14,2 ribu viewer hingga 12 Mei ini. Banyak warganet yang terkejut menyaksikan video itu. Padahal, kemiripan bahasa Indonesia dan bahasa Persia sebenarnya bukanlah hal baru.
Akan tetapi, tidak bagi sebagian orang. Bahkan, Arabasadi dan Nabila juga tidak menyangka jika mereka baru saja melafalkan kata yang mirip dari bahasa mereka sendiri. “Aku gak tahu bahasa kita mirip, mungkin akar bahasanya sama kali ya?” kata Arasabadi yang sontak membuat Nabila tertawa.
Video tersebut sejatinya tidak hanya mempertemukan Arabasadi dan Nabila saja. Tetapi juga membawa kembali kedua bangsa mereka pada pertemuan pertamanya yang sudah berselang hampir dua milenium lamanya. Tentunya, bagi generasi sekarang, hal itu menjadi semacam kepingan memori bangsanya yang menarik untuk mereka rangkai kembali.
Lalu, apabila mengenangnya, interaksi sosial dan ekonomi antara Indonesia dan Persia, sebenarnya sudah berlangsung sejak dulu kala. Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam bukunya “Arkeologi Islam Nusantara” menyebutkan hubungan lawas keduanya sudah tercatat dalam Pei Hu Lu, catatan Tionghoa abad ke-9 M.
Dan, kabar itu semakin diperjelas oleh Abdul Hadi, Sastrawan Indonesia yang juga Dosen Universitas Paramadina. Dia mengatakan bahwa saudagar Persia dulu datang ke Nusantara sekitar akhir abad ke 7 M, dikutip dari ic-mes.org.
Kemudian, dijabarkan oleh Uka, pada masa itu, pulau Sumatera, khususnya wilayah Jambi, menjadi tujuan saudagar Persia untuk membeli buah pinang. Lantaran, buah pinang dulu di pasar-pasar Persia, merupakan buah yang laris dijual.
Tercatat, selama pemerintahan Khosrau II (590-628 M) ada sekitar 30.000 toko yang menjual pinang di ibu kota Persia, disadur dari jurnal “History of Betel Nut and Betel Quid Usage” yang dimuat dalam laman NCBI, Pusat Informasi Bioteknologi AS.
Pun, dalam jurnal “Islam dan Sejarahnya pada Masyarakat Jambi Seberang”, Apdelmi menjelaskan bahwa kedatangan bangsa Persia mulanya didasari motif ekonomi. Hingga kemudian memasuki abad ke-13, mereka mulai menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat lokal di Jambi.
Diterangkan juga oleh Hoesein Djajadiningrat yang dikutip dalam “Reception Through Selection-Modification: Antopologi Hukum Islam di Indonesia” karya Abdurrahman Misno. Bahwa, persamaan kebudayaan Islam di Indonesia dan Persia, yang kini Iran, adalah bukti keberadaan bangsa Persia dulu di Nusantara.
Sementara itu, penemuan bukti-bukti arkeologis menjadi titik terang keberadaan bangsa Persia di tanah Nusantara. Seperti penemuan artefak dari kaca dan gelas berbentuk jambangan, botol, dan vas yang mirip dengan perabotan bangsa Persia di beberapa wilayah di pulau Sumatera, dari buku “Sejarah Nasional Indonesia III” karangan Marnawati Djoened Poesponegoro.
Wilayah itu diantaranya adalah Barus, Sumatera Utara, dan Tapanuli Tengah serta sepanjang pantai di timur Jambi, seperti wilayah Lambur, Muara Sabak, dan Muara Jambi.
Bahkan, bukti pengaruh bangsa Persia terhadap peradaban Nusantara semakin mencuat, setelah ditemukannya pahatan aksara Shulus di batu nisan Sultan Malik As-Saleh, raja pertama Kerajaan Samudera Pasai. Aksara itu adalah gaya aksara Persia yang dikembangkan dalam karya seni kaligrafi.
Selain itu, ditemukan juga di batu nisan Sulthanah Na’ina Husam Al-Din, Ratu Kerajaan Samudera Pasai, guratan gubahan syair dalam bahasa Persia. Syair itu adalah karangan Syeikh Muslim Al-Din Sa’adi, sufi sekaligus penyair Persia tersohor.
Menanggapi hal itu, Dr. Faezeh Rahman, peneliti Asia Tenggara dari Pusat Riset Ensiklopedia Dunia Islam, mengatakan “salah satu bukti yang menarik mengenai kehadiran sastra Persia di kawasan (Asia Tenggara) ini adalah kutipan bait syair dari Saadi di batu nisan”, dalam wawancaranya dengan parstoday.com, media berita Iran berbahasa Indonesia.
Hal senada juga diungkapkan Teuku Ibrahim Alfian dalam buku “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah”. Ditemukannya syair-syair Persia di batu nisan itu, menunjukkan pengaruh Persia di bumi Nusantara, khususnya Kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Di sisi lain, menilik berbagai penelitian hubungan Nusantara dan Persia, Abdul Hadi menyatakan, ada banyak kosakata bahasa Persia yang diserap oleh bahasa Melayu. Dan, bahkan banyak karya sastra Persia, kata arkeolog Bambang Budi Utomo, menginspirasi perkembangan kesusasteraan Indonesia, misalnya pada kitab Menak, dilansir dari ic-mes.org.
Kitab itu ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa, berisikan cerita-cerita yang diadaptasi dari Persia. Sedangkan dalam kebudayaan Melayu, cerita-cerita itu dikenal sebagai Hikayat Amir Hamzah. Konon, beberapa sunan dari Walisongo, biasanya membawakan cerita-cerita dalam kitab Menak dengan pementasan wayang golek, wayang kulit, dan wayang gedog.
Pada akhirnya, tayangan video Arabasadi dan Nabila, tidak hanya mengajak setiap yang menontonnya untuk membuka kembali lembaran lama, sejarah hubungan antara Indonesia dan Persia. Tetapi, juga memperlihatkan eratnya hubungan keduannya, salah satunya dalam bahasa.
Mengutip okezone.com, “terdapat lebih dari 400 kosakata yang murni berasal dari bahasa Persia yang masuk dan digunakan dalam bahasa Indonesia, seperti (kata) pahlawan, bandar, anggur”, tutur Mohammad Azad, Duta Besar Iran, ketika memeringati hubungan hubungan bilateral Indonesia dan Iran, pada akhir 2019 lalu. Iran adalah negara yang menjadikan bahasa Persia sebagai bahasa resminya.