Pesatnya perkembangan media sosial telah memunculkan realitas baru di tengah masyarakat dunia: pasar bebas ide (free market of ideas). Di dalamnya, semua orang berlomba memperoleh informasi tentang apa saja yang menyangkut hidup dan kehidupan mereka.
Kini media sosial marak digunakan sebagai salah satu sumber informasi, pembelajaran, serta alat penyebaran pesan keagamaan. Karena pola penyampaian informasinya cepat dan berulang-ulang, memungkinkan terciptanya “density of information” dan “density of emotion,” dua hal yang berperan penting dalam dakwah dan gerakan sosial.
Sebagai alat, media sosial bisa juga digunakan sesuai keinginan pengguna, termasuk untuk menyebar hoax dan ujaran kebencian atas nama agama. Media penyebar kebencian yang mengklaim diri berbasis Islam ini bukan saja mencoreng citra Islam sebagai agama cinta damai dan menjunjung tinggi toleransi, tapi juga bisa merusak keharmonisan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tak hanya itu, lewat media sosial juga perempuan terpapar radikalisme dan terorisme. Kasus Dian Yulia Novi adalah yang pertama terkuak. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu. Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber).
Fenomena lain, munculnya “ibuisme agama” memanfaatkan perempuan untuk mengontrol masyarakat. Kelompok radikalisme juga menjadikan perempuan (emak-emak) sebagai ujung tombak perjuangan. Perempuan yang merupakan separuh dari warga negara harus dikontrol dengan menggunakan kekuatan agama. Lahirlah sejumlah Peraturan Daerah yang mengontrol independensi perempuan, pelibatan mereka dalam berbagai kampanye dan gerakan keagamaan seperti 212, politik oligarki yang merekrut istri, anak, dan keluarga perempuan di DPR pusat sampai daerah, sampai melibatkan perempuan sebagai aktor aksi-aksi terorisme.
Karena itu, pemimpin perempuan muslim mesti menghadapi fenomena tersebut sebagai tantangan berat sekaligus sebagai momentum yang tepat untuk mengisi ruang publik baru ini. Selain memengaruhi persepsi dan perilaku jamaah di dunia nyata, mereka juga dapat merambah ke follower dengan jangkauan lebih luas di dunia maya serta dengan pola-pola penyampaian pesan yang lebih kreatif dan multimedia, dari tulisan, ceramah, infografis, hingga animasi dan sinema.
Apalagi data pengguna media sosial dari tahun ke tahun terus meningkat. Dari jumlah penduduk dunia sekitar 7,676 miliar, sebanyak 3,484 miliar adalah pengguna internet aktif (Hootsuite: 2019). Di Indonesia, dari total 264 juta jiwa penduduknya, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen sudah terhubung ke internet (Kompas, 2019).
Lebih dari itu, mereka dapat membentuk ikatan keagamaan dan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society). Lebih-lebih untuk generasi milenial, Z, dan selanjutnya yang memang dikenal sebagai native nitizen.