Ketika Ibn Rusyd Menggugat Fatwa Al-Ghazali
Islam sebagai lebih dari sebuah agama–peradaban, menyimpan banyak catatan sejarah dokumentasi perjalanan para intelektual yang turut membawa dinamika kemajuan di era kejayaannya.
Sebagai peradaban yang besar pula, Islam tidak hanya menyumbangkan catatan tentang berdirinya Imperium-imperium– atau kekhalifahan dalam literatur Islam–namun banyak produk intelektual dan kebudayaan. Salah satunya adalah lahirnya banyak intelektual (baca: filsuf, pemikir, teolog, ulama) dengan banyak varian aliran atau pendabat.
Salah satu yang paling populer dari segudang intelektual Islam yang hari dikenal sebagai filsuf adalah Ibn Rusyd. Pria kelahiran Cordoba–salah satu daerah Spanyol hari ini–pada tahun 1126 M ini bernama lengkap Abu al-Walid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Rusyd.
Lahir dari keluarga hakim yang lekat akan tradisi pengetahuan, Ibn Rusyd tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan dinamika interaksi intelektualisme. Yang dari pengaruh lingkungan dan catatan perjalanan hidupnya, Ibn Rusyd tumbuh sebagai intelektual yang cakap dalam berbagai bidang. Seperti, teologi, fiqih, dan ilmu alam–pasti.
Kecakapan Ibn Rusyd yang multi-disiplin tersebut dibuktikan dengan berbagai peninggalannya yang sampai hari ini menjadi literatur atau referensi bacaan yang banyak dipelajari oleh berbagai universitas, lembaga, ataupun lingkaran kajian-kajian keislaman modern. Karya-karya tersebut meliputi Bidayah al-Mujtahid, Kitab al-Kulliyat, Syarh al-Sama’, serta yang paling populer yakni Tahafut al-Tahafut.
Salah satu karya Ibn Rusyd yang paling populer, yakni Tahafut al-Tahafut lahir karena dinamika sengit perdebatan yang lahir di ekosistem peradaban Islam di era tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, ketika Kekhalifahan Islam bersemai kejayaan di golden-era-nya, filsafat dan ilmu alam turut menjadi penyokong utama sendi peradaban tersebut.
Banyaknya filsuf-filsuf dari kalangan umat Islam inilah–yang salah satunya Ibn Rusyd–melahirkan benturan peradaban yang sengit dengan arus pemikir yang bersebrangan–fuqaha.
Di titik perbenturan antara filsafat dan fiqih, antara filsuf dan fuqaha, klaim pendapat atau fatwa Al-Ghazali mengenai kritikan pada filsafat lahir. Kritikan yang bernada serangan intelektual tersebut dituangkan oleh Al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Menurut Al-Ghazali dalam karya yang kelak dalam peradaban Barat dikenal dengan judul The Incoherence of the Philosophers (terjemahan dari Tahafut al-Falasifah), para filsuf-filsuf Islam membawa kepercayaan dengan argumen-argumen yang menyesatkan.
Dalam bahasa Al-Ghazali, tahafut; kekacauan. Al-Ghazali berpendapat argumen-argumen yang dibangun oleh para filsuf tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan membawa potensi kekufuran.
Al-Ghazali menyalahkan pandangan-pandangan besar para filsuf. Yang tentu menurut tafsir Al-Ghazali mengatakan bahwa Tuhan tidak bersifat, alam kekal berarti tak bermula, Tuhan tidak mengetahui juz’iyat atau perincian realitas dunia, ketiadaan pembangkitan jasmani, dan lain-lain.
Bagi Al-Ghazali, Tuhan adalah Pencipta. Oleh karena Pencipta, Tuhan menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo). Serta jika alam (segala yang ada selain dari Tuhan) dianggap tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta.
Dari pendapat itulah Al-Ghazali memberikan kritik yang cukup sengit terhadap para filsuf dan ajaran filsafatnya. Serta berkat kritik Al-Ghazali tersebut, Ibn Rusyd menggugat fatwa tersebut lewat sanggahan-sanggahan pembelaannya kepada para filsuf–termasuk dirinya–dan filsafat lewat karya yang telah disinggung di atas, yakni Tahafut al-Tahafut.
Dalam gugatannya, Ibn Rusyd membantah dan menolak keyakinan yang dilontarkan Al-Ghazali bahwa filsafat bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ibn Rusyd, filsafat tidak lain daripada berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta atau sebab dari semua wujud tersebut.
Anjuran untuk berpikir tentang segala wujud tersebut selaras dengan tuntutan ajaran Islam sendiri dalam Alquran, seperti ayat-ayat yang mengandung kata afalaa yatadabbaruun–afalaa yandhuruun–afalaa ya’lamuun. Ibn Rusyd menambahkan, pentingnya filsafat sangat diperlukan sebagai pisau menginterpretasi teks wahyu agar sesuai dengan rasio dan pemahaman manusia.
Gugatan Ibn Rusyd mengenai klaim fatwa Al-Ghazali tidak lain karena disinterpretasi yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan para fuqaha pada umumnya. Anggapan kesesatan yang terletak pada premis bahwa alam itu kekal berarti tidak bermula, tidak seperti yang Al-Ghazali tafsirkan.
Ibn Rusyd meluruskan, alam itu kekal bukan berarti alam adalah Tuhan seperti yang dianggapkan. Karena alam tidak berasal dari ketiadaan–tidak bermula.
Mengacu pada ayat-ayat Alquuran, seperti Q.S Huud, 11:7 dan Q.S Hamim 41:11, Ibn Rusyd menegaskan bahwa alam diwujudkan atau diciptakan Tuhan dari sesuatu unsur yang bersifat kekal dari zaman lampau (qadim).
Namun qadim yang diartikan di sini bukanlah suatu sifat kekal seperti kekalnya Tuhan, melainkan kekal dalam artian diciptakan atau diwujudkan secara terus menerus. Sehingga anggapan kekal berarti tidak bermula atau berasal dari ketiadaan jelas berbeda dengan apa yang ditafsirkan para filsuf mengenai kekal–qadim. Dengan demikian kekelahan yang dianggap para filsuf tidak bertentangan dengan Alquran.
Gugatan lain yang tidak kalah penting adalah klaim dari Al-Ghazali bahwa para filsuf berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian di dunia. Anggapan Al-Ghazali seketika dibantah oleh Ibn Rusyd bahwa para filsuf menafsirkan pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia atau yang ada di dunia.
Sehingga pengetahuan Tuhan tidaklah relevan diterapkan kepada pengetahuan perincian dunia. Ibn Rusyd menegaskan, pengetahuan manusia tentang perincian dunia adalah efek, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah sebab bagi wujudnya perincian tersebut.
Gugatan-gugatan yang lain pun masih banyak tertuang dalam Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban atas klaim fatwa Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Perbedaan pendapat dan saling menggugat antar intelektual Islam seperti yang terjadi pada Ibn Rusyd dan Al-Ghazali ini merupakan penanda fenomena betapa kayanya pengetahuan yang tersimpan dalam lembar agung sejarah peradaban besar.